Oleh: Abdul Malik Salim
Rahmatullah
(Mahasiswa Fakultas Syariah Wal Qanun, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir)
Salah satu diskursus
yang masih tetap eksis di kalangan mufassirin sejak zaman dahulu hingga
sekarang adalah diskursus mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat. Diskursus
ini setidaknya menimbulkan tiga perbedaan pendapat di kalangan para ulama
tafsir. Pertama, perbedaan pendapat tentang mana saja ayat-ayat muhkamat,
dan mana saja ayat-ayat yang mutasyabihat. Sehingga tidak mengherankan, jika
kita menemukan ayat-ayat suci al-Qur’an yang bagi sebagian ulama bersifat
muhkamat, namun menurut sebagian ulama lainnya justru mensifatinya dengan
mutasyabihat.
Kedua, perbedaan tentang
boleh tidaknya melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarangnya. Ketiga, bagi
mereka yang memperbolehkan takwil, masih terdapat perselisihan tentang
siapa yang berhak melakukan takwil terhadap ayat tersebut. Mengingat,
tugas penafsiran maupun pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an bukanlah tugas gampang.
Maka menjadi sebuah keharusan dan sangat masuk akal jika hak pentakwilan
ayat-ayat suci al-Qur’an dibatasi hanya pada sekelompok orang yang memenuhi
syarat saja. Diantaranya, pengetahuan yang luas dan kemampuan berfikir yang
mendalam. Ini membawa konsekuensi pada terbaginya anggota masyarakat manusia
kepada kelompok-kelompok khusus, ahli (al-Khawas) dan kelompok-kelompok
umum, mayoritas (al-Awam).
Makna Muhkam dan Mutasyabih
Secara etimologi,
definisi muhkam berasal dari ihkam yang mempunyai berbagai konotasi. Namun,
konotasi-konotasi tersebut mengacu pada satu pengertian, alma’u yang
berarti mencegah. Contohnya pada lafadz “ahkam al-amr” yang berarti
membuat sesuatu itu menjadi kokoh, tercegah dari kerusakan. Pengertian seperti
ini juga serupa dengan apa yang dituliskan dalam kamus bahasa arab, seperti
dalam Tartib al-Qamus al-Muhith. Sedangkan kata mutasyabih secara bahasa,
berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan kesamaan. Dimana,
keserupaan itu biasanya membawa kesamaan antara dua hal. Lafadz tasyabaha
dan isytabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang
lainnya.
Dalam al-Qur’an, terdapat
ayat-ayat yang menggunakan kedua kata ini dan derivasinya. Yaitu, QS.Hud: 1 (…
Kitabun uhkimat ayatuhu…), QS.Az-Zumar: 23 (…Kitaban mutasyabihan
matsani…), QS.Ali Imran: 7 (…Minhu ayatun muhkamatun hunna ummul kitabi
wa ukharu mutasyabiha…). Sekilas, ayat-ayat ini menimbulkan pemahaman yang
bertentangan. Oleh karena itu, Ibnu Habib al-Naisaburi menceritakan tiga
pendapat mengenai hal ini. Pertama, yang berpendapat bahwa seluruh ayat al-Qur’an
adalah muhkam berdasarkan QS.Hud: 11. Kedua, yang berpendapat bahwa
seluruh ayat al-Qur’an seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat QS.Az Zumar: 23. Ketiga,
yang berpendapat bahwa sebagian ayat al-Qur’an muhkam, dan sebagian lagi mutaysabih
berdasarkan QS. Ali Imran: 7. Diantara ketiga pendapat tesebut, pendapat ketiga
lah yang lebih valid. Menurut al-Nisaburi, maksud ayat pertama yang menyebut
tentang muhkamnya al-Qur’an adalah kesempurnaan ayat-ayatnya dan tidak adanya
pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sedangkan maksud mutasyabih
pada ayat selanjutnya (QS. Az-Zumar: 23) adalah penjelasan mengenai segi
kesamaan ayat-ayat al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.
