![]() |
Sumber: google.com |
Sunah memiliki tempat yang sangat
penting dalam pensyari’atan hukum islam.
Dia menempati ruang kedua setelah Alqur’an Alkarim, dan pada sebagian
permasalah, sunah memiliki otoritas dalam menentukan hukum sendiri (Istiqlal
fi al hukm).
penting dalam pensyari’atan hukum islam.
Dia menempati ruang kedua setelah Alqur’an Alkarim, dan pada sebagian
permasalah, sunah memiliki otoritas dalam menentukan hukum sendiri (Istiqlal
fi al hukm).
Dari zaman Rasulullah saw. sampai saat ini, sunah telah melewati
berbagai fase, mulai dari pelarangan
dalam penulisan (Nahyu ‘an al Kitabah),
kemudian mendapatkan legitimasi (al Idzn bi al Kitabah), lalu
dikumpulkan secara perorangan (Ta’lif), dan di kodifikasi (Tadwin).
berbagai fase, mulai dari pelarangan
dalam penulisan (Nahyu ‘an al Kitabah),
kemudian mendapatkan legitimasi (al Idzn bi al Kitabah), lalu
dikumpulkan secara perorangan (Ta’lif), dan di kodifikasi (Tadwin).
Juhud (semangat) yang
dikorbankan para sahabat, tabiin serta
ulama yang datang setelah mereka dalam menjaga sunnah merupakan wasilah yang
telah didesain oleh Tuhan, karena itu merupakan janji-Nya sebagaimana tercantum
dalam ayat-ayat Alqur’an.
dikorbankan para sahabat, tabiin serta
ulama yang datang setelah mereka dalam menjaga sunnah merupakan wasilah yang
telah didesain oleh Tuhan, karena itu merupakan janji-Nya sebagaimana tercantum
dalam ayat-ayat Alqur’an.
Dalam perjalannya sehingga
sampai pada masa sekarang ini (dan masih berlanjut), sunah tidak melulu melewati jalan yang lurus
nun mulus. Hantaman, Tasykik, dan Syubhat, semua telah dilalui, tetapi
dengan memegang jaminan dari Tuhan melalui wasilah para pewaris Nabi ﷺ tersebut , dia tetap kokoh
berdiri.
sampai pada masa sekarang ini (dan masih berlanjut), sunah tidak melulu melewati jalan yang lurus
nun mulus. Hantaman, Tasykik, dan Syubhat, semua telah dilalui, tetapi
dengan memegang jaminan dari Tuhan melalui wasilah para pewaris Nabi ﷺ tersebut , dia tetap kokoh
berdiri.
Begitu pun dalam pensyari’atan
hukum islam, sampai saat ini, kehujahan sunah sering dipertanyakan. Bukan hanya
dari kaum orientalis yang terkenal sangat getol dalam hal ini, tetapi juga dari Abna’ al Muslimin (Orang-orang
Islam) sendiri. Mereka
membenturkan satu hadis dengan hadis yang lain, seolah-olah terdapat makna yang
bersinggungan. Mereka tidak mau memandang kepada sunah dalam berhukum, karena mereka menganggap keotentikan sunah
sudah tidak murni lagi. Mereka
hanya mencukupkan diri dengan Alqur’an, kemudian berdalil dengan satu atau dua ayat,
tanpa memperhatikan metode-metode yang telah ditetapkan
oleh ulama dalam permasalahan ikhtilaf al dzahir, lalu sampai kepada kesimpulan bahwa yang bisa dipakai berhujah adalah Alqur’an saja (Qur’aniyun).
hukum islam, sampai saat ini, kehujahan sunah sering dipertanyakan. Bukan hanya
dari kaum orientalis yang terkenal sangat getol dalam hal ini, tetapi juga dari Abna’ al Muslimin (Orang-orang
Islam) sendiri. Mereka
membenturkan satu hadis dengan hadis yang lain, seolah-olah terdapat makna yang
bersinggungan. Mereka tidak mau memandang kepada sunah dalam berhukum, karena mereka menganggap keotentikan sunah
sudah tidak murni lagi. Mereka
hanya mencukupkan diri dengan Alqur’an, kemudian berdalil dengan satu atau dua ayat,
tanpa memperhatikan metode-metode yang telah ditetapkan
oleh ulama dalam permasalahan ikhtilaf al dzahir, lalu sampai kepada kesimpulan bahwa yang bisa dipakai berhujah adalah Alqur’an saja (Qur’aniyun).
Dari persoalan di atas, lalu bagaimana cara kita mengatasi hal semacam ini?
Difa’ ‘an al Sunah
(Membela Sunah) hukumnya wajib bagi
setiap umat Islam. Namun kewajiban
tersebut harus didasari oleh kemampuan yang mumpuni. Sehingga,
pembelaan yang dilancarkan tidak setengah matang yang malah akan
berakibat fatal bagi kehujahan sunnah itu sendiri.
(Membela Sunah) hukumnya wajib bagi
setiap umat Islam. Namun kewajiban
tersebut harus didasari oleh kemampuan yang mumpuni. Sehingga,
pembelaan yang dilancarkan tidak setengah matang yang malah akan
berakibat fatal bagi kehujahan sunnah itu sendiri.
