Proyek pembukuan Mushaf Al-Qur’an tidak berhenti begitu saja setelah purna tugas Sayyidina Usman bin Affan mencetak dengan rasm huruf yang baku dan menjadi standar wajib di seluruh dunia Islam. Orang-orang Arab kala itu bisa membaca dengan tepat walaupun tanpa titik dan harakat, karena keorisinilan bahasa mereka yg belum terkontaminasi oleh pengaruh bahasa lain dan fitrah kelurusan lidah mereka.
Seiring dengan perkembangan Islam ke negara-negara non-arab, di satu sisi kemenangan besar ini berpengaruh pada ketergangguan orisinalitas itu pada bahasa Al-Qur’an, kekeliruan-kekeliruan penuturan dan pelanggaran kaidah bahasa Arab (al-Lahn, al-Tashif dan al-Tahrif) mulai banyak. Semenjak itu, terjadi kesulitan dalam mengajarkan anak-anak membaca Al-Qur’an. Apalagi membaca kitab suci ini diharuskan dengan tajwid dengan berbagai macam hukumnya.
Merespon fenomena ini, para ulama yang kreatif melakukan cara-cara untuk memudahkan para pembaca yaitu dengan memberikan tanda-tanda khusus dalam penulisan mushaf sebagai simbol yang memiliki makna seperti rambu-rambu. Tanda-tanda khusus yang terdiri dari titik, harakat, sukun, tanwin, tasydid dan tanda-tanda lainnya inilah yang disebut dengan AL-DHABT, yang dirumuskan dengan tujuan agar tidak terjadi kebiasan dan kesamaran.
Sebagaimana kita ketahui, Ulumul Qur’an dari begitu banyak cabangnya yang menandakan kekayaan khazanah keilmuan Islam, salah satunya adalah ILMU DHABT yang bisa dikatakan ilmu mustaqill independen dari ilmu tajwid, ilmu rasm dan ilmu qira’at walaupun kesemuanya saling berhubungan erat. Tetapi ilmu ini jarang dikaji secara mendalam; bagaimana sejarah perkembangannya, filosofi di balik cara penulisannya yang begitu detail, perbedaan standar dhabt mushaf-mushaf dari satu negara dengan negara yang lain. Padahal teori-teorinya penting diketahui oleh para guru Al-Quran karena sangat membantu mempermudahnya dalam mengajar, apalagi apabila menjadi orang yang bekerja pada Lajnah Pentashihan Mushaf.
Hal inilah yang dibahas dalam Dauroh Qur’aniyyah dengan kitab An-Nukat Al-Hisan Fi Dhabti Wa Tajwidi Al-Qur’an bersama Dr. Muhammad Kahilah sore tadi di Aula KM-NTB Mesir. Pada pertemuan pertama tadi, Dr. Kahilah menjelaskan tiga marhalah perkembangan Dhabt dimulai dari masa Abul Aswad Ad-Duali, Yahya bin Ya’mar lalu Khalil bin Ahmad Al-Farahidi.
Dr. Kahilah melalui bukunya juga menjelaskan kecanggihan cara berpikir ulama yang merumuskan simbol-simbol ini. Sebab tak ada simbol yang digoreskan tanpa memiliki makna dan filosofi tersendiri, baik itu pada harakat asasi, sukun, tasydid dan tanwin. Lalu dibahas satu persatu secara detail asal-muasal dengan tanda-tanda yang kita kenal sekarang.
Penerapan dhabt pada tajwid bisa dilihat pada cara penulisan tanwin misalnya, ada yang ditulis dengan TARKIB (berbentuk double wawu kecil pada dhammatain dan garis dengan posisi sejajar pada harakatain). sebagai penanda hukum bacaan IZHAR, dan ditulis dengan TATABU’ menandakan hukum bacaan IDGHAM.
Semua teori-teori itu langsung dibuktikan dengan tanda penulisan yang diberlakukan pada mushaf, melalui gambar-gambar namuzaji mushaf dari berbagai negara kita dapat mengkomparasikan perbedaan standar tanda baca yang digunakan.
Terimakasih kepada semua peserta yang hadir pada sore hari ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Masih ada satu kali pertemuan lagi yang insyaAllah tidak akan kalah menarik.
