Kali ini, penulis* mencoba
mengisahkan sepenggal cerita nabi Ayyub ‘Alaihi al-Salam yang layak
ditiru kesabarannya. Nabi Ayyub ‘Alaihi al-Salam diceritakan secara
ringkas dalam Q.S. Sad. Tepatnya, dari ayat 41-44. Cerita yang ringkas, namun
tak kehilangan keindahannya. Di akhir cerita, Allah ‘Azza Wajalla memuji
kesabaran nabi Ayyub ‘Alaihi al-Salam atas ujian yang ia terima.
إِنَّا وَجَدْنٰهُ صَابِرًا ۚ نِّعْمَ الْعَبْدُ ۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ
“Sungguh, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar! Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat
(kepada Allah).” [QS. Sad (38) : 44]
Nabi Ayyub merupakan rule
model kesabaran kita. Kesabaran yang dibalut tidak hanya dengan
berprasangka baik kepada Allah ‘Azza Wajalla. Akan tetapi juga
diselimuti oleh adab dan kesopanan kepada Yang Maha Kuasa. Keluhuran dan
keindahan adab serta kesopanan Nabi Ayyub itu dilukiskan dalam al-Qur’an, Q.S
Sad : 41
وَاذْكُرْ عَبْدَنَآ أَيُّوبَ إِذْ نَادٰى
رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ الشَّيْطٰنُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
“Dan ingatlah akan hamba Kami,
Ayyub ketika ia menyeru Rabbnya, “Sesungguhnya aku diganggu oleh setan dengan
kepayahan (kemudaratan) dan siksaan (rasa sakit).”
Nabi Ayyub menisbatkan atau
mengaitkan kemudaratan dan siksaan yang sedang dihadapinya kepada setan. Sekalipun
pada kenyataannya, segala sesuatu itu berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ihwal demikian tidak lain dan tidak bukan merupakan bentuk taadduban nabi
Ayyub ‘Alaihi al-Salam kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kesabaran yang diselimuti
dengan husnudzan dan adab, menambah iman dan taqwa nabi Ayyub kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Hingga pada akhirnya, setelah melalui berbagai ujian dalam kurun
waktu tertentu, (kurang lebih selama 18 tahun) Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menyembuhkan nabi Ayyub ‘Alaihi al-Salam dari penyakitnya.
ارْكُضْ بِرِجْلِكَ ۖ هٰذَا
مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ
وَشَرَابٌ
“(Kami katakan pada Ayyub),
Hentakkanlah kakimu! Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” [QS.
Sad (38) : 42]
Tidak sampai disana, Allah Subhanahu
Wa Ta’ala juga mengembalikan anak beliau yang dulu telah wafat. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
وَوَهَبْنَا لَهُۥٓ أَهْلَهُۥ وَمِثْلَهُمْ
مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنَّا وَذِكْرٰى لِأُولِى الْأَلْبٰبِ
“Dan Kami anugerahi dia
(dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipat gandakan jumlah
mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran
sehat.” [QS. Sad (38): 43]
Dikala sakit, nabi Ayyub ‘Alaihi
al-Salam pernah bernazar memukul istrinya, lantaran sang istri melakukan
perbuatan yang tidak berkenan di hati beliau. Beliau bersumpah memukul istrinya
dengan 100 kali deraan. Namun, nabi Ayyub gelisah dan tidak tega memmukul
istrinya. Pada akhirnya, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjawab
kegelisan itu.
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِب بِّهِۦ وَلَا
تَحْنَثْ ۗ
“Dan ambillah seikat (rumput)
dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar
sumpah.” [QS. Sad (38): 44]
Demikianlah cerita singkat kesabaran
nabi Ayyub dalam QS. Sad (38): 41-44. Setidakya, ada beberapa ibrah yang dapat
kita ambil. Pertama, ketika ditimpa musibah atau masalah, kita seyogianya
senantiasa ingat kepada yang menciptakan musibah atau masalah tersebut, yakni
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam salah satu kutipan yang disandarkan
kepada sayyidina Ali Karramallah Wajhahu dikatakan, “Jangan katakan
kepada Allah, Aku punya masalah yang besar. Akan
tetapi, katakanlah kepada masalah bahwa, ‘Aku punya Allah yang Maha Besar.”
Kedua, Kita
harus menyakini bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Hal ini senada dengan sabda
nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
لِكُلِّ دَاءٍ
دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya.
Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, akan sembuhlah penyakit
itu dengan izin Allah ‘azza wajalla.” (HR Muslim)
Ketiga, tidak
mudah mengeluh. Ingatlah, bahwa nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih
banyak daripada ujian yang diberikan, mengacu kepada firmannya:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ
اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung
nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah
benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [QS. Al-Nahl (16): 18]
Ibrah terakhir adalah sabar
dalam menghadapi ujian. Sebab, sejatinya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji
hamba sesuai dengan kadar kemampuannya (La yukallifullahu nafsan illa
wus’aha). Kesabaran yang diselimuti dengan husnudzan dan taadduban,
dipupuk juga dengan keimanan dan rasa syukur atas berbagai nikmat yang sudah
diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Semoga di bulan Ramadhan yang
mulia ini mampu menjadi sebuah momentum berharga bagi diri kita dalam rangka
melatih kesabaran. Bukan saja sabar dalam menahan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa. Akan tetapi, juga sabar dalam menjalankan perintah Allah,
menjauhi larangan. Sabar menahan lidah dari ucapan yang menyinggung perasaan,
ataupun jari yang bisa menggores hati.
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ سِرِّيْ
وَعَلاَنِيَتِيْ فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِيْ، وَتَعْلَمُ حَاجَتِيْ فَأَعْطِنِيْ سُؤْلِيْ،
وَتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا دَائِمًا يُبَاشِرُ قَلْبِيْ، وَأَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا
حَتَّى أَعْلَم أَنَّهُ لَنْ يُصِيْبَنِيْ إِلاَّ مَا كَتَبْتَهُ عَلَيَّ،
وَالرِّضَا بِمَا قَسَمْتَهُ لِيْ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.
Wallahu a’lam bishawab.
*Bayan Wahyu Annasihi, Mahasiswa Fak. Syariah Islamiyah.