“Hindun al-Makhzumiyah tidak hanya menjadi ibu dari Salamah
sendiri, melainkan telah menjadi ibu bagi seluruh kaum mukminin”
Ummu Salamah, siapa yang tidak kenal Ummu Salamah?!
Ayahnya salah satu pemuka Quraisy dari Bani Makhzum yang memiliki
kedudukan tinggi nan sangat mulia di antara Bangsa Arab karena kemurahan hati Abu
Umayah bin Mugirah al-Qurasyi. Hingga ia dijuluki dengan Zad al-Rakib (Bekal
para penumpang), sebab para peziarah yang datang ke rumahnya ataupun para
penumpang yang berjalan bersamanya tidak perlu membawa bekal apapun, karena
telah disediakan semua olehnya.
Sedangkan suaminya adalah Abdullah bin Abdul Asad, salah seorang
dari sepuluh sahabat yang paling dahulu masuk Islam, bahwa ia masuk Islam
beberapa saat setelah Abu Bakar dan beberapa sahabat lain yang dapat dihitung
jari.
Nama aslinya Ummu Salamah, Hindun. Namun, lebih terkenal dengan
nama kuniahnya, Ummu Salamah.
Ummu Salamah masuk Islam bersama dengan suaminya. Oleh karenanya
ia termasuk di antara sahabat yang paling dahulu masuk Islam.
Tidak lama setelah kabar keislamannya dengan suaminya tersebar, amukan
serta siksaan kaum Quraisy berhamburan menimpa mereka. Namun di tengah deraian
siksa itu, tak sedikitpun melemahkan iman mereka.
Tatkala penderitaan mereka semakin menjadi, Rasulullah Saw
kemudian mengizinkan mereka ikut hijrah pertama ke Habasyah bersama sekelompok
sahabat pada waktu itu. Mereka berdua di antara yang terdepan dari golongan
Muhajirin.
Ummu Salamah dan suami pun pergi menuju tanah asing Habasyah,
dengan meninggalkan rumah besarnya dan kehormatan nasabnya yang tinggi nan
antik, itu semua demi mendapatkan rida Allah Swt.
Meskipun Ummu Salamah beserta para sahabat telah mendapatkan
perlindungan khusus dari Raja Najasyi, setelah hijrah ke Habasyah, namun Ummu
Salamah dan suaminya selalu rindu dengan Mekah tempat turunnya wahyu.
Lebih-lebih kerinduan mereka kepada Rasulullah Saw, sangat menguras hati
mereka.
Tidak lama kemudian, datang kabar baik kepada para muhajirin ke
tanah Habasyah bahwa kaum muslimin Mekah telah bertambah banyak. Sungguh
Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab telah memberikan
kekuatan baru kepada kaum muslimin dan mampu menahan sebagian siksaan yang
terjadi kepada mereka. Mendengar kabar ini, mendorong sebagian kelompok dari
muhajirin Habasyah yang dilanda kerinduan bertekad untuk kembali ke Mekah. Ummu
Salamah dan suaminya termasuk diantara mereka yang di garda terdepan kembali ke
Mekah.
Akan tetapi setelah sampai di Mekah, tidak lama kemudian terungkap
bahwa kabar yang sampai pada mereka itu berlebihan. Pencapaian kaum muslimin dengan
Islamnya Hamzah dan Umar malah ditimpali kaum Quraisy dengan menyiksa kaum
muslimin lebih sadis.
Kaum musyrikin semakin menjadi-jadi menyiksa dan mengancam kaum
muslimin. Mereka menganiaya kaum muslimin dengan segala bentuk penderitaan yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika itulah Rasulullah Saw memutuskan kepada
para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah.
Saat mendengar Rasulullah Saw memerintahkan untuk hijrah ke
Madinah, Ummu Salamah dan suaminya bertekad menjadi yang paling pertama hijrah
dengan agamanya dan keluar dari siksaan kaum Quraisy.
