Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

ASMA BINTI ABI BAKAR; Wanita Pemilik Dua Selendang

“Asma diberikan umur 100 tahun, tidak ada kehilangan gigi atau pun gerahamnya, dan tidak hilang sedikitpun potensi akalnya” (Sejarawan)

Sahabat wanita yang satu ini memiliki kemuliaan dari segala sisi; Ayahnya adalah seorang sahabat, kakeknya sahabat, saudara perempuannya sahabat, suaminya sahabat, dan anaknya juga sahabat. Cukup rasanya, komposisi keluarga ini menjadi kemuliaan dan kebanggaan bagi Asma.

Ayahnya, al-Siddiq merupakan kekasih Rasulullah saw yang paling mulia dalam hidupnya. Ia adalah khalifah pertama kaum muslimin setelah meninggalnya Rasulullah. Sedangkan kakeknya adalah Abu Atiq ayah dari Abu Bakar. Saudari perempuannya adalah Ummul Mukminin, Aisyah, wanita yang suci dan disucikan. Suaminya adalah penolong Rasulallah saw, dialah Zubair bin Awam. Lalu anaknya adalah Abdullah bin Zubair, semoga Allah meridainya dan meridai mereka semua.

Itulah keterangan secara singkat tentang Asma binti Abi Bakar, dan itu sudah cukup menunjukan kemuliaannya.

Asma termasuk golongan sahabat yang pertama masuk Islam. Sebab tidak ada yang mendahuluinya masuk Islam melainkan hanya tujuh belas orang saja, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan.

Dia dijuluki sebagai Dzat Nithaqain, wanita yang memiliki dua selendang, lantaran ia membuatkan bekal untuk Rasullulah dan ayahnya yang akan berhijrah ke Madinah. Kemudian ia juga menyiapkan dua kantong kulit berisi air untuk dibawa. Ketika hendak menyiapkannya, ia kesulitan menemukan tali dan sejenisnya untuk mengikat perbekalan dan kantong air tersebut di punggung unta. Ia pun merobek sebagian selendangnya menjadi dua, lalu ia gunakan salah satunya untuk mengikat bekal makanan dan satu lagi digunakan untuk mengikat kantong air.

Melihat apa yang dilakukan Asma, Rasulullah saw berdoa semoga Allah menggantikan dua helai selendang itu dengan dua helai selendang sutra di surga. Sejak saat itu ia dijuluki Dzatu Nithaqain.

Asma menikah dengan Zubair bin Awam. Zubair ketika itu merupakan lelaki yang faqir, dan ia tidak memiliki budak yang membantunya dalam pekerjaan, atau harta yang akan diberikan kepada keluarga selain kuda yang ia pelihara.

Namun sungguh ia diberi nikmat berupa istri yang salehah. Asma adalah wanita yang berkah. Sejak ia menikah dengan Asma, Asma senantiasa membantunya, merawat kudanya, menggebalakannya juga menggiling biji-bijian untuk makanannya, hingga Allah bukakan pintu rizki kepadanya, dan menjadi salah seoarang sahabat yang kaya raya.

Ketika telah datang kesempatan baginya dan keluarganya untuk hijrah ke Madinah, sebuah kesempatan untuk lari demi melindungi agamanya menuju Allah dan Rasul-Nya, saat itu ia sedang hamil besar dengan anak di dalam kandungannya, Abdullah bin Zubair. Namun hal itu sama sekali tidak menghalangi tekadnya mengarungi rintangan perjalanan panjang selama hijrah. Sesampainya di Quba, Asma melahirkan anaknya disana.

Kaum muslimin yang melihat kelahiran Abdullah bin Zubair seraya bertakbir dan bertahlil menyambutnya. Sebab ia dapat dikatakan anak pertama yang lahir dari kaum Muhajirin di Madinah.

Setelah melahirkan, Asma membawa anaknya menghadap kepada Rasulullah Saw, lalu meletakkannya di atas pangkuan Rasulullah. Kemudian Rasulullah mentahniknya, mengunyahkan kurma dengan mulutnya yang mulia, lalu meletakkannya di mulut sang bayi seraya mendoakan kebaikan untuknya. Sungguh kemuliaan yang luar biasa, makanan yang pertama kali masuk ke dalam mulutnya setelah lahir ke dunia adalah kurma yang bercampur dengan air liur baginda Nabi saw.

Sungguh terkumpul pada Asma binti Abi Bakar segala sifat kebaikan, keluhuran, budi pekerti, serta akal yang bijaksana, yang tidak banyak dimiliki oleh manusia kecuali oleh sebagian kecil manusia bahkan dari kaum laki-laki. Ia juga memiliki sifat dermawan, sampai-sampai kedermawanannya ini dijadikan sebagai sebuah ungkapan ketauladanan yang masyhur di kalangan bangsa Arab.

