Gambar: google.com |
Terkadang yang fanatik itu bukan sang Syeikh atau Guru. Ternyata murid-murid mereka itulah yang begitu fanatik pada gurunya, padahal guru tidak mengajarkan seperti itu. Bahkan guru selalu memberi ruang debat yang luas untuk muridnya. Dan itu adalah guru yang sukses, guru yang mengajarkan muridnya bisa berfikir independen, bukan sekedar taklid buta. Imam Syafi’i pun sangat toleran dan moderat, beliau pernah berdauh: “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Pendapat selain aku salah, tapi bisa saja benar.”
Dahulu, sahabat sangat toleran terhadap perbedan cara baca (Qiro’at) Al-Quran. Mereka mengakui perbedaan tersebut yang semuanya bersumber dari Nabi saw. Tapi generasi setelah mereka, murid-murid mereka mulai fanatik dan menjadi beringas. Di peperangan Armenia dan Azarbaijan, ketika pasukan Syam bertemu dengan pasukan Iraq, di sana terjadi kegentingan yang hampir mengakibatkan perang saudara antara sesama pasukan islam. Yang tadinya mau berjihad memerangi musuh kafir, tetapi malah menjelma menjadi peperangan antar saudara. Tahu penyebabnya? Tidak lain dan tidak bukan karena fanatik buta. Setiap pasukan fanatik terhadap bacaan mereka. Setiap mereka mengaku bacaan mereka lebih benar dan bacaan pasukan lain salah. Memang bacaan mereka berbeda pada waktu itu, karena sahabat yang mengajari mereka Al-Quran juga tak sama. Mereka belum tahu bahwa perbedaan cara baca Al-Quran itu adalah keniscayaan yang di syariatkan Alloh swt. dan Nabinya, Muhammad saw. Mereka dengan semangatnya mengatakan :
“قراءتي خير من قراءتك”
“Bacaan kami lebih baik dari bacaan kalian”.
Guru-guru mereka -para sahabat- tidak pernah berseteru karena perbedaan bacaan, tetapi mereka dengan bangganya membawa nama-nama guru mereka ketika berselisih. Untungnya fitnah ini segera dipadamkan oleh Khalifah Utsman ibn Affan dengan hikmah dan kebijaksanaan beliau yang kemudian berujung pada penyalinan mushaf.
Akibat kefanatikan, semua yang diucapkan gurunya dianggap benar dan tidak akan pernah salah. Sebaliknya, segala yang diucapkan oleh selain gurunya akan dituduh salah, apalagi yang berbeda dengan pendapat gurunya. Padahal guru dan lawannya sejajar dalam keilmuan, atau lebih tinggi, atau bisa saja lawan gurunya lebih rendah, tapi kebenaran berpihak padanya, bukan sang guru. Guru dan lawannya adalah manusia biasa yang bisa dirundung kesalahan, mereka bukan Nabi yang ma’shum, bukan pula seorang Rosul yang terjaga dari segala kesalahan.
Kebenaran tidak punya agama, gender, ras, atau tahta. Dia hanya akan mencari tempat bersemayam yang sesuai, dan apabila tempat itu sudah tidak cocok, maka dengan serta merta dia akan bergegas, berlalu, dan mencari tempat yang lain.
Nabi mengajarkan kepada kita untuk menghormati kebenaran. Dari mana saja asal kebenaran tersebut beliau akan mengakuinya. Bahkan dari manusia yang mengingkari kenabian beliau sekalipun. Ketika ada seorang sahabat yang mendendangkan bait-bait syair milik Umayyah ibn Abi As Sholt yang berisikan kata-kata hikmah serta penghambaan yang tinggi, maka beliau tidak cukup hanya mendengarkan satu bait saja. Beliau terus-terusan meminta sahabat tersebut menguraikan bait-bait syair tersebut sampai tuntas seratus bait. Dan akhirnya baginda berujar:
“ءامن شعره، وكفر قلبه”
“Bait syairnya telah beriman, tetapi hatinya mengingkari”.
Umayyah memang seorang yang jauh dari kebiasaan jahiliah. Dia juga salah satu pengikut Hanifiyyah, ajaran-ajaran Nabi Ibrohim yang sudah di tinggalkan orang Arab pada waktu itu. Dia sama seperti Waroqoh bin Naufal, Zaid bin ‘Amr dan lainnya. Karena dia banyak mempelajari Taurat dan Injil, yang mana di sana disebutkan akan kehadirannya seorang utusan Alloh di akhir zaman sebagai Nabi terakhir, maka dia sangat berharap akan menjadi utusan Alloh di akhir zaman. Tapi ternyata Alloh sudah menetapkan Muhammad sebagai Rasulnya, sehingga kesombongan membuatnya enggan mengikuti baginda Nabi saw. Walaupun seperti itu, Nabi tetap mengakui kebenaran yang terkandung dalam syair Umayyah.
