Resume Madrasah Takhassus Kelas Tafsir
Mempelajari Ilmu Tafsir
berarti usaha mempelajari, mendalami serta menadaburi makna-makna yang
terkandung dalam al-Qur’an. Sehingga, tidak mengherankan jika para ulama
memiliki perhatian yang sangat besar terhadap fan ‘ilm yang satu ini,
dan urgensinya dalam agama Islam pun tidak perlu dipertanyakan serta diragukan
lagi.
أَفَلَا یَتَدَبَّرُ ٱلۡقُرۡءَانَ وَلَوۡ كَانَ
مِنۡ عِندِ غَیۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِیهِ اخۡتِلَـٰفا كَثِیرا
“Tidakkah mereka menghayati
(mendalami) al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah
mereka menemukan banyak hal bertentangan di dalamnya.” [Q.S
al-Nisa (4): 82]
كِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ إِلَیۡكَ مُبـرَك لِّیَدَّبَّرُوۤا۟
ءَایَـٰتِهِۦ وَلِیَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰب
“(Inilah) Kitab (al-Qur’an)
yang Kami turunkan kepadamu, penuh berkah, agar mereka menghayati ayat-ayatnya,
dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” [Q.S
Shad (38): 29]
أَفَلَا یَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ
قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَاۤ
“Maka tidakkah mereka
menghayati al-Qur’an, ataukah hati mereka sudah terkunci?” [Q.S
Muhammad (47): 24]
Menadaburi al-Qur’an tanpa
memahami maknanya itu tidak mungkin. Demikian pula pemahaman terhadap makna
al-Qur’an harus melalui tafsirnya. Sehingga, penafsiran al-Qur’an dihukumi
fardu kifayah bagi umat Islam. Yang mana, kewajibannya menjadi gugur ketika
sudah ditunaikan oleh sebagian orang.
———
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhitab
setiap kaum sesuai dengan apa yang dipahaminya. Oleh karena itu, Allah mengutus
rasul dan menurunkan kitab suci-Nya sesuai dengan bahasa kaum mereka
masing-masing. Sedangkan al-Qur’an sendiri diturunkan menggunakan bahasa Arab
yang jelas.
Saat al-Qur’an diturunkan
1.400 tahun yang lalu, bangsa Arab berada dalam puncak kefasihan bahasa, mereka
mengetahui makna zahir dan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Meski
begitu, untuk mengetahui makna detail al-Qur’an serta hakikat penta’wilannya,
haruslah melewati penelitiaan yang cermat dan juga mendalam, serta mengikuti
bimbingan wahyu. Oleh sebab itu, kita menemukan berbagai riwayat yang
menceritakan bagaimana respon para shahabat terhadap turunnya suatu ayat.
ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم
بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang
yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” [Q.S
al-An’am (6): 82]
Ketika ayat ini turun, para
shahabat pun bertanya-tanya, “Siapa gerangan yang tidak (pernah) zalim di
antara kita?” Mereka bergegas menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dan meminta penjelasan dari beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Nabi
menjelaskan, yang dimaksud dengan “dhulm” pada ayat di atas adalah
kesyirikan, sebagaimana ayat “Inna al-Syirka ladhulmun ‘adhim.”
Contoh lain ketika sayyidah
Aisyah Radiyallahu ‘Anha bertanya tentang makna hisaban yasiran
dalam Q.S al-Insyiqaq (84) ayat 8 kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menjelaskan bahwa yang dimaksud
adalah—ketika perhitungan amal, buku amal kita tidak perlu dibaca dan
dipertanggungjawabkan, tapi cukup diperlihatkan saja.
Begitu pula kisah Adi bin
Hatim yang berkaitan tentang ayat الخيط
الأبيض و الخيط الأسود (benang putih dan benang
hitam). Shahabat Adi bin Hatim mengira bahwa makna ayat tersebut adalah makna
hakiki, sehingga menyiapkan benang hitam dan putih untuk mengetahui batasan
waktu puasa. Hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah putihnya siang dan hitamnya malam.
Jika para shahabat saja
terkadang masih bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
tentang makna suatu ayat, apalagi kita yang notabenenya sangat minim
pengetahuan. Entah dari segi ilmu bahasa Arab—seperti nahwu sharaf, uslub,
balaghah dll., maupun dari sisi ilmu al-Qur’an itu sendiri. Semisal ilmu asbabun
nuzul, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih dan lain-lain.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam telah menjelaskan kepada mereka makna dari al-Qur’an sebagaimana
beliau mengajari mereka cara pelafalannya. Oleh karena itu, mereka menghafalkan
al-Qur’an, memahami maknanya dan mengetahui hukum-hukum yang ada di dalamnya.
