Oleh: Wahyudi Maulana Hilmy
Tidak lama ini,-mungkin sebagian teman-teman
Masisir sudah mengetahuinya-terjadi pertikaian gagasan antara seorang penulis
buku dengan seorang kritikus hasil tulisan tersebut. Keduanya menurut
penulis sama-sama menampilkan gagasan yang dipahami dan diyakini sebagai sebuah
kebenaran. Pihak pertama, (sebut saja Si Biru)
sudah memperlihatkan gagasannya, melalui buku-buku yang telah dicetak dan disebar kepada khalayak umum. Sependek
pengetahuan penulis, ada sekitar 3 buku yang sudah tersebar.
Adapun pihak kedua, (sebut saja namanya Si Baru) baru-baru ini melontarkan kritikan sebagai respon atas gagasan si Biru, serta berencana memperlihatan wujud gagasannya dalam
bentuk sebuah buku. Akan tetapi, sampai tulisan ini dibuat, masih belum tersebar
luas di khalayak umum.
Terkait si Biru, penulis mencium aroma
dialog pemikiran (kalau enggan menyebutnya dengan istilah pertikaian gagasan) melalui percakapan langsung dan singkat dengannya, tanpa ada
perencanaan sebelumnya, mengalir begitu saja dengan skenario Tuhan
Yang Maha Esa.
Waktu itu, penulis bersama 3 teman.
Sebut saja namanya Ahmad, Abdul dan Muhammad. Kami sedang asyik menyeruput
nikmatnya kopi hangat lagi pekat di depan gedung Pameran Buku Internasional
Kairo ke-53 di daerah Tajammu’ Khamis.
Sembari menikmati seruputan kopi, kami ngobrol
santai tentang banyak hal random.
Diantara obrolan hangat kami adalah proyek pembuatan a’māl kāmilah untuk Maha Guru kami
kedepannya, serta rencana-rencana lainnya yang mudahan saja bisa
terealisasi dengan baik berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Obrolan kami juga mendapat selingan
suara asyik dari penampilan seorang Violinist Mesir yang saat itu memainkan
instrumen musik pop jazz Barat. Penulis tidak ingat judulnya apa. Kalau tidak salah ingat, Muhammad menyebut judulnya
waktu itu. Namun yang pasti, suara biola itu manis terdengar di telinga, salah
satu definisi musik yang nyaman di telinga. Meminjam istilah Gen-Z sekarang
ini, “Nggak ada obat!”
Singkat cerita, si Biru bersama
temannya mendatangi kami, tentu terjadi sedikit percakapan walaupun penulis
tidak bisa menggambarkannya dengan sangat detail. Paling tidak, ilustrasi singkatnya seperti ini.
Biru dengan ramah tamah menghampiri kami. Ia terlihat memiliki
indikasi ingin berbicara kepada kami berempat.
Biru: “Kalian kenal saya nggak?”
Penulis pribadi awalnya tidak tahu siapa orang ini. Tersebab, dalam
alam semesta saya, wajah orang ini tidak terlalu familiar walaupun pernah
sesekali terlihat. Tapi teman saya, Ahmad, mengenalinya.
“Iya, kenal” jawab Ahmad.
Penulis tidak terlalu ingat persis kata-kata setelah itu. Yang jelas,
Ahmad memberikan sinyal bahwa dia kenal dan pernah bertemu sebelumnya. Si Biru
kembali bertanya,
“Kalau orang ini, kalian kenal, nggak?”
Sembari menyebutkan nama seseorang yang
juga asing terdengar di telinga penulis, yang nantinya penulis sebut dengan si
Baru, rival gagasannya.
Kami berempat sempat saling tatap. Penulis bingung. Entah ada yang
tahu atau tidak dari kami. Yang jelas, kalau saya sendiri tidak tahu dan tidak
kenal nama orang yang disebutkan itu. Karena semuanya diam, akhirnya saya coba
mejawab pertanyaan itu,
“Nggak tau.” Jawab saya singkat.
Si Biru terdiam sejenak seraya beranjak meninggalkan kami berempat.
(Sebenarnya, ceritanya masih panjang, tentang dialog saya bersama teman-teman
setelah si Biru pergi. Tapi, saya takut terlalu panjang menguraikan percakapan
kami berempat. Sehingga, saya coba memberikan ringkasannya saja lewat prolog.)