Abdullah bin Zubair anaknya bercerita tentangnya:

“Aku tidak pernah melihat dua wanita yang lebih dermawan dari bibiku Aisyah dan ibuku Asma, meskipun bentuk kedermawanan mereka berbeda. Kedermawanan bibiku itu, ia sering mengumpulkan bahan-bahan pokok sedikit demi sedikit sampai terkumpul banyak. Hingga jika telah dirasa cukup, ia pun membagikannya kepada yang membutuhkan.

Sedangkan ibuku, ia tidak pernah menyisakan suatu apapun untuk dibagikan hari esok. Artinya ia tidak pernah menyimpan barang apapun hingga esok hari melainkan habis ia bagikan hari itu juga kepada mereka yang membutuhkan”.

Asma adalah wanita cerdas nan bijaksana. Ia mampu menyikapi segala situasi kritis dengan baik. Ketika itu, tatkala Abu Bakar keluar berhijrah menemani Rasulullah saw, ia membawa serta seluruh hartanya. Jumlahnya sekitar enam ribu dirham. Ia tidak menyisakan sepeserpun untuk keluarganya.

Tatkala ayahnya, Abu Quhafah – yang sementara itu ia masih dalam keadaan musyrik – mengetahui tentang kepergiannya, ia datang ke rumahnya dan berkata kepada Asma, “Demi Allah, aku melihat ayahmu telah menyusahkan kalian dengan hartanya, setelah ia menyusahkan kalian dengan dirinya sendiri”.

Asma pun menjawab, “Tidak wahai kakekku, sungguh ayahku telah meninggalkan kepada kami harta yang banyak.”

Kemudian ia mengambil kerikil dan meletakkannya di dalam laci kecil, yang biasa digunakan tempat meletakkan harta, lalu ia tutupi krikil tersebut dengan kain. Setelah itu, ia ambil tangan kakeknya – yang saat itu tidak bisa melihat – dan berkata, “Wahai kakek, lihatlah berapa banyak ayah meninggalkan kepada kami harta”.

Selanjutnya, ia letakkan tangan kakeknya di atas laci tersebut hingga membuatnya berkata, “Tidak apa-apa anakku, jika memang ia telah meninggalkan kalian semua ini, sungguh ia telah berbuat baik kepada kalian.”

Sungguh mulia, Asma ingin menenangkan hati kakeknya, agar sang kakek tidak merasa iba dan memberikan hartanya kepada Asma dan keluarganya. Selebihnya, Asma juga merasa tidak suka jika ada orang musyrik berjasa kepadanya, sekalipun itu kakeknya.

Andaikata pun sejarah melupakan seluruh peristiwa dalam kisah Asma binti Abu Bakar, sungguh sejarah tidak akan pernah bisa melupakan sejarah tentang kecerdasan dan kebijaksanaan pikirannya, kedahsyatan tekadnya, dan kekuatan imannya, tatkala ia bertemu kembali dengan anaknya, Abdullah, di saat-saat terakhir.

Abdullah bin Zubair sempat terpisah dengan ibunya cukup lama. Itu dikarenakan semenjak kematian Yazid bin Muawiyah, Abdullah dibaiat menjadi khalifah, dan menduduki Hijaz, Mesir, Irak, Khurasan, dan sebagian besar negeri Syam.

Akan tetapi Bani Umayah tidak tinggal diam saaat melihat kekuasaan terkumpul di sekitar Abdullah. Dengan segera Bani Umayah melancarkan serangan kepadanya, mengirimkan pasukan besar yang dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, untuk menundukkan Abdullah dengan para pengikutnya.

Peperangan sengit pun terjadi antara dua kelompok tersebut. Dalam peperangan tersebut, Ibnu Zubair menampakkan ketangkasannya, seraya membuktikan kelayakannya disandingkan di antara kesatria perang yang gagah berani.

Namun sayangnya, para pendukung yang berjuang bersamanya sedikit demi sedikit berpaling darinya. Hal ini kemudian memaksanya untuk mundur sampai ke Masjidil Haram, mencari perlindungan di bawah pelataran Ka’bah yang agung bersama para pengikutnya yang tersisa.

Beberapa saat sebelum ia bertemu ajalnya, ia datang menemui ibunya, Asma. Saat itu, ibunya sudah tua renta dan penglihatannya pun telah pudar. Abdullah bersalam kepadanya ibunya, “Assalamualaki yaa ummah, warahmatullahi wabarakatuh”.

“Waalaikumussalam, yaa Abdullah…”, jawab ibunya. “Apa gerangan yang membuatmu datang kemari di waktu seperti ini anakku, sedang batu-batu berat yang dilontarkan bala tentara Hajjaj kepadamu masih terdengar berhamburan mengguncang tanah Mekah?!”.

Abdullah menjawab, “Aku datang untuk meminta nasihatmu, Ibu…”. “Nasihat?! … nasihat apa wahai anakku?!”, timbal ibunya.

