Kami tidak pernah melihat wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, karena mahar
beliau adalah Islam. (Ahlul Madinah)
Pada permulaan cahaya Islam mulai menyebar di muka bumi, Sayyidah Gumaisha’ binti Muhlan atau lebih dikenal dengan nama Ummu
Sulaim kala itu sedang berusia 40 tahun. Suaminya bernama Malik bin Nadr,
seorang suami penuh cinta dan kasih sayang terhadap istrinya. Dengan segenap
cintanya, ia memberikan kehidupan yang nyaman nan mewah kepada Sayyidah
Ghumaisha’, begitu juga beliau terhadap suaminya. Kala itu ahlu Yastrib jika
melihat ada seorang suami dianugerahkan istri yang dihiasi dengan kecerdasan
akal, pikiran kritis, dan perangai yang baik, mereka akan merasa iri dengannya.
Dan salah satu suami beruntung yang dimaksud adalah Malik bin Nadr.
***
Suatu hari, Mus’ab bin Umair datang
ke Yastrib dengan membawa cahaya petunjuk sang Nabi. Kala itu,
terbukalah pintu hati Ghumaisha’ terhadap Islam bagaikan terbukanya kelopak
bunga di pagi hari. Tidak lama kemudian beliau mempublikasikan keislamannya
bersama dengan kaum muslimin lainnya di Yasrib.
Kemudian Sayyidah Ghumaisha’ sang
istri setia mengajak suaminya ikut meneguk mata air suci keislaman dan
memperoleh kebahagian iman sebagaimana yang ia rasakan. Akan tetapi
Malik bin Nadr tidak gembira dengan kedatangan Islam dan merasa tidak senang, bahkan dia mengajak
istrinya meninggalkan Islam dan kembali kepada
agama nenek moyangnya. Namun akhirnya masing-masing tetap berpegang teguh pada pendiriannya,
karena Sayyidah Ghumaisha’ benci kekufuran, seperti halnya seseorang benci dilemparkan ke dalam api neraka. Sedangkan Malik sangat fanatik dengan agama
nenek moyangnya.
Sayyidah Ghumaisha’ memiliki kekuatan argumen yang sangat kuat membuat
membuat suaminya terdiam. Apa yang ada dalam dakwahnya, kebenaran yang dapat mengungkap
segala kebatilan. Malik mempunya berhala
yang terbuat dari kayu yang menjadi sesembahannya selain Allah, suatu ketika Sayyidah
Ghumaisha’ berkata: “Apakah kamu menyembah
sebatang kayu yang tumbuh di atas bumi, yang kamu injak-injak dan tempatmu
membuang kotoran?! Apakah kamu meminta
kepada kayu yang dijual seorang Habasyi dari seorang pemahat
kayu di kota!?”
Dan tatkala suaminya sudah tak mampu lagi berdalih membantah argumen telak
istrinya, ia pun pergi meninggalkan kota untuk mengembara
ke kota Syam. Ia tinggal di sana dalam
kurun waktu yang tidak lama hingga kemudian ia meninggal dengan keadaan kafir.
***
Begitu kabar tentang jandanya Gumaisha’ tersebar di penjuru kota, banyak pria yang ingin mendekatinya. Namun mereka tidak
melakukannya tersebab takut ditolak dan kembali dalam keadaan kecewa dengan perbedaan keyakinan di antara mereka. Namun Zaid bin Sahl yang biasa dipanggil
dengan Abu Thalhah, memiliki kedekatan dengan Gumaisha’, mereka berdua dari
Bani Najjar. Hal itu mendorong keinginannya untuk meminta keridhaannya (melamar).
***
Abu Thalhah pergi ke kediaman Gumaisha’ dan mencoba meminangnya dengan sengaja
menyebut kuniahnya, ia berkata: “Wahai Ummu Sulaim, aku datang untuk melamarmu,
aku berharap kamu tidak menolakku.”
Ummu Sulaim menjawab: “Demi Allah aku tidak menolak seorang sepertimu wahai
Abu Thalhah, hanya saja kamu merupakan laki-laki kafir sedangkan aku wanita
muslimah, tidak halal bagiku untuk menikah denganmu, jika kamu masuk Islam maka
itu adalah maharku dan aku tidak menginginkan mahar lain selain Islam.”
Lalu Abu Thalhah berkata: “Tunggulah aku menyelesaikan urusanku.”