Namun hijrah Ummu Salamah dan suaminya tidaklah mudah seperti yang
dibayangkan. Hijrah mereka dipenuhi dengan luka yang tidak ada bandingannya.
Mari kita biarkan Ummu Salamah menceritakan kisah hijrahnya.
Pengalaman pribadinya akan menceritakan lebih kuat dan lebih
akurat.
Ummu Salamah berkata:
Tatkala Abu Salamah telah bertekad hijrah ke Madinah, ia segera
menyiapkan seekor unta untukku, mendudukkanku diatasnya sambil memangku
Salamah. Sedangkan Abu Salamah berjalan memandu unta kami tanpa menoleh dan
berhenti sedikit pun.
Sebelum kami sampai meninggalkan Mekah, orang-orang dari kaumku
Bani Makhzum melihat kami. Dengan segera mereka menghentikan kami dan berkata
kepada Abu Salamah:
Jika kamu merasa harus keluar, bagaimana dengan istrimu ini?! Ia
adalah anak kaum kami, untuk apa kami membiarkanmu membawanya keluar dari
Mekah.
Kemudian mereka melompat menghentikan kami dan memisahkanku dari
suamiku dengan paksa.
Namun tak lama kemudian, datang kaum suamiku Banu Abdul Asad,
mengambil paksa anak kami dengan kemarahan. Mereka berkata:
Sungguh demi Allah, kami Banu Abdul Asad tidak ridha melihat anak
ini bersama wanita kalian, setelah apa yang kalian perbuat dengan mengambil
paksa anak ini dari sahabat kami. Sungguh anak ini adalah keturunan kami dan
kami lebih utama baginya.
Kemudian mereka mulai memperebutkan anakku Salamah tepat di
hadapanku, hingga Banu Abdul Asad memenangkkannya dan membawanya pergi.
Seketika beberapa saat itu, aku mendapatkan diriku terkoyak dan
termengung kesepian. Suamiku pergi hijrah ke Madinah dengan sendirinya membawa
iman dan agamanya sedangkan anakku diculik oleh Banu Abdul Asad. Adapun diriku,
dipaksa tinggal oleh Bani Makhzum, dan menahanku bersama mereka. Hanya dalam
sesaat, aku dipisahkan dengan suami dan anakku.
Sejak hari itu, aku selalu keluar di sore hari ke tanah tempat
kejadian perkara ketika aku dipisahkan dengan suami dan anakku. Aku duduk
sejenak merenungi tragedi tersebut, mengulang memori sesaat aku dipisahkan
dengan mereka. Aku terus meratapi kejadian tersebut hingga malam tiba.
Aku hidup seperti itu selama kurang labih satu tahun, hingga suatu
ketika datang seorang dari anak pamanku yang merasa iba dengan keadaanku. Ia
lalu berusaha berbicara dengan para petinggi Bani Makhzum:
Tidakkah kalian lepaskan saja wanita miskin ini!! kalian telah
pisahkan ia dari anak dan suaminya.
Ia terus mencoba meluluhkan hati mereka hingga mereka pun berkata
padaku: pergilah ke suamimu jika kamu mau.
Akan tetapi, bagaimana mungkin aku pergi ke tempat suamiku di
Madinah, lalu meninggalkan anakku, belahan hatiku bersama Banu Abdul Asad di
Mekah?!
Bagaimana mungkin hatiku tenang, air mataku terhapuskan, sedangkan
aku berada di tanah hijrah dan anakku berada di Mekah, tanpa mengetahui
kabarnya sedikitpun.
Melihat kepedihan dan penderitaan yang aku alami, sebagian orang
mulai tersentuh dengan keadaanku. Mereka pun berusaha berbicara dengan Banu
Abdul Asad, menceritakan keadaanku dan memohonkan belas kasihan atas diriku,
hingga membuat mereka bersimpati dan akhirnya mengembalikan Salamah kepadaku.