Mengenai metode atau manhaj
para shahabat dalam mempelajari al-Qur’an, kita mungkin bisa merujuk kepada
perkataan Abu Abdurrahman al-Sulami, beliau berkata, “Para guru yang mengajari
kami al-Qur’an menceritakan—seperti Ustman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan
para shahabat yang lain Radiyallahu ‘Anhum, bahwasanya, mereka
belajar 10 ayat al-Qur’an kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Mereka tidak melanjutkannya sampai mengetahui dan mengamalkan isi 10 ayat
tersebut. Mereka berkata, “Kami mempelajari al-Qur’an, ilmu dan pengamalannya.”
Dapat disimpulkan bahwa manhaj
para sahabat dalam mempelajari al-Qur’an adalah keseimbangan ilmu dan
pengamalannya. Menghafalkan ayat, memahami makna sekaligus hukum dibarengi
dengan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga tidak mengherankan,
kita juga menemukan riwayat tentang lamanya rentang waktu shahabat dalam
menghafal satu surah dalam al-Qur’an. Hal itu tak terlepas dari manhaj para
shahabat, sebagaimana telah disinggung di atas. Imam Malik dalam kitab Muwatha’nya
meriwayatkan bahwa sayyidina Abdulloh bin Umar menghafal al-Baqarah dalam kurun
waktu 8 tahun. Dalam riwayat Imam Ahmad di musnadnya, shahabat Anas bin Malik Radiyallahu
‘Anhu berkata, “Tatkala salah seorang dari kami sudah menghafal surah
al-Baqarah dan Ali Imran, maka dia adalah orang yang agung di mata kami.”
Begitu pula pendapat pendahulu
kita, mulai dari sahabat dan generasi setelahnya. Sebagaimana Ibn Abi Hatim dan
lainnya meriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Thalhah, bahwasanya Ibnu Abbas
menafsirkan “al-Hikmah” dalam ayat “Yu’ti al-Hikmata man yasya’ wa
man yu’ta al-Hikmata faqad utiya khairan katsiran” [Q.S Al-Baqarah (2):
269], sebagai pengetahuan terhadap makna dalam al-Qur’an. Baik ilmu nasikh
mansukh, ayat muhkam dan mutasyabihat, serta muqaddam
muakhir, maupun hukum yang terdapat di dalamnya. Seperti halal haram dan
lain sebagainya. Sedangkan menurut Abu Darda’, makna al-Hikmah dalam ayat
tersebut adalah membaca serta bertafakur akan makna al-Qur’an.
Ibnu Abi Hatim juga
meriwayatkan bahwa Amr bin Murrah berkata, “Ketika aku membaca satu ayat
al-Qur’an dan aku tidak mengetahui maknanya, maka aku bersedih. Sebab, aku
mengingat firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Wa tilka al-Amtsalu
nadribuha li al-Nas, wama ya’qiluha illal ‘alimun” (Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia. Dan tidak ada yang akan memahaminya
kecuali mereka yang berilmu).
Dan diriwayatkan oleh Abu
Ubaid bahwasanya Imam Hasan al-Bashri berkata, “Tidaklah Allah menurunkan satu
ayat dari al-Qur’an, kecuali Dia inginkan kita ketahui kenapa diturunkan dan
apa yang Dia kehendaki darinya”. Sudah seyogianya umat Islam menghafal,
memahami makna serta mengetahui penafsiran al-Qur’an dengan penafsiran yang
shahih; tidak tercampur dengan israiliyat, mauduat dan kebathilan-
kebathilan. Serta berpegang teguh dengan al-Qur’an di setiap tindak tanduk dan
pengamalan. Baik secara individu atau kelompok pada setiap dimensi kehidupan
kita sehari-hari.
Dengan demikian, keagungan
kita—umat Islam, pada masa lalu yang dibanggakan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala di dalam al-Qur’an dapat kita raih dan klaim kembali.
وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ
وَلِلۡمُؤۡمِنِینَ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ لَا یَعۡلَمُونَ
(المنافقون : 8(
Wallahu a’lam bi al-Shawab