Oleh: Imam Sya’rowi
Kumandang merdu saling beradu memberikan tanda tiba waktu, percik air yang tertadah hampir meluap dari tangan rentanya, tertumpah membasahi garus-garis keriput yang nampak tersenyum bahagia dengan hidupnya, uban yang layaknya mahkota begitu terang terkena sinar mentari Kairo.
Sembari melepas sepatu, ia terlihat menyingsing lengan kemeja panjang, serta dasi ia lempar ke pundak. Sepatu coklat penuh debu bersandar di samping kakinya, yang menjulur ke arah derasnya air, seketika itu pula nampak jernihnya air berubah kecoklatan.
Di bawah pohon, ia menundukkan kepalanya, sesekali ia memperbaiki dekapannya, yang disangga otot dan sendi yang lapuk. Mungkin tak ada yang menyangka badan yang susah digerakkan itu akan mampu berdiri tegak, jika hanya dengan melihat raut wajahnya, ia begitu sumringah melaksanakan pertemuannya.
Gerak bibir yang begitu halus, seperti menyampaikan keinginan hati terdalam yang sangat tulus. Dengan perlahan, ia berusaha duduk menyungkum rumput, beralas sapu tangan yang tampak usang termakan usia, gerakan demi gerakan begitu penuh khidmat ia laksanakan.
Tangannya menggenggam butiran tasbih, sembari tertunduk, kedua bibirnya komat kamit diiringi tangan yang memutar tasbih dengan deras. Sejurus kemudian tangan halus yang nampak keriput menjulur ke langit, dahinya tampak mengerut dan sesekali ia menggelengkan kepalanya.
Mata yang tertutup itu, perlahan tampak mengalirkan bulir halus yang mewakili seluruh perasaannya. Sekejap pun, mataku tak terkatup melihat pemandangan yang mengharukan, indah nian kalbu yang tertambat pada takwa.