![]() |
Prof. Ahmad Ma’bed Abdul Karim Sumber: google.com |
Prof. Ahmad Ma’bed,
sang Maestro dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis Univ. Al Azhar dalam seminarnya yang bertajuk “Hujiah
al Sunah” baru-baru ini mengungkapkan keperihatinan beliau terhadap hal
tersebut. Di sana Beliau membebeberkan sebab munculnya berbagai macam syubhat serta cara
dalam mengatasinya. Beliau menyebutkan bahwa peran umat Islam dalam menangkal semua syubhat yang diarahkan kepada sunah sangatlah
penting. Kalau sekiranya masing-masing di antara umat Islam mau meluangkan
waktunya 10 menit saja untuk membaca sunah (Itthila’ al Mubasyir) di setiap harinya, syubhat-syubhat semacam ini tidak akan pernah ada artinya.
Pada seminar selanjutnya, yang
dilaksanakan oleh al Azhar al Syarif, beliau menguatkan lagi hal ini, beliau
berkata: “Saya tidak meminta 24 jam dari waktu kalian dalam sehari semalam itu
semuanya, tetapi saya hanya meminta 10
menit saja di setiap harinya, yaitu sebelum kalian tidur”.
dilaksanakan oleh al Azhar al Syarif, beliau menguatkan lagi hal ini, beliau
berkata: “Saya tidak meminta 24 jam dari waktu kalian dalam sehari semalam itu
semuanya, tetapi saya hanya meminta 10
menit saja di setiap harinya, yaitu sebelum kalian tidur”.
Kemudian beliau melanjutkan
“kalau sekiranya kalian mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan
kalian, kalian tidak akan menemukan
tempat bagi para musuh-musuh Islam yang ingin merongrong keotentikan sunah
itu”.
“kalau sekiranya kalian mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan
kalian, kalian tidak akan menemukan
tempat bagi para musuh-musuh Islam yang ingin merongrong keotentikan sunah
itu”.
Apa yang beliau sampaikan ini
bukan hanya isapan jempol belaka, melainkan sudah melalui tajribah (percobaan)
selama puluhan tahun yang beliau lakukan sendiri.
bukan hanya isapan jempol belaka, melainkan sudah melalui tajribah (percobaan)
selama puluhan tahun yang beliau lakukan sendiri.
Berkenaan dengan bacaan Yaumian
(Harian) itu, seorang dari hadirin bertanya, manakah kitab yang direkomendasikan oleh Syeikh untuk dibaca di setiap harinya sebagai pemula?
Syeikh merekomendasikan tiga judul kitab, yaitu:
(Harian) itu, seorang dari hadirin bertanya, manakah kitab yang direkomendasikan oleh Syeikh untuk dibaca di setiap harinya sebagai pemula?
Syeikh merekomendasikan tiga judul kitab, yaitu:
1. Al Arba’un Al Nawawiyah, karangan Imama Nawawi. Karna mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai
permasalahan keislaman.
permasalahan keislaman.
2. Umdah al Ahkam, karangan
Syeikh Abdul Ghani al Maqdisi. Karna kitab ini mengumpulkan hadis-hadis sahih
yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Syeikh Abdul Ghani al Maqdisi. Karna kitab ini mengumpulkan hadis-hadis sahih
yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
3. Jaami’ al Ushul, karangan Ibnu
Katsir.
Katsir.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Ahmad Ma’bed, Syeikh
Abdullah Izzuddin dalam banyak muhadharahnya sering menjelaskan hal ini. Beliau menceritakan kisah yang beliau langsung
dengar dari sang Maha Guru (Syeikh Musthafa Abu Sulaiman al Nadwi) ketika ditanya tentang bagaimana melawan para
pelempar syubhat terhadap kesucian sunah Rasulullah, beliau menjawab: “Jangan sibukkan diri kalian untuk membalas
mereka, karena itu semua hanya akan
menimbulkan jidal yang tak berujung dan
tidak akan memberikan kepuasan terhadap kedua belah pihak, bahkan akan
membuat syubhat itu tumbuh subur dan berkembang. Cukuplah kalian jaga sunah
dengan Ihya’ al Sunah (Menghidupkamnya).”
Abdullah Izzuddin dalam banyak muhadharahnya sering menjelaskan hal ini. Beliau menceritakan kisah yang beliau langsung
dengar dari sang Maha Guru (Syeikh Musthafa Abu Sulaiman al Nadwi) ketika ditanya tentang bagaimana melawan para
pelempar syubhat terhadap kesucian sunah Rasulullah, beliau menjawab: “Jangan sibukkan diri kalian untuk membalas
mereka, karena itu semua hanya akan
menimbulkan jidal yang tak berujung dan
tidak akan memberikan kepuasan terhadap kedua belah pihak, bahkan akan
membuat syubhat itu tumbuh subur dan berkembang. Cukuplah kalian jaga sunah
dengan Ihya’ al Sunah (Menghidupkamnya).”
Ihya’ al sunah di sini dapat
dimaknai dengan membaca dan
memperkenalkan sunah kepada masyarakat tanpa menyinggung pihak yang
membuat syubhat tersebut, kemudian
mengaplikasikan sunah dalam setiap hembusan nafas. Wallahu A’lam
dimaknai dengan membaca dan
memperkenalkan sunah kepada masyarakat tanpa menyinggung pihak yang
membuat syubhat tersebut, kemudian
mengaplikasikan sunah dalam setiap hembusan nafas. Wallahu A’lam
(el-Din)