Tatkala berlalu hingga esok hari, Abu Thalhah kembali ke kediaman Ummu
Sulaim lalu bersyahadat: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Dialah
yg maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.”
Ummu Sulaim berkata: “Karena kamu sudah masuk Islam, maka aku ridha kamu menjadi suamiku.“
Mendengar hal itu banyak orang-orang berkata: “Kami tidak pernah
mendengar seorang perempuan yg lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim, yaitu
maharnya adalah Islam.”
***
Beruntung sekali Abu Thalhah diberkahi Ummu Sulaim, seorang istri yang
mulia lagi baik hati. Hal yang membuatnya semakin bahagia adalah tatkala Ummu
Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki untuknya yang kelak akan menjadi
permata dan buah hati mereka. Akan tetapi, ketika Abu Thalhah sedang
mempersiapkan diri untuk safarnya, anaknya mengeluh tentang penyakit yang menimpanya. Hal ini membuat Abu Thalhah sangat khawatir dan hampir membatalkan rencana safarnya.
Di tengah kepergiannya, cabang kecil nan indah itu melemah dan akhirnya meninggal dunia lalu dikuburkan. Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya: “Jangan beritahu Abu Thalhah tentang wafat
anaknya hingga aku sendiri yang akan memberitahunya.”
***
Sekembalinya Abu Thalhah dari perjalanannya, Ummu Sulaim menyambutnya dengan ceria dan wajah yang berseri-seri, Abu Thalhah kemudian
menanyakan perihal anaknya. Ummu Sulaim menjawab: “Biarkan saja dia, dia sekarang lebih tenang dari
yang kamu tahu.”
Ia membawakannya makan malam kemudian menghibur suaminya, ketika Abu
Thalhah sudah kenyang dan merasa tenang, Ummu Sulaim lalu mengatakan kepadanya:
“Wahai Abu Thalhah, apa
pendapatmu jika suatu kaum mengembalikan barang pinjaman yang dia pinjam pada
orang lain, apakah ada hak mereka untuk melangkah dan menahan barang pinjaman
tersebut dari pemiliknya?”
Abu Thalhah berkata: “Tidak.”
Ummu Sulaim berkata: “Sesungguhnya
Allah telah mengambil kembali apa yang sudah dipinjamkan, dan itu termasuk
anakmu.” Kemudian Abu Thalhah menerima ketentuan Allah dengan hati lapang dan
ridha.
Ketika pagi menjelang Abu Thalhah
pergi menemui Rasulullah SAW dan memberitahu beliau tentang apa yang dilakukan
oleh Ummu Sulaim. Rasulullah SAW pun berdoa untuk Abu
Thalhah dan Ummu Sulaim semoga Allah mengganti atas
kehilangan mereka dengan yang lebih
baik, dan memberkahinya. Allah Azza wa Jalla lalu menjawab doa Nabi-Nya SAW, Ummu Sulaim pun
hamil. Ketika
kehamilannya mendekati 9 bulan beliau kembali ke Madinah bersama suaminya
dan Rasulullah SAW. Tatkala mereka sudah dekat dengan Yastrib, Ummu Sulaim merasakan sakit ingin
melahirkan. Abu Thalhah pun menghentikan perjalanan untuk membersamai istrinya
sedangkan Rasulullah SAW tetap melanjutkan perjalanan agar bisa masuk Madinah sebelum malam, kemudian Abu Thalhah menengadahkan tangannya ke
langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau tahu bahwa hamba
sangat senang keluar dengan utusan-Mu tatkala ia keluar, dan masuk ke Madinah bersamanya
tatkala ia masuk. Namun hamba terhalang melakukan itu seperti Engkau lihat.”
Ummu Sulaim berkata kepada
Abu Thalhah: “Wahai Abu Thalhah, demi Tuhan aku tidak menemukan rasa sakit pada
kehamilan ini seperti yang aku rasakan sebelumnya, mari kita teruskan
perjalanan dan jangan sampai terlambat membersamai Rasulullah.”
Maka mereka berdua
melanjutkan perjalanan hingga sampai di Madinah, Ummu Sulaim melahirkan anak laki-laki. Beliau berkata kepada sekitarnya: “Jangan
satu pun menyusuinya sebelum dibawa kepada
Rasulullah SAW.”
Di pagi hari, bayi itu dibawa oleh saudaranya, Anas bin Malik. Ketika Nabi melihatnya menghadap, beliau berkata: “Sepertinya
Ummu Sulaim sudah melahirkan.”
