Kegiatan periwayatan Hadis dalam momen Asyura , merupakan sebuah tradisi turun-temurun dari para ulama terdahulu sampai saat ini. Waktu yang sangat berharga ini, tidak disia-siakan terlewat begitu saja oleh Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara dan Bali (KM-NTB) Mesir. Bertepatan dengan kajian mingguan yang dilaksanakan pada hari Senin setiap minggu tersebut, KM-NTB Mesir mengadakan majelis periwayatan Hadis Musalsal kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dua kitab sebelumnya yaitu “Tadzkirat al-Du’at wa al-‘Awam” dan “Talazum al-Syariah wa al-Thariqah” pada hari Senin, 9 September 2019 di Sekretariatnya, Abbas el-Akkad.
Syekh Abdullah Izzuddin selaku pengampu majelis ini memulai dengan membacakan sanad Hadis yang beliau terima langsung dari gurunya yaitu Fadhilat al-Muhaddits Syekh Musthafa Abu Sulaiman al-Nadwi al-Husaini al-Syafi’i al-Naqsabandi pada tahun 1432 H. Matan Hadis tersebut berbunyi:
(صيام يوم عاشوراء, أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبلها)
Hukum dari Hadis ini adalah Sahih berdasarkan jalur Imam Muslim. Setelah selesai membacakan Hadis dari awal sanad sampai dengan bersambungnya ke Rasulullah, Syekh Izzuddin kemudian mengijazahkan Hadis ini kepada semua orang yang berada di tempat dan waktu itu.
Setelah periwayatan Hadis selesai, kegiatan pun dilanjutkan dengan pembacaan dua kitab yang telah disebutkan tadi. Diantara poin-poin yang dibahas di dalam majelis tersebut adalah:
1. Kitab Tadzkirat al-Du’at wa al-‘Awam fi Munasabat Yaum ‘Asyura’
A. Pengertian hari Asyura
Hari Asyura’ adalah hari ke-sepuluh dari bulan Muharram di kalangan jumhur Ulama’, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah ra:
” أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بصيام عاشوراء يوم العاشر”
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi SAW memerintahkan untuk berpuasa Asyura’ pada hari kesepuluh (bulan Muharram)”.
B. Hukum puasa Asyura
Hukum berpuasa Asyura di kalangan empat imam madzhab adalah sunnah, dan hal ini telah termaktub di dalam hadits-hadits Rasulullah SAW.
C. Keutamaan puasa Asyura
Rasulullah SAW sangat memuliakan hari Asyura ini, dan menganjurkan pada ummatnya untuk berpuasa. Hari Asyura memiliki keutamaan-keutamaan, sebagaiman yang terdapat dalam sabda Rasulullah SAW:
“ليس ليوم فضل على يوم في الصيام إلا شهر رمضان ويوم عاشوراء”
Artinya:
“Tidak ada hari yang memiliki keutamaan untuk berpuasa kecuali (berpuasa pada) bulan Ramadhan dan (berpuasa) pada hari Asyura”.
Dari hadits tersebut dapat diketahui betapa mulianya puasa Asyura, hingga Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan berpuasa Asyura sama mulianya dengan kita berpuasa pada hari-hari di bulan Ramadhan.
Diantara kelebihan puasa Asyura juga diriwayatkan oleh Imam Muslim:
وعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “صيام يوم عاشوراء أحتسب على الله أن يُكفر السنة التي قبله”.
Artinya:
“Puasa hari ke-sepuluh (bulan Muharram) terhitung di sisi Allah SWT menggugurkan (dosa) satu tahun sebelumya”.
Syarbini berkata: “Hikmah puasa Arafah adalah menggugurkan dosa dua tahun sebelumnya, sedangkan berpuasa Asyura menggugurkan dosa setahun sebelumnya, hal ini disebabkan karena hari Arafah adalah hari khusus untuk ummatnya Rasulullah SAW, dan Asyura’ adalah hari Musawi (hari ummatnya nabi Musa yakni Ummat Yahudi), dan nabi Muhammad adalah sebaik-baiknya nabi utusan Allah SWT, oleh karena itu berpuasa pada hari Arafah lebih banyak ganjarannya dibandingkan dengan berpuasa pada hari Asyura”.
D. Hal yang menyebabkan berpuasa pada hari Asyura’
Di Madinah, Rasulullah SAW melihat kaum Yahudi berpuasa Asyura’, lalu Rasulullah SAW bertanya kepada mereka: apa ini?, kaum Yahudi menjawab: ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah SWT memenangkan Bani Israil dari musuh mereka, lalu Nabi Musa AS berpuasa pada hari itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas kemenangan tersebut.
Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa juga. Namun untuk membedakan kaum Yahudi dengan ummat Islam, Rasulullah SAW memerintahkan ummatnya untuk berpuasa sehari sebelum hari Asyura atau sehari setelahnya, sebagaimana yang terdapat dalam sabda beliau:
وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم:” صوموا يوم عاشوراء, وخالفو فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما”.
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: Berpuasalah kalian pada hari Asyura’, dan untuk membedakan kalian dengan kaum Yahudi, berpuasalah sehari sebelu hari Asyura atau sehari setelahnya”.
E. Keutamaan menafkahi keluarga pada hari Asyura’
Rasulullah SAW bersabda:
“من أوسع على عياله وأهله يوم عاشوراء أوسع الله عليه ساءر سنته”
Artinya:
“Barangsiapa yang melapangkan nafkah keluarganya pada hari Asyura’, niscaya Allah akan melapangkan (rizki) kepadanya sepanjang tahun”.
