Kecemasan
Guru Seneng
Punggungnya
melengkung ketika ia menyilakan kaki sembari melinting tembakau yang dipisahkan
dari kotaknya. Sebelum itu, ia telah meloloskan satu persatu helai-helai
tembakau yang bagus dan jelek. Ya, tembakau yang ia hisap adalah tembakau
bagus. Aku tahu tembakau yang bagus seperti apa dan yang jelek seperti apa.
Sebuah aib bagiku terlahir di keluarga petani tembakau jika tidak mengetahui
hal itu. Ia membakarnya, menghisapnya dengan cepat dan menghembuskannya dengan
cepat pula. Seperti ada yang memburunya.
Kepulan asap
yang keluar dari mulut dan hidungnya seperti cerobong tempat pembakaran
tembakau, aromanya menguar di udara bercampur aroma-aroma lain. Warna asap yang
biasanya abu tidak begitu nampak kali ini. Malam melahap warnanya.
Bukan, aku
bukan pendongeng. Aku sedang menceritakan seorang yang sedang bersila di
hadapanku. Aku duduk di antara dua sujud di hadapannya. Tangan kiri aku
letakkan di lantai menjadi tumpuan tubuhku yang menunduk ke depan dan tangan
kanan aku selipkan di antara kedua paha. Tiga puluh menit berlalu setelah
ucapan pertama keluar dari mulutku.
“Jamaah
sudah menunggu, Tuan Guru”
Benar.
Tepatnya bukan aku saja sebenarnya yang menunggu. Jamaah di langgar sudah
sedari tadi menunggu Guru Seneng untuk memimpin salat. Menunggu Guru Seneng
dalam benakku bukanlah hal yang membosankan sebagaimana menunggu urusan lain.
Menunggu orang bayar hutang misalnya, atau menunggu azan Maghrib ketika bulan
puasa. Tidak. Menunggu Guru Seneng tidak seperti itu. Sosok yang memiliki
rambut putih seputih kapur itu terlalu mulia untuk disandingkan dengan kata
bosan. Cara berbicara dengan para jamaah dan senyumannya yang sayup membuat orang
ingin berlama-lama melihatnya. Sebagaimana para pemuda yang ingin berlama-lama
melihat goyangan penari jika ada tanggepan orgen.
Laki-laki
berumur setengah abad itu menurutku sangat handal memainkan perannya sebagai
ayah, khususnya bagi kami; masyarakat kampung. Ia dengan senang hati berangkat
meninggalkan gubuknya yang beraroma balsam ini jika ada utusan dari beberapa
kampung yang memintanya untuk mengisi pengajian. Ia sudah lakukan hal serupa
semenjak pulang mesantren di luar pulau.
“Tuan Guru, ya, tugasnya seperti ini. Ngasi
ceramah. Ndak ada lain” ucapnya kepadaku ketika aku mengawalnya pada suatu
pengajian di kampung sebelah.
Guru Seneng
memberikan ceramah kepada jamaahnya dengan semangat dan suara menggelegar,
persis seperti suara Bung Tomo yang sering aku dengar di radio rumahku. Jamaah
terhipnotis dengan isi pengajian Guru Seneng. Ketika semakin menggelegar
intonasi pengajian Guru Seneng maka semakin dalam para jamaah terhipnotis. Kadang ketika Guru Seneng
memasukkan cerita-cerita jenaka dalam pengajiannya, gemuruh gelak tawa memenuhi langgar tempat pengajian berlangsung.
Tidak hanya itu. Tidak jarang juga aku menyaksikan para jamaah menangis
sejadi-jadinya jikalau Guru Seneng memberikan peringatan akan siksa kubur,
malaikat munkar nankir, api neraka dan sakratul maut.
Aku mampu
bercerita seperti ini ke kalian, karena sebagai khadim, aku sudah hafal
isi pengajian Guru Seneng. Dalil-dalil yang ia sampaikan pun sudah di luar
kepala. Cerita-cerita? Jangan tanya. Aku ingat kisah Abu Nawas membokongi Harun
al-Rasyid. Aku tahu tempat Qarun menyembunyikan hartanya. Bahkan aku ingat
adegan ketika nabi Adam dilempar oleh Allah SWT. ke dunia selepas makan buah
Khuldi. Buah Khuldinya di mana katamu? Aku ingat. Kalau laki-laki jadi jakun,
kalau perempuan jadi gunung kembar.
Selain
memerhatikan isi ceramah yang berulang-ulang dan hampir mirip di semua tempat,
aku juga sering membaca materi pengajian Guru Seneng sebelum memulai aksinya.
