Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis, dan budaya, yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Bima dikenal dengan nama Mbojo yang berasal dari kata ‘babuju’, yang berarti tanah yang tinggi.
Dalam kesehariannya, suku Bima berbicara dalam bahasa Bima yang disebut juga sebagai bahasa Nggahi Mbojo. Bahasa Bima terdiri dari beberapa dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo, dan Sangiang.
Ciri khas suku Bima di Nusa Tenggara Barat diantaranya:
A. Rimpu Tembe
Budaya Rimpu ini telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima itu ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam). Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas.
Rimpu ini hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai Rimpu, tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket), yaitu kafa mpida (benang kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna.
Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi: nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga Satako (bunga Setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).
B. Makanan
Jame Mangge adalah sebuah sambal yang dibuat dari asam muda yang diulek dengan cabe, garam, dan bumbu dapur lainnya. Sambal yang satu ini sangat cocok disajikan dengan ikan teri. Selain itu, ada juga Tota Fo’o, yang berarti mangga cincang, juga merupakan salah satu sambal khas Bima yang terkenal.
C. Tarian.
Tari Wura Bongi Monca
Tari Wura Bongi Monca adalah tarian tradisional dari Bima. Tarian ini merupakan tarian yang dipertunjukkan pada acara-acara seperti: upacara selamat datang, penyambutan tamu, dan penyambutan pengantin.
Tari Buja Kadanda
Tarian ini menggambarkan dua prajurit yang sedang berperang. Tarian ini biasanya akan dibawakan oleh 2 (dua) orang penari pria yang berpakaian prajurit bersenjatakan tombak dan juga perisai.
Maja Labo Dahu
Petuah falsafah yang dipegang masyarakat Bima dalam kehidupannya, salah satunya adalah perkataan: Maja Labo Dahu. Petuah ini selalu menjadi nasehat pamungkas bagi masyarakat Bima yang pergi merantau, baik yang pergi bekerja maupun menuntut ilmu. Maja Labo Dahu diartikan dengan malu dan takut.
Di dalam kitab kesultanan Bima, Maja Labo Dahu berarti malu untuk berbuat hal-hal yang diluar batas norma susila, dan takut untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama. Istilah Maja (malu) memiliki kesamaan dengan istilah siri’ (harga diri) yang berupa larangan, anjuran, dan kewajiban yang mendominasikan tindakan manusia jika melakukan perbuatan tercela dan takut terhadap balasan dari Allah swt. atas perbuatannya, dan demi mempertahankan diri dan kehormatannya.
Istilah Dahu (takut) berarti enggan dalam melakukan sesuatu yang belum jelas hukumnya, apakah sesuai dengan norma agama atau tidak? Ada juga yang mengartikan Dahu ialah kekurangan yang bersumber dari kebodohan dan kelemahan pribadi seseorang. Dikatakan bodoh karena ia tidak mengetahui akibat dari perbuatannya. Jika dia tidak mengerti, tentu ada rasa takut yang mengakibatkan terjadi keragu-raguan untuk mengerjakan sesuatu.