2. Kitab Talazum al-Syariah wa al-Thariqah
A. Bab Baiat
Permasalahan tentang hukum baiat yang terdapat di kalangan ulama adalah bahwasanya hukum baiat dalam thariqah itu Sunah bukan wajib maupun sesat. Syekh Zakaria al-Kindihilwi (w.1402 H) menjelaskan bahwa baiat tersebut terdapat di dalam Alquran maupun Hadis. Seperti contohnya dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12:
(يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلا يَسْرِقْنَ وَلا يَزْنِينَ وَلا يَقْتُلْنَ أَوْلادَهُنَّ وَلا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ)
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Begitupula di dalam Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ubadah bin Shamit dikatakan bahwasanya Rasulullah saw. bersabda di depan para sahabat yang kira-kira artinya sebagai berikut: “Berbaiatlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah swt., tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kalian, tidak berbuat dusta…”
Berdasarkan kedua dalil tersebut, dapat dipahami disini bahwa baiat dalam masalah ini bukan berarti berbaiat untuk masuk islam ataupun berjihad di medan perang mendirikan khilafah, karena yang menjadi lawan bicara (khitab) Nabi adalah para sahabat ra., melainkan baiat tersebut bermakna sebagaimana yang dipahami para ulama sufi yaitu menetapkan kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan buruk.
Kemudian Imam Zakaria mengutip pendapat Imam al-Dihlawi dalam kitabnya “al-Qaul al-Jamil” tentang pembagian baiat di kalangan ulama tasawuf ada tiga, yaitu: (1) Baiat taubat dari perbuatan maksiat,(2) Baiat mengambil berkah dari para ulama salihin,(3)Baiat untuk memperbarui ketaatan, bertakwa kepada Allah swt. dalam zahir maupun batin, serta menjaga hati yang bersih bersama Allah swt.
B. Bab Mujahadat
Dalam permasalahan ini Syekh Izzuddin menjelaskan kenapa kegiatan riyadhah pada zaman Nabi saw. dan para sahabat tidak ditemukan sebagaimana pendapat orang-orang yang mengingkari tasawuf islami. Bahwasanya, para sahabat tidak butuh lagi terhadap hal tersebut karena mereka sudah mencapai maksud, sedangkan riyadhah tersebut adalah wasilah untuk mencapainya. Dengan melihat langsung baginda Nabi saw., itu sudah cukup bagi mereka untuk sampai kepada maqom ihsan dalam beribadah yaitu menyembah Allah swt. seakan-akan melihat-Nya. Imam al-Hafizh al-Sakhawi disebutkan di dalam kitab tersebut berkata bahwa ketika seorang muslim melihat atau dilihat oleh Rasulullah saw. maka Allah swt. akan menetapkan kepadanya sifat istikamah.
Seiring perkembangan beriring dengan jauhnya masa kehidupan Rasulullah saw., maka perlulah bagi setiap muslim untuk mengambil langkah atau wasilah agar bisa menyampaikannya kepada derajat yang tinggi tersebut, maka salah satu jalannya adalah dengan mengikuti jejak para ulama tasawuf dalam hal mujahadat atau peningkatan kualitas ibadah.
Terdapat beberapa faidah penting yang disebutkan Imam Zakaria mengenai mujahadat, daiantaranya: (1) Membiasakan pengawasan diri terhadap hati yang bersih, (2) Membenci segala perbuatan yang melalikan dari mengingat Allah swt. (3) Mempelajari bagaimana mengeluarkan kesibukan dari selain Allah swt. sehingga keterikatan penghambaan semakin menguat.
Di dalam kitab ini disebutkan pula beberapa kisah menarik dari Auliya’ al-Sholihin dalam tenggelamnya mereka dalam peribadahan, diantara yang menarik adalah kisah sahabat Abdullah bin Zubair ra. Ketika beliau sedang sholat, anaknya yang masih kecil bernama Hasyim tertidur disampingnya, kemudian pada saat itu seekor ular jatuh dari balkon mereka ke hadapan si anak. Lantas, anak tersebut terbangun kemudian terkejut sampai berteriak meminta tolong sambil menangis. Semua penghuni rumah kemudian mendatangi si anak dan membunuh ular tersebut. Semua kejadian menakutkan tersebut berjalan sedangkan Abdullah bin Zubair tetap khusyuk di dalam shalatnya. Ketika selesai, ia pun bertanya kepada orang-orang: “Tadi ketika aku sedang sholat, aku sempat mendengar sedikit teriakan, apakah itu?” Isterinya pun menjawab: “Semoga Allah swt. merahmatimu, hampir saja anakmu mati sedangkan kamu tidak merasakan apapun!?”. Kemudian ia menjawab: “Apa-apaan kamu, kalau saja aku melirik sedikit saja dalam sholatku, maka itu bukan sholat namanya”.
Begitulah keadaan para wali Allah swt. ketika telah merasakan nikmatnya beribadah. Syekh Izzuddin pun mengiaskan cerita tersebut pada kodisi penuntut ilmu. Beliau menasihati agar seorang penuntut ilmu haruslah tetap berada di jalannya, jangan sampai lengah bahkan kehilangan arah. Jika seorang penuntut ilmu disibukkan dengan hal-hal selain kegiatan keilmuan maka hal itu bukanlah disebut menuntut ilmu. Selesai.
(red/)