“Darmaji, coba kamu ambil kertas yang ada di tas yang kamu bawa itu, ada
di tas bagian kecilnya” perintah Guru Seneng.
“Saudara-saudaraku yang dimuliakan
Allah. Kira-kira satu tahun sebelum keluar dari pondok pesantren, Tuan Guru
saya pernah bercerita kepada saya. Sehari setelah beliau menunaikan haji,
beliau bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad dan para sahabat-Nya di depan
Kakbah. Kata Tuan Guru saya wajah Nabi Muhammad lebih cerah dibandingkan dengan
seluruh cahaya”
Aku melihat
Guru Seneng menghela nafa. Ia seperti ayah yang sedang menceritakan dongeng
kepada anak sebelum tidur. Para jamaah keasyikan mendengar ceramah Guru Seneng.
“Setelah Tuan Guru saya mengucapkan
salam kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad memperkenalkan sahabat-sahabat yang
ikut dengan beliau. Ada Abu Bakar as-Sidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Nabi Muhammad memeluk Tuan Guru saya dan
membisikan sebuah doa. Iya, Tuan Guru saya telah diijazahi doa oleh Nabi
Muhammad!”
Para jamaah makin
terpana mendengar pengajian Guru Seneng. Mata dan telinga mereka seolah tak
ingin lepas dari ceramah Guru Seneng. Sosok yang menyelempangkan sorban putih
di pundak itu telah memberikan rangsangan secara batin kepada para jamaah
sebagaimana dokter memberikan obat kepada pasien yang sedang sakit parah.
“Apa doanya Tuan Guru?” sahut
bapak Munarep yang sedari tadi menunngu waktu untuk bertanya.
“Nantilah di acara Isra Mikraj saya
sampaikan, ya”
Beberapa
jamaah kendur hatinya mendengar Guru Seneng menunda ijazah doanya. Cerita
singkat itu tidak hanya membuat jamaah terkesan, tapi juga geregetan untuk
kembali mendengarkan lanjutan ceritanya.
Sampai saat
ini, gaya dan materi ceramah Guru Seneng sangat mengesankan. Ia selalu menjadi
pembicaraan. Bahkan -katanya- sejak dahulu. Semenjak aku belum menjadi khadim.
Atau mungkin lebih jauh lagi. Sejak Guru Seneng pulang mesantren.
Seperti
biasa, aku merapikan posisi sandal Guru Seneng selepas mengisi ceramah. Aku
siapkan payung walaupun tidak hujan. Kadang aku kibaskan payung itu untuk
melindungi tubuh Guru Seneng agar terhindar dari butiran-butiran kecil yang
turun dari langit. Di seberang masjid, biasanya mobil untuk antar jemput yang
disiapkan masyarakat sudah siap di seberang jalan. Aku biasanya duduk di kursi tengah dan Guru Seneng duduk di samping sopir.
Di saat-saat seperti itu, aku kadang bangga dengan diriku sendiri. Di saat
orang-orang berebut salaman dengan Guru Seneng, aku malah bisa duduk di belakangnya,
membawakan tas, bahkan memijat kakinya selepas pengajian.
“Darmaji, amplopnya, di mana
dia?”
“Sudah ditaruh di tas?” tanya
Guru Seneng.
“Sudah Guru” jawabku spontan. Seperti biasa Guru Seneng akan
menanyai hal itu kepadaku. Kertas-kertas berwarna merah dan biru terlihat dari
dalam amplop,Tapi aku rasa kebanyakan berwarna merah.
“Nanti Isra Mikraj, kamu ikut saya
lagi, ya, ke tempat yang tadi”
“Iya, Tuan Guru” jawabku
menimpali ajakan Guru Seneng.
Setelah
salat Isya, perayaan Isra Mikraj biasanya dibuka dengan grup hadrah yang
melantunkan selawat. Jamaah kasak-kusuk menunggu ceramah Guru Seneng. Mereka
ingat janji Guru Seneng untuk memberikan mereka ijazah beberapa bulan Mereka
tidak tahu doa apa yang diberikan Nabi
Muhammad lewat mimpi Gurunya Guru Seneng. Mungkin doa agar cepat kaya, atau doa
agar kebal. Aku pun tidak tahu. Makanya aku juga sangat semangat menunggu momen
ini.
Namun ada
hal yang berbeda dengan perayaan malam ini. Terdapat beberapa orang Guru yang
diundang masyarakat untuk mengisi pengajian. Biasanya Guru Seneng seorang.