Nabi sendiri menerima usulan-usulan sahabatnya di banyak perkara. Di perang Badar contohnya, ketika beliau memutuskan untuk bermarkas di suatu tempat. Sahabat beliau, Al Hubab ibn Al Mundzir mendatangi beliau, setelah bertanya apakah ini perintah Alloh atau hanya taktik dalam perang? Nabi mengatakan: ini hanya taktik perang. Maka Hubab menyampaikan usulannya agar pindah ke tempat lain sambil menjelaskan kenapa kita harus pindah dan keuntungan yang akan kita raih apabila kita pindah. Di sana, tanpa ragu Nabi pun bangkit dan memerintahkan pasukannya untuk bergegas mengikuti apa yang dikatakan Hubab.
Pasti antum pernah mendengar kisah Abu Hurairoh yang diabadikan dalam kitab Shahih Bukhari, bahwa beliau pernah di tugaskan oleh Nabi saw. untuk menjaga gudang pangan pada waktu itu. Dalam tiga malam berturut-turut beliau didatangi Iblis yang menyerupai seorang pencuri dan merengek sambil mengadukan kepelikan ekonominya sehingga terpaksa mencuri. Setiap paginya beliau menceritakan hal tersebut kepada Baginda. Pada malam terakhir si Iblis malah mengajari Abu Hurairoh sang “enseklopedis” Hadits itu wirid penjagaan dari syaithon. Wirid Ayat Kursi yang di ajarkan Iblis itupun di ceritakan kepada Nabi dan Baginda besabda:
“صدقك، وهو كذوب”
“Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah pendusta”.
Baginda mengakui kebenaran dan kejujuran “Iblis”. Iya… jangan kaget, karena Nabi sangat menghormati kebenaran sekalipun dari mulut makhluq terlaknat bernama Iblis.
Sangat sering saya dapatkan cendikiawan-cendikiawan kita yang tidak sedikit diantara mereka mengkritik guru-gurunya, bahkan guru dari gurunya. Untuk contoh, Imam Abu Syamah dalam kitabnya “Ibroz al-Ma’ani”, syarah dari matan ilmu Qiro’at Sab’ah (tujuh) yang bernama “Hirzul Amãni wa Wajhut Tahãni” dan di kenal dengan matan Syathibiyah milik Imam Syathibi. Di kitab itu beliau sangat sering meluncurkan kritikan terhadapt Imam Syathibi, yang notabene adalah guru dari dari Imam Sakhawi. Dan Imam Syakhawi adalah guru kebanggaan dari Abu Syamah sendiri. Ternyata mereka membuang jauh yang namanya fanatisme. Dan itu semua sama sekali tidak mengurangi kadar penghormatan mereka kepada guru-gurunya. Justru itu adalah bentuk tingginya penghormatan murid terhadap guru mereka yang telah mengajarkan kepada mereka untuk terus mencari kebenaran tanpa pandang bulu.
Imam Nawawi yang berguru kepada murid Ibnu Sholah tidak segan-segan berselisih dengan guru dari gurunya dalam permasalahan Shalat Rogho’ib di bulan Rojab yang di akui Ibnu Sholah.
Tentu itu semua setelah sang murid mumpuni dan diakui, baik oleh gurunya tersebut atau guru-gurunya yang lain. Jadi bukan hanya sekedar atau asal beda. Seperti candaan orang mesir ketika ada seseorang yang kerjaannya selalu mengkritik. Ketika ia ditanya, kenapa kamu mengkritik terus ? Dengan santai dia menjawab: “Biar saya gak dibilang himar (keledai)”. Ternyata biar gak dibilang goblok kayak himar saja, cuma biar dia dikira pintar saja.
Kritik yang di maksud harus berdasarkan keilmuan yang mendalam. Dan dengan bahasa yang baik serta beradab.
Ingat pepatah Arab:
“الحكمة ضالة المؤمن، أنى وجدها، التقطها”
“Hikmah (kebenaran) adalah barang milik orang mukmin yang hilang. Dimana ia menemukannya, maka dia akan mengambilnya.”
So.. Jangan Gengsi Dan Fanatik Buta !!!
(Ammu Jayyan)