Setelah itu, aku tidak ingin berlama-lama di Mekah, hingga aku
segera mencari teman untuk musafir bersama. Sungguh aku khawatir akan terjadi
sesuatu hal diluar dugaan lagi yang dapat menghalangiku menyusul suamiku di
Madinah.
Oleh karena itu, aku segera menyiapkan unta dengan perbekalan yang
cukup, lalu aku tunggangi ia sembari meletakkan anakku di pangkuanku. Aku pun keluar
dari Mekah menuju ke Madinah hendak bertemu dengan suamiku, tanpa ada satu pun
yang membersamai.
Sesampainya di Tan’im, aku bertemu dengan Utsman bin Thalhah (Pemegang
sitar Kabah di masa Jahiliyah. Ia masuk Islam bersama Khalid bin Walid dan
menyaksikan Fathu Makah. Setelah masuk Islam, Rasulullah Saw. memberikannya hak
pemegang kunci Kabah. Ia merupakan teman Ummu Salamah), ia bertanya :
“Hendak kemana kamu wahai Zad al-Rakib?”
“Aku hendak bertemu suamiku di Madinah”, jawabku.
“Tidak adakah seorang pun bersamamu?”, tanyanya kembali.
Tidak ada, Aku hanya bersama Allah dan anakku ini.
Ia pun berkata: “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkanmu sendiri
hingga kamu sampai ke Madinah dengan selamat.”
Demi Allah, aku tidak pernah bersahabat dengan seorang pun dari
bangsa Arab yang lebih daik dan mulia darinya. Jika kami sampai ke salah satu
tempat peristirahatan, ia dudukkan untaku, lalu menunggu, hingga setelah aku
turun dari punuknya dengan sempurna, ia pun mendekat dan menurunkan perbekalan
yang ada di atasnya, lalu menuntun untaku ke sebuah pohon dan mengikatnya.
Kemudian, ia sendiri menjauh mencari pohon lain untuk berbaring dan berteduh.
Jika telah waktunya berangkat, ia segera berdiri menuju untaku dan
menyiapkan segalanya. Setelah semua siap, ia mempersilahkanku untuk naik ke
atas unta. Sambil memegang tali untaku, ia pun menuntunnya berjalan perlahan
bersama dengan untanya.
Ia terus memperlakukanku seperti itu selama perjalanan, hingga
kami sampai ke Madinah. Tatkala sampai di Quba, sebuah desa yang dibangun di
dalamnya Masjid Quba sekitar 2 mil dari Madinah milik Bani Amr bin Auf, Utsman
lalu berkata kepadaku: “suamimu ada di desa ini, masuklah dengan berkah Allah!”.
Kemudian ia kembali ke Mekah.
Akhirnya mereka bertemu setelah lama berpisah, air mata Ummu
Salamah tak terbendung bertemu dengan suaminya. Abu Salamah sangat bahagia
bertemu dengan istri dan anaknya.
Kemudian beberapa peristiwa terjadi dan berlalu dengan cepat dalam
sekejap mata. Abu Salamah ikut serta dalam perang Badar dan kembali bersama
kaum muslimin dengan membawa kemangan gemilang. Setelah itu, ia juga ikut serta
dalam perang Uhud. Dalam perang itu, ia menderita luka-luka yang cukup parah.
Para sahabat berusaha mengobatinya sampai pada akhirnya terlihat tanda-tanda
kesembuhan. Namun, hanya berselang beberapa saat tersingkap bahwa luka yang
dideritanya itu sangat dalam hingga membuatnya harus berbaring di atas tempat
tidur.
Suatu hari, ketika Abu Salamah sedang diobati ia berbicara dengan
istrinya: “Wahai Ummu Salamah, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: (Tidak
ada seorang pun yang mendapat musibah, lalu ia mengucapkan kalimat istirja’,
dan berkata, ‘Allahumma ‘indaka ihtasabtu mushibati hadzihi, Allahumma Akhlifni
khairan minha’, melainkan akan Allah berikan yang labih baik kepadanya…)”.
