Dialog hangat yang sempat terjadi antara Grand Syekh Al-Azhar Ahmad At-Thoyib dengan Rektor Universitas Kairo Muhammad Osman El-Khost pada 28/01/20 telah banyak menggiring kesadaran publik untuk berpikir, merenung dan bertanya, sebenarnya watak “pembaharuan” seperti apa yang sedang dinanti oleh dunia Islam saat ini? Dimana letak perbedaan “wacana” yang ditawarkan oleh Khosth maupun Al-Azhar? Mungkinkah “ruh pembaharuan” yang diploklamirkan Al-Azhar dapat didamaikan dengan “pembaharuan” ala Khosth ini?
Sampai saat ini, fenomena pembaharuan seperti ini masih menjadi “problem-wacana” yang perlu kita jawab dan kritisi secara proporsional, karena sering kali sebuah fenomena menjadi buram dan terkubur oleh narasi diskursif, pengalaman serta realitas manusia yang saling berkepentingan. Oleh karena itu, usaha untuk melepaskan berbagai macam atribut dalam “peristiwa pembacaan” menurut saya merupakan pilihan yang tepat untuk membaca dan mendekati sebuah objek kesadaran secara lebih arif dan bijak.
Islam dan Tantangan Modernitas; Dualisme antara Islam Identitas dan Berkemajuan
Pergeseran pola serta laku keberagamaan sosial menjadi alasan primordial dimana wacana pembaharuan harus terus diproduksi dan dinarasikan oleh para pemegang otoritas kekuasaan —agama. Ia telah sedang dan akan selalu menjadi topik penting yang harus dikedepankan mengingat hiruk pikuk problematika sosial, politik, budaya yang terus berkembang dan membutuhkan respon yang bisa me-ruang dan me-waktu.
Sebagaimana yang ditulis oleh Ahmad At-Thoyib di dalam bukunya “Turâst wa Tajdid” bahwa pembaharuan menjadi topik yang santer untuk dibicarakan di beberapa dekade terakhir. Telah banyak ulama, pemikir bahkan budayawan yang berbondong-bondong untuk menyumbangkan ide serta gagasan pembaharuannya di dalam berbagai kesempatan. Meskipun sayangnya, hal ini tidak berbarengan dengan kesiapan standar metodologi yang harus dikuasai oleh beberapa oknum yang mendaku sebagai seorang yang membawa ide-ide pembaharuan, terutama ide-ide pembaharuan yang datangnya dari sang “liyan”.
Namun di sisi lain, ada semacam indikasi-indikasi “kepanikan” dari sebagian pemikir Islam terhadap suatu metodologi baru yang sifatnya “asing”. Upaya untuk meneguhkan identitas dan membedakan diri dari sang liyan ini yang kadang kala menyita objektifitas dan membuat umat Islam terjebak pada wacana eksklusif dan keterbelakangan. Ketegangan antara dua poros ini yang menurut penulis perlu didudukan dalam suatu bingkai keberagamaan dialektika keilmuan. Meskipun hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah, karena masing-masing dari mazhab meyakini bahwa paham yang ia bawa adalah paham yang paling benar, meminjam istilah Khost yaitu paham yang mengklaim bahwa ialah sang pemegang otoritas “kebenaran absolut”.
Perbedaan tradisi juga menjadi faktor utama dalam keterbentukan sikap ilmiah, di Barat manusia intelek terbiasa dan masif dengan adat “kritik” bahkan “kritik atas kritik”, kemenangan rasionalisme terhadap dogma gereja dapat dirasakan pengaruhnya hingga saat ini. Berbeda dengan Islam-Arab, saya tidak ingin mengatakan bahwa umat Islam tidak memiliki tradisi “kritik” tapi hegemoni nalar teologis-transmitif serta euforia kejayaan masa lalu, diakui ataupun tidak, ia sedikit banyak mempengaruhi psikologis umat Islam di dalam menghadapi wacana “liyaning liyan”. Dan pada akhirnya wacana penerimaan standar metodologi baru pun masih menjadi barang semu dan buram.