Anas berkata : “Iya wahai Rasulullah…”.
Beliau meletakkan bayi tersebut
di pangkuan Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah meminta kurma Ajwa kemudian mengunyahnya dengan mulutnya yang mulia
hingga halus. Setelah itu, beliau memasukkannya ke mulut bayi Ummu Sulaim, lalu
mengoleskannya di antara gigi dan bibir sang bayi. Kemudian Rasulullah
mengusap wajahnya dengan tangannya yang mulia, dan memberikannya nama Abdullah.
Dari
keturunannya ini muncul sepuluh ulama Islam terpilih.
***
Ummu Sulaim sangat
mencintai Rasulullah SAW, cinta yang sudah mendarah daging dan sudah menancap di relung
hati yang paling dalam. Bukti cintanya pada Rasulullah terlihat dari apa yang dituturkan anaknya, Anas, yang berkata: Suatu siang saat Rasulullah
tidur di kediaman kami. Saat itu panasnya sangat menyengat, hingga keringat bercucuran
di keningnya. Kemudian ibuku (Ummu Sulaim) datang membawa wadah, lalu
mengalirkan keringat beliau ke dalam wadah tersebut hingga Nabi pun terbangun dan
berkata: “Apa yang kamu lakukan wahai Ummu Sulaim?”
Ummu Sulaim menjawab: “Ini
adalah kerinngatmu, aku mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai wewangian.” Kemudian
jadilah ia wewangian terbaik.
***
Dan dari bukti cintanya
Ummu Sulaim kepada Rasulullah SAW itu sangat banyak. Anaknya Anas mempunyai rambut
panjang yang menjulur di keningnya, lalu Abu Thalhah ingin memangkasnya yang ketika
itu sudah panjang, tetapi Ummu Sulaim menolaknya. Alasannya karena Nabi SAW setiap bertemu
dengan Anas
selalu mengelus kepalanya dengan tangannya dan juga mengelus rambut panjang
yang menjulur di keningnya.
***
Tidak dipungkiri
bahwasanya Ummu Sulaim adalah seorang mu’minah sejati, cerdas, istri
sekaligus ibu dari generasi pertama. Dan di atas semua itu, Ummu Sulaim adalah seorang pejuang di
jalan Allah.
Berapa
banyak paru-parunya sesak oleh debu peperangan yang harumnya diselubungi
harumnya surga!! Jari-jarinya dipenuhi warna luka para mujahidin
yang bertugas
membersihkan dan membalut luka mereka dengan tangannya sendiri. Berapa banyak air yang dituangkan
Ummu Sulaim untuk tenggorokan-tenggorokan
yang haus sedang mereka berjihad di jalan Allah. Ummu Sulaim
juga membawakan perbekalan dan
memperbaiki panah mereka.
***
Ummu Sulaim sudah
menyaksikan Perang Uhud,
ia bersama suaminya Abu
Thalhah dan juga Rasulullah SAW. Ia dan Aisyah bertugas membawakan air di punggung
mereka dan meminumkannya kepada kaumnya.
Sebagaimana dia
menyaksikan Uhud, Ummu Sulaim juga menyaksikan Perang Hunain. Hari itu dia
membawa bersamanya belati dan menyalipkannya di pinggangnya, ketika suaminya Abu
Thalhah melihat itu, dia berkata: “Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim membawa belati.”
Lalu Nabi SAW berkata kepadanya: “Apa ini wahai Ummu Sulaim?”
Ummu Sulaim berkata: “Belati
wahai Rasulullah, jika ada salah seorang musyrikin maka aku akan menebas perutnya.”
Itu membuat Rasul SAW
tertawa bahagia dengan apa yang dia katakan.
***
Wabakdu…
Apa kamu mengira ada di atas
muka bumi ini perempuan yang lebih bahagia dan kembali dalam keadaan damai dari
Ummu Sulaim setelah Rasul SAW berkata tentangnya: “Aku masuk ke dalam surga dan
aku mendengar di dalamnya suara langkah kaki.”
Aku berkata: “Siapakah itu?”
Mereka berkata: “Dialah Gumaisha’ bintu Milhan ibu dari
Anas bin Malik.”
***
Diterjemahkan dari kitab Shuwar min Hayah al-Shahabiyat.
Penerjemah: Ghina Rifqotul Husna & Sulistya Ruwi