Mereka Lebih muda dan keliatan lebih segar dibanding Guru Seneng. Setelah acara
Maulid beberapa bulan lalu, Guru Seneng memang pernah menyinggung perihal
jumlah Guru yang sudah banyak bermunculan di masyarakat. Guru Seneng tahu bahwa
Guru-guru muda itu memiliki cara baru yang tentunya lebih disenangi oleh
masyarakat. Materi yang berkembang
mengikuti perkembangan zaman, dan memiliki materi yang lebih beragam. Bahkan
karena mesantren di tempat yang lebih jauh dan dengan waktu yang lama, maka
mereka pasti menguasai ilmu agama lebih dalam dibanding dirinya. Posisi sebagai
penceramah bisa saja tergantikan, gerutunya.
“Sudah
empat acara saya ndak diundang ini, ndak seperti biasanya. Cepat siapkan tas
saya Darmaji, jangan sampai telat. Sekarang tambah banyak pembeli, ya tambah
banyak juga penjualnya ” ucapnya sebelum kami bertolak ke lokasi
pengajian.
“Bagaimana
menurutmu ceramah saya, masih bagusan saya, kan?”. Ucap Guru Seneng
meyakinkan diri sendiri. “Sekarang satu kampung saya perhatikan sudah
punya masing-masing Guru. Bahkan bisa memiliki lebih dari satu Guru. Bisa-bisa
sawah dikebun yang ngerjain bukan buruh lagi ini”.
Sebagai khadim,
aku tidak begitu memahami apa yang sebenarnya Guru Seneng katakana dan cemaskan.
Kepalaku mengangguk-ngangguk saja seperti kepala burung kakak tua.
“Sesuai janji saya. Saya akan
memberikan doa yang Nabi Muhammad berikan kepada guru saya ketika beliau
bertemu dengan Nabi di dalam mimpi”
“Doanya adalah…”
Kini semua Jamaah diam.
Apa? Doanya
kalian bilang? Tentunya tidak akan aku ceritakan kepada kalian. Guru Seneng
mengatakan jika ada orang yang menginginkan doa itu, maka harus datang dahulu
ke Guru Seneng. Kalau mau, datang saja kepadanya. Malam ini, masih ada lima
jadwal pengajian peringatan Isra Mikraj Guru Seneng. Aku pastikan kalian pasti
dapat. Kalau tidak dapat, mungkin kalian harus mengundang Guru Seneng mengisi
pengajian dulu.
Itu ceritaku
tadi malam. Aku ceritakan lagi nanti malam kalau ada undangan lagi. Sekarang
aku masih menunggu Guru Seneng menghabiskan rokoknya. Bau khas balsam sedari
tadi masuk ke sela-sela rongga hidungku. Guru Seneng belum juga tampak
bersiap-siap, padahal malam sudah mulai menampakkan punggungnya dan bulan sudah
akan mengulum matahari yang masih nyantol di waktu Maghrib. Terus saja ia
menghisap rokok tembakau sambil membaca kertas berisi isi ceramah yang ia
sering sampaikan. Aku tahu itu teks ceramah, karena aku yang bertugas menyimpan
kertasnya di tas kalau ia akan mengisi pengajian. Tidak mungkin aku salah
lihat. Kertasnya sudah menguning seperti warna kulit jagung yang ia jadikan
kertas rokok.
Guru senang
terus saja membolak balik kertas itu. Memerhatikannya. Kemudian membaca ulang
lagi. Memerhatikan. Membaca lagi. Seperti ada sesuatu yang mengepung matanya
untuk memandang sekitarnya. Termasuk memandangku. Seperti ada sekelabat
bayangan menakutkan yang menghantui pikirannya. Itu terlihat dari air muka dan
matanya yang tidak lagi sayup.
Aku tidak
enak dengan jamaah yang sudah menunggu kabar dariku. Namun sekarang aku lebih
tidak enak ke Guru Seneng. Aku tidak enak jika harus bertanya sesuatu
kepadanya. Apalagi meninggalkannya. Apa aku harus bilang ” Guru saya balik
dulu, mau ngasi tau jamaah Guru sedang tidak enak badan “. Aduh, aku tidak
bisa!
“Undangan pengajian yang ke kampung
sebelah, belum datang dia?” pertanyaan itu menusuk ke ingatanku. Aku tidak
bisa menghindar.
“Oh, tidak ada, ya. Ya sudah biarin
saja. Mungkin Guru yang lebih muda tadi malam sudah mengisi di sana”
“Kalau gitu saya Istirahat dulu, ya,
kamu saja yang jadi Imam Salat dulu”
Aku terkejut mendengar itu. Tidak seperti
biasanya Guru Seneng bingung seperti itu.
Atau ngelantur, ya?.