Hamdi Zaqzuq dan Dekonstruksi ala Khost
Di dalam buku “Al-Azhar wa Tajdid”, Hamdi Zaqzuq menulis sebuah essai yang mungkin dapat kita jadikan sebagai sebuah acuan analisa komparatif singkat antara sikap Al-Azhar dan Khost. Di situ beliau dengan tegas mengatakan bahwa, sebagai makhluk sosial manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari “struktur masa lalu”, baik dari segi tradisi dan sejarahnya (turâst peradaban dan keagamaan), dan perlu digaris bawahi bahwa dari segi dimensi-relatifnya, setiap generasi memiliki potensi untuk mampu belajar lebih baik dan melampaui para pendahulunya (tajâwuz at-Turâst).
Hubungan antara umat Islam dengan sejarahnya (turâst) tentunya juga berbeda dengan hubungan non-muslim terhadap turâst yang dimilikinya, masing-masing dari mereka memiliki perbedaan signifikan di dalam ranah ontologis, epistimologis hingga aksiologisnya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam perjalanan sejarah, sering kali terjadi semacam “perkawinan epistemologis” yang pada ujungnya melahirkan sebuah produk episteme yang baru. Mengingat sejarah belum akan menjadi sebuah “sistem tertutup” selama ia masih berproses, mengkonstruksi dan saling bertali-temali antara dirinya dan realitas. Sebagaimana dialog peradaban Islam terhadap peradaban Yunani yang kemudian melahirkan beraneka macam tipologi wacana serta diskursus keilmuan.
Begitu pula dengan upaya Khost di dalam usahanya merekonsiliasi metodologi Barat sebagai pisau analisa pembaharuan untuk membedah dan mengoperasi “penyakit eksklusifitas serta klaim tunggal kebenaran” yang menjangkiti sebagian pola pikir umat Islam. Di dalam bukunya “Nahwa Ta’sîs ‘Ashr Dînî Jadîd” ia mencoba untuk menarasikan sebuah pola tajdid yang sedikit berbeda dengan tradisi pembaharuan Al-Azhar, ia menggunakan beberapa metodologi Barat; mulai dari teori skeptisisme Descartes hingga dekonstruksi yang ia harapkan mampu untuk memberikan sebuah ramuan mujarab dari Barat untuk Islam.
Dari sini saya menangkap adanya semacam keterbukaan metodologi serta ketenangan sikap terhadap “liyaning-liyan”, ia tidak anti metode asing bahkan ia mengadopsinya sebagai kaca mata untuk membaca realitas sosial yang terjadi di dunia Arab khususnya Mesir. Ia mencari benang merah antara teks agama dengan perkembangan wacana keilmuan di Barat. Meskipun di dalam buku setebal 246 halaman itu, ada semacam indikasi “cacat metodologis” serta upaya-upaya yang berkonotasi “a-historis” dan “diskontinu” terhadap sejarah panjang yang telah berjalan di dalam peradaban Timur-Islam.
Ia ingin “mengkonstruksi” bukan “merekonstruksi” rumah wacana (khitôb), ia ingin “mengembangkan” bukan “menghidupkan” ilmu-ilmu agama. Ia ingin membangun semacam era baru atau lebih jelasnya sebuah “proto turast-turast baru” dimana Islam awal dijadikan sebagai nilai universal yang dapat “melampaui” dimensi ruang maupun waktu yang berbeda-beda, dan konsekuensi logisnya adalah Islam menjelma menjadi tradisi-tradisi baru di setiap eranya.
Bagi seseorang yang memiliki sejarah peradaban yang panjang, ungkapan Khost ini, meminjam istilah Ahmad At-Thoyib sangat bertendensi terhadap sikap “ihmâl” wa “tark”, ada semacam upaya “diskontinuitas terhadap sejarah” yang telah berjalan dan membentuk peradaban Islam selama berabad-abad (At-Tasykîl al-Hadzâri). Ia ingin mendekonstruksi nalar taklid-jumud, namun di sisi lain, sikap ini berpotensi menjadikannya kehilangan beberapa fragmen berharga dalam sejarah yang telah ikut bertali-temali membangun struktur peradaban Islam hingga saat ini.