Setelah dijelaskan mengenai pertikaian
gagasan antara si Biru dan si Baru oleh si Abdul, barulah kemudian, saya dan teman-teman
yang lain,-Ahmad dan Muhammad-bisa meraba gambaran tentang kondisi yang sedang
terjadi, yang bisa dikatakan masih hangat. Atau bisa jadi yang lain sudah tahu,
cuma saya saja yang belum mengetahui informasi tentang hal itu.
Di sisi lain,-terkait si Baru-penulis
tidak pernah bertemu langsung atau berdialog lewat medsos sebelumnya, hanya
berteman lewat medsos saja beberapa hari setelah mengetahui tentang kejadian
tersebut. Jadi, penulis murni mengetahui tentang dia hanya melalui tulisannya
di lembar Facebook. Saya yakin semua orang dapat mengakses tulisan tersebut
karena ditampilkan untuk publik. Kalau untuk menguraikan apa yang ditulis oleh
si Baru, mungkin penulis tidak akan menuliskan hal tersebut di sini. Tersebab,
kalau masih bisa merujuk langsung kepada yang ditulis oleh si Baru, kenapa
tidak menuai air langsung dari sumbernya selama memungkinkan? Penulis rasa akan
lebih baik dan bijak.
Saya masih memegang kuat-kuat kaidah
penafsiran dalam ilmu Tafsir. Bahwasannya, yang paling tahu tentang makna dan
maksud sebuah tulisan atau ungkapan adalah orang yang berucap langsung atau
orang yang menulis langsung. Oleh karena itu, kalau sudah dikonsumsi oleh orang
lain, bisa jadi ada penambahan atau pengurangan maksud dan esensi. Bahkan,
dalam ilmu Ushul Fiqh ada kaidah yang menyatakan “maqāsid al-lafdz alā niyyat al-lāfidz”, maksud dari sebuah lafadz itu bertautan erat
dengan niat dan tujuan si pembicara.
Namun demikian, mā lā yudrak kulluh lā yutrak kulluh. Jikalau tidak dapat
mengetahui maksud keseluruhan dari sebuah kalimat atau berita, kita bisa
mencoba memahami sebagiannya dengan perangkat-perangkat yang dibutuhkan oleh seorang mufassir. Sehingga, kita tidak akan salah total dalam menuai makna dari sebuah
ungkapan maupun tulisan. Karena, tidak ada yang bisa menjamin manusia bisa
meraba seluruh maksud seseorang secara utuh, tanpa ada kekeliruan. Perangkat yang ditetapkan sebagai syarat bagi
seorang mufassir berfungsi untuk meminimasilir kesalahan tersebut. Begitulah kira-kira dalam dunia tafsir.
Al-muhim,
penulis ingin memberikan sedikit inti dari pertikaian gagasan tersebut. Yaitu,
perihal tahsīl al-‘ilm, yang meliputi
jalan untuk menghasilkan sebuah ilmu (manhaj)
sesuai dengan gagasan masing-masing. Meski rambut boleh sama-sama hitam
dan kepala juga boleh sama-sama dikandung badan, akan tetapi pemikiran dan
penalaran masing-masing orang pasti akan berbeda. Apalagi kalau masyrab dan madrasah fikriyah berbeda, kemungkinan besar akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda pula, walaupun kadang ada yang sama. Akan tetapi, hal
itu jarang sekali terjadi.
Manhaj
bisa bermakna metode sistematis, bisa juga kurikulum dan prosedur yang jelas,
bahkan bisa juga bermakna proses berangkai, dan beragam makna lainya kalau
ditinjau dari segi bahasa. Umumnya, semua metode yang jelas, sistematis, dan berangkai itu akan menuju pada sesuatu
yang jelas dan terang pula. Tentu dengan diperkuat oleh indikasi-indikasi yang
mendukung, serta bukti-bukti yang tak terbantahkan.
…و لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
“…Kami telah berikan kalian aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maidah [5] ; 48)
Yang menjadi titik fokus adalah kalimat
shiratan wa minhājan. Lebih detail
lagi, fokus kita pada kata minhājan,
seakar dan semakna dengan kata manhaj.
Walaupun kalau ingin telisik lagi, pasti ada perbedaan makna detail. Dalam
kaidah bahasa kita mengenal “ziādah
al-mabnā tadullu alā ziādah al-ma’nā.”