Abu Salamah masih terus berbaring di atas tempat tidurnya
berhari-hari, hingga pada suatu pagi Rasulullah saw datang menjenguknya. Belum
selesai Rasulullah menjenguknya, Abu Salamah telah berpulang ke rahmatullah.
Rasulullah saw kemudian memejamkan kedua mata Abu Salamah dengan kedua
tangannya yang mulia, seraya mengangkat pandangan ke langit dan berdoa:
“Allahumma igfir li Abi Salamah, wa irfa’ darajatahu fi
al-muqarrabin, wa ukhlufhu fi ‘aqibihi fi al-gabirin, wa igfir lana wa lahu ya
rabbal ‘alamin, wa afsih lahu fi qabrihi, wa nawwir lahu fihi”.
(Yaa Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama
dengan para muqarrabin, jadilah pengganti menjaga anak dan keluarganya,
luaskanlah kuburnya dan musnahkan kegelapan di dalamnya, dan ampunilah kami dan
dirinya wahai Tuhan semesta alam…)
Seketika Ummu Salamah mengingat apa yang diajarkan suaminya semasa
sakitnya tentang sebuah hadis Rasulullah Saw. dan berkata:
“Allahumma ‘indaka ahtasibu mushibati hadzihi…”
Akan tetapi ia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya dengan
berkata, Allahumma akhlifni fiha khairan minha…, sebab kalimat ini
adalah kalimat permintaan pengganti Abu Salamah dengan yang lebih baik. Ia
membatin, siapalah ia yang lebih baik dibanding suaminya Abu Salamah?!
Namun tidak lama terdiam, ia sempurnakan doa yang telah
dimulainya.
Kaum muslimin ikut sangat berduka atas musibah yang dialami Ummu
Salamah. Sejak itu Ummu Sulamah disebut sebagai Ayyimul Arab (Janda
Bangsa Arab). Sebab tidak ada seorangpun keluarganya di Madinah kecuali anaknya
yang masih balita, tidak berdaya.
Kaum Muhajirin dan Anshar merasakan empati yang luar biasa
terhadap Ummu Salamah. Hingga hampir masa ‘iddahnya belum sempurna, telah
banyak yang menawarkan diri menjadi suaminya. Abu Bakar menawarkan diri untuk
mengkhitbahnya, namun ia tolak. Kemudian Umar bin Khattab juga datang
mengkhitbah, namun sama-sama ia tolak. Setelah itu, Rasulullah saw datng
sendiri untuk mengkhitbahnya, lalu ia menjawab:
Wahai Rasulullah, aku ini punya tiga sifat buruk. Pertama, aku ini
wanita pencemburu, aku khawatir engkau melihatku dalam keadaan ini kemudian
membuatmu marah lalu Allah mengazabku dengn itu. Kedua, aku ini wanita yang
sudah berumur. Ketiga, aku ini wanita yang telah memiliki anak.
Rasulullah saw berkata:
“Adapun apa yang kamu sebutkan tentang sifat pencemburu itu, aku
berdoa semoga Allah menghilangkannya. Sedangkan apa yang kamu sebutkan tentang
telah berumur, itu sama halnya denganku. Dan apa yang kamu sebutkan tentang
anak, maka anakmu juga kan menjdai anakku”.
Kemudian Rasulullah saw menikah dengan Ummu Salamah. Demikian
Allah mengijabah doanya, menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik
bahkan dengan yang paling mulia di atas muka bumi.
Sejak hari itu, Hindun al-Makhzumiyah tidak hanya menjadi ibu dari
Salamah, melainkan telah menjadi ibu bagi kaum muslimin. Semoga Allah
senantiasa menambah cahaya pada wajah Ummu Salamah di surga dan meliputinya
dengan keridaan tak terhingga.