Ditambah lagi, metodologi yang ia gunakan juga masih terkesan “abu-abu” ia ingin menggunakan dekonstruksi (manhaj tafkîkî) sebagai alat baca realitas umat Islam yang telah terhegemoni oleh wacana sakralitas produk pemikiran, ia ingin mendekonstruksi dokrin “Neo-Jahiliahisme Puritan”, namun sampai saat ini, hanya diksi “cacat” yang bisa saya haturkan kepada Khost dan segelintir pemikir Islam lainnya yang sempat melontarkan kritikan yang berbunyi dekonstruksi hanya akan berujung pada “ketiadaan” (nihilism) dan ketidakhadiran seorang subjek di dalam teks.
Bagi para pengkaji strukturalisme hingga post-strukturalisme pasti akan sedikit kecewa dengan kesimpulan ini, Dekonstruksi Derrida tidak bertujuan untuk “menghilangkan makna” ia hanya menginginkan “relativitas makna” membela bahasa lain dari dalam diri teks, Dekonstruksi ingin mengoyak oposisi-oposisi biner dan kecenderungan makna absolut yang menghantui serta tersubordinasi ke dalam otoritas pengarang.
Jadi, Dekonstruksi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah aliran relativistik daripada nihilistik. Ia tidak bermodus “absensi” atau bertendensi “membunuh subjek” —dalam artian lugu—, ia hanya ingin bermain dalam parodi kehadiran dan ketidakhadiran yang ada dalam setiap butiran-butiran teks filosofis maupun antropologis. Sebab jika “kematian subjek” dianggap sebagai modus “ketidakhadiran”, maka ia telah melemparkan dirinya sendiri pada momen “ketiadaan”. Narasi semacam ini sangat bertentangan dengan prinsip Derrida yang ingin melampaui hierarki oposisi biner itu sendiri. Jadi, kematian subjek dapat dimaknai sebagai suatu penundaan terhadap totalitas makna logos yang berhasrat akan pusat yang stabil daripada tendensi akan “ketiadaan”.
Persimpangan Dua Dimensi; Tradisi dan Realitas
Islam sebagai peradaban yang menyejarah dan ada di dalam sejarah, ia memberikan warisan sekaligus semangat akan perwujudan sejarah baru, tradisi tidak membenarkan sikap sakralitas, taklid buta dan monopoli kebenaran, ia mengajarkan kita untuk bersikap inklusif dan saling menghargai perbedaan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa gejala-gejala yang telah saya sebutkan di atas telah menjadi watak keberagamaan sebagian dari kita dari dulu hingga sekarang.
Di sini Khost menegaskan bahwa terdapat perbedaan ontologis antara dimensi absolut dengan dimensi sublunar-relatif manusia. Ia tidak akan pernah bisa terlepas dari cara ia “mengada” dan melihat dunianya. Cara beragama seseorang tidak akan pernah bisa sama, ia akan terus “menjadi” dan tersituasikan ke dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Hanya nilai-nilai universal serta beberapa prinsip dasar yang dapat bertahan dan berwajah sama hingga akhir zaman.
Di sisi lain, krisis pebaharuan bukan berarti “pelupaan” ia lebih sebagai sebuah usaha damai antara horizon kekinian manusia dengan horizon pendahulunya. Upaya memihak terhadap salah satu hanya akan memunculkan wacana-wacana bimbang. Al-Azhar sebagai mercusuar keilmuan Islam memiliki beban amanah terhadap tradisi yang harus terus dijaga dan dilestarikan, Namun di sisi lain, krisis pembaharuan menuntut para pemikir kita untuk lebih bersikap terbuka dan bijaksana terhadap sesuatu yang bersifat “liyan”. Mengambil pelajaran dari mereka tanpa harus meninggalkan tradisi menghargai dan ikut mempelajari tanpa harus menyetujui.
Dari situlah dialog peradaban dapat berjalan dengan baik dan lebih produktif, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita yang telah menyumbangkan baju kebesaran pada peradaban Islam, mereka ada dan hadir di dalam proses berjalannya sentuhan peradaban, maka tak heran jika Ibnu Rusd di dalam kitabnya “Fashlul Maqôl” mengatakan bahwa, “upaya berkenalan dengan sang ‘liyaning liyan’ merupakan suatu kewajiban dalam agama. Jika apa yang mereka katakan merupakan suatu kebenaran, maka kita akan menerimanya, namun jika sebaliknya kita akan menolak dan mengingatkan mereka”.