Berdasarkan pandangan
di atas, kita kemudian menjumpai para penulis ulumul Qur’an belakangan seperti
Imam al-Zarqani, Shubhi al-Saleh, Abd Mun’im al-Namir yang memandang tidak adanya
kontradiksi di antara ketiga ayat diatas.
Secara terminologi,
pengertian muhkam dan mutsyabih di kalangan para ulama masih berbeda-beda. Imam
al-Suyuti dalam Al-Itqan Fii Ulum Al-Qur’an mengemukakan delapan belas
definisi. Sedangkan al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi Ulumi al-Qur’an
mengemukakan sebelas definisi.
Imam al-Zarqoni dalam Manahil
al-Irfan-setelah mengutip pendapat-pendapat yang ada-berkomentar, semua
pendapat yang dikemukakannya tidak saling bertentangan. Diantara definisi-definisi
yang di kemukakan, terdapat persamaan dan kedekatan makna. Menurutnya, pendapat
yang dikemukakan Imam al-Razi, bahwa muhkam adalah ayat yang menunjukkan makna
yang kuat, yaitu lafal naskh dan lafal dzahir. Sedangkan
mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal (bersifat
global dan memerlukan perincian), muawwal (perlu ditakwilkan untuk dipahami),
musykil (maknanya sulit untuk diketahui), lebih jami’ dan mani’.
Dengan demikian, tidak masuk dalam kategori muhkam, ayat atau lafal yang
maknanya tersembunyi. Sebagaimana tidak masuk dalam kategori mutasyabih, ayat
atau lafadz yang maknanya jelas.
Terlepas dari banyaknya
perbedaan pendapat di kalangan para ulama tafsir, definisi yang masyhur dan
sering digunakan adalah, ayat-ayat muhkam adalah ayat yang mudah diketahui
maksudnya. Sedangkan mutasyabih, hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah
sendiri.
Permasalahan Penafsiran
Terhadap Ayat Muhkamat dan Mutayabihat
Keberadaan muhkam dan
mutasyabih dalam al-Qur’an kemudian menimbulkan persoalan. Yaitu, bagaimana
cara berinteraksi dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih?
Ayat-ayat muhkamat yang
ada dalam al-Qur’an tidak memunculkan banyak persoalan. Kebanyakan ahli tafsir
mempunyai kesamaan persepsi dalam persoalan ini. Akan tetapi, terkait dengan
ayat-ayat mutasyabihat (khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat
Tuhan), para ahli tafsir berbeda pendapat. Pendapat pertama tidak membolehkan takwil.
Menurut mereka, ayat-ayat mutasyabihat harus diterima dan dipercayai begitu
saja, serta menyerahkan segala kandungan ayat kepada Allah SWT. Pendapat ini
umumnya digunakan oleh para kelompok dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sedangkan pendapat yang
kedua, penggunaan takwil diperbolehkan dalam melakukan pembacaan terhadap
ayat-ayat mutasyabihat. Kelompok ini mencoba melakukan takwil atas ayat-ayat
mutasyabihat sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya) tanpa diketahui
maksudnya secara pasti, serta mencoba melakukan takwil atas ayat-ayat
mutasyabihat sesuai dengan makna atau sifat-sifat yang dimaklumi manusia.
Pendapat ini umumnya digunakan oleh ulama Ahlussunah Wal Jamaah.
Dalam beberapa
pandangan, terjadinya perbedaan pendapat tentang cara berinteraksi dengan ayat
mutasyabihat merupakan implikasi dari perbedaan pemahaman terhadap QS.Ali Imran
: 7 yang memiliki dua bentuk bacaan (qira’at). Ada yang menetapkan waqaf pada
lafal “…ilalLah…” dan ada yang menetapkan waqaf pada lafal “…fil ilmi…”
yang kemudian mempengaruhi dalam pemaknaan ayat.
Wallahu A’lam.
Maraji’:
1. Al-Zarqani, Manahil
al Irfan fi Ulumil al Quran.
2. Al-Suyuthi, Al-Itqan
Fii Ulum Al-Qur’an.