Dalam ilmu hadits, ada istilah tahammul (menerima hadits dari syaikh hadits) dan ada istilah ada’ (menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain). Dan dua hal ini tidak talazum, dalam arti seseorang yang banyak tahammul hadits (hafal banyak hadits) belum tentu banyak meriwayatkan hadits kepada orang lain.
Memang, seseorang diketahui banyak tahammul dan ada’ adalah ketika banyak meriwayatkan hadits kepada orang lain. Namun, ketika seseorang disibukkan dengan urusan lain selain urusan meriwayatkan hadits, misalkan istinbath ahkam atau menyusun dalil-dalil melawan ahli bid’ah atau pekerjaan lain, itu bukan berarti jadi dalil shahih bahwa seseorang tersebut memiliki sedikit riwayat hadits atau nihil hafalan haditsnya.
Sayyiduna Abu Bakar as Shiddiq, misalnya. Beliau adalah shahabat yang paling ‘alim dan paling lama mulazamahnya kepada Rasulullah. Tetapi riwayat hadits dari beliau jumlahnya sangat sedikit, bahkan seolah tidak menunjukkan beliau adalah ulama dari kalangan shahabat atau yang paling alim diantara shahabat Nabi. Dan tentu yang demikian ada sebab musabbabnya.
Hampir mirip dengan beliau adalah Sayyiduna Umar bin Khaththab, Sayyiduna Utsman bin Affan, dan Sayyiduna Ali bin Abi Thalib. Riwayat hadits beliau bertiga tidak sebanyak shahabat yang bergelar “al-muktsirun” (shahabat yang meriwayatkan hadits lebih dari 1000 hadits). Bahkan yang demikian juga terjadi pada banyak ulama’ tabi’in maupun tabi’it tabi’in.
Imam Malik dan Imam Syafi’i yang tiada orang ragu akan hafalan dan kepakaran beliau dibidang hadits pun tidak sebanyak huffazh hadits yang lain dalam meriwayatkan.
Imam Syafi’i pernah berkata:
“إذا جاء الأثر فمالك النجم”
“Jika datang atsar (hadits), maka Imam Malik adalah bintangnya”.
Imam Syafi’i mencatat hadits dari Imam Malik sebanyak 100.000 hadits. Bahkan dalam sebuah riwayat dituturkan:
انه لا يعلم سنة صحيحة الا وقد أثبتها الشافعي في كتبه
“Sesungguhnya ia (Ibnu Khuzaimah) tidak mengetahui hadits yang shahih kecuali telah dicatatkan Imam Syafi’i dalam kitabnya”.
Begitu kurang lebihnya riwayat Imam Subki dalam kitab “Makna Qaulil Imam al-Muththolibi”.
Alasan untuk kedua ulama besar tersebut adalah karena keduanya lebih sibuk memahami fikih, mengajarkan fikih, berijtihad, istinbath, dan menyusun kaidah-kaidah ushul fikih (kaidah istinbath). Dan aktifitas itu yang menjadikan beliau berdua tidak banyak meriwayatkan hadits sebagaimana huffazh-huffazh kenamaan yang lain. Tetapi sekali lagi, itu bukan berarti keduanya sedikit pengetahuannya terhadap hadits. Dan beliau berdua adalah contoh ulama’ yang lebih banyak tahammulnya daripada ada’-nya.
Yang demikian itu juga berlaku kepada Imam Abu Hanifah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar, sebagaimana dicatat oleh muridnya, al-Hafizh as Sakhawi dalam “Al-Jawahir wad Durar”, pernah ditanya tentang pernyataan Imam An-Nasai dalam “Adh-Dhu’afa wal Matrukin” bahwa Imam Abu Hanifah adalah seorang yang dhaif haditsnya dan sedikit riwayat haditsnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjawab, pernyataan an-Nasai adalah berdasar ijtihad dan yang tampak oleh beliau. Dan tidak semua ucapan seseorang bisa diterima. Dan penilaian An-Nasai tersebut kemudian diikuti oleh beberapa ahli hadits termasuk al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh-nya.
Alasan untuk Imam Abu Hanifah adalah karena beliau memiliki pandangan, seseorang tidak boleh menceritakan hadits kecuali dia ingat terus menerus mulai dari tahammul hingga ada’. Syarat ini memang sangat berat terkait dengan sifat dhabth perawi hadits. Oleh karena itu, beliau sedikit meriwayatkan hadits, meski kenyataannya beliau banyak hafal riwayat hadits.
Tetapi, tidak membicarakan masalah ini adalah jauh lebih baik. Imam Abu Hanifah adalah seorang imam mujtahid yang terakui dan juga dipilih oleh Allah. Demikian al-Hafizh Ibnu Hajar memungkasi jawabannya.
Seluruh ulama telah mengakui bahwa Imam Abu Hanifah seorang mujtahid besar. Imam Ahmad bin Hanbal sendiri mengakui hal ini. Padahal sebelumnya beliau ikut-ikutan mencela karena perseteruan yang populer antara madzab ra’yu (Iraq) dan madzhab hadits (Hijaz). Dan Imam Ahmad sendiri pernah berfatwa, untuk bisa menjadi seorang mujtahid seseorang harus hafal 400.000 hadits.
Karena alasan itu, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya, “Tahdzibut Tahdzib” sama sekali tidak menyinggung komentar ulama-ulama yang mencela hafalan hadits Imam Abu Hanifah. Begitu pula al-Hafizh al-Mizzi dalam “Tahdzibul Kamal”, dan al-Hafizh adz-Dzahabi dalam “Siyar A’lamin Nubala'” dan “Tadzkiratul Huffazh”.
Bukti shahih bahwa Imam Abu Hanifah banyak sekali menghafal hadits adalah:
1. Imam az Zabidi dalam “Uqudul Jawahir al-Munifah” berkata: “Yahya bin Nashr bercerita: “Aku masuk ke kamar Abu Hanifah yang ternyata didalamnya berisi banyak kitab. Aku bertanya kepada beliau: “Kitab apa ini?”. Abu Hanifah menjawab: “Ini adalah kitab-kitab hadits semua. Aku tidak meriwayatkan hadits kecuali sedikit hadits yang bisa dimanfaatkan”.
2. Mulla Ali al-Qari dalam Manaqib Imam Abi Hanifah berkata: “Muhammad bin Sama’ah bercerita bahwa Abu Hanifah pernah menyebutkan lebih dari 70.000 hadits”.
3. Imam Ibnu Khaldun dalam “al Muqaddimah” berkata: “Yang menunjukkan Abu Hanifah tercatat sebagai mujtahid besar dalam ilmu hadits adalah madzhab beliau terkategori madzhab mu’tamad ditengah-tengah para ulama besar semasanya”.
Wallahu A’lam.