Abdullah pun bercerita:

“Dalam peperangan ini, banyak di anatara rekanku mengkhianatiku, mereka berpaling dariku, entah karena takut dengan al-Hajjaj atau karena harapan yang dijanjikan olehnya kapada mereka. Bahkan anak-anakku dan keluargaku ikut menjauh dariku. Tidak ada yang tersisa menemaniku melainkan beberapa orang saja. Dan kukira, bahkan sekuat apapun kesabaran mereka, mereka hanya akan bertahan satu atau dua jam saja…

Di tengah peperangan tadi, utusan dari Bani Umayah datang bernegosiasi denganku. Katanya mereka akan memberikan apapun yang aku inginkan dari harta dunia asalkan aku menyerah, menurunkan pedangku, lalu membaiat Abdul Malik bin Marwan. Bagaimana pendapat ibu tentang ini?”

Asma tiba-tiba mengangkat suaranya dan berkata:

“Keputusan itu ada padamu, yaa Abdullah, kamu lebih tahu tentang dirimu... Kalau kamu berkeyakinan bahwa kamu berada diatas kebenaran dan menyeru kepada kebenaran, maka bersabarlah, teruslah berperang sebagaimana yang dilakukan sahabat-sahabatmu yang terbunuh dibawah bendera kepemimpinanmu. Namun, kalau kamu menghendaki dunia, sungguh kamu adalah seburuk-buruknya hamba. Dengan itu, kamu telah membinasakan dirimu dan sahabat-sahabatmu”.

“Tapi, sudah pasti aku akan terbunuh hari ini”, sahut Abdullah.

Asma pun meyakinkanmya: “Itu lebih baik bagimu daripada kamu meyerahkan harga dirimu dengan sukarela kepada Hajjaj, lalu anak-anak Bani Umayah bermain dengan kepalamu, menghina.”

Abdullah lalu berkata: “Aku tidak takut terbunuh, tapi aku takut mereka akan memutilasiku.”

Namun dibantah Asma dengan mengatakan: “Tidak ada yang perlu ditakutkan ketika manusia telah terbunuh. Domba yang telah disembelih tidak akan merasakan sakit ketika dikuliti...”.

Seketika wajah Abdullah berseri-seri dan berkata kepada ibunya:

“Semoga engkau diberkati ibuku, diberkati segala kebajikanmu yang mulia. Sungguh aku tidak datang di waktu genting seperti ini melainkan hendak mendengar apa yang telah aku dengar barusan. Sungguh Allah mengetahui bahwa aku tidak pernah rapuh dan tidak pernah lemah. Dialah yang akan menjadi saksi atas diriku bahwa aku tidak berdiri di tempat aku berdiri saat ini karena cinta dunia dan seisinya, akan tetapi karena kemarahan lillahi ta’ala lantaran larangan-Nya dilanggar. Inilah aku ibu… melangkah menuju apa yang engkau ridhai. Jika aku terbunuh, janganlah bersedih atas diriku, dan pasrahkanlah semua kepada Allah”.

Asma berkata, “sugguh aku malah akan sangat sedih jika kamu terbunuh dalam kebatilan”.

“Yakinlah ibu dengan sebenar-benarnya… maka aku akan pastikan bahwa anakmu ini tidak akan pernah berbuat kemungkaran, tidak akan berbuat keji, tidak akan melanggar hukum Allah, tidak akan lari dari kebatilan, tidak akan menindas seorang muslim maupun dzimmi sekalipun, dan tidak ada satupun yang lebih utama baginya melainkan mengharap ridha Allah Swt semata.

Aku tidak mengatakan itu semata-mata untuk memuji diri, Allah lebih tahu atas diriku dari diriku sendiri, namun sungguh aku mengatakan ini semata-mata hendak menanamkan kesabaran dan keteguhan hati dalam dirimu, ibu...”, balas Abdullah.

Asma lalu memuji Allah Swt, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikanmu seperti yang diridhai dan aku ridhai… Mendekatlah wahai anakku, agar aku bisa mencium aroma hangat tubuhmu dan menyentuhnya untuk yang terakhir kalinya”.

Tersungkurlah Abdullah di pangkuan ibunya, terharu pilu. Di saat itu, ia cium tangan ibunya, ia cium kedua kakinya, ia cium ibunya sebanyak yang ia mampu. Sedangkan ibunya sambil memeluki anaknya, ia tempelkan hidungnya di kepala Abdullah, ia cium seluruh wajahnya, ia hirup aroma anaknya sebanyak ia mampu dan menciumnya penuh haru...

Kemudian Asma mencoba meraba setiap bagian tubuh anakknya dengan kedua tangannya, lantas seketika ia tarik kembali dan bertanya, “Apa yang kau kenakan wahai Abdullah?”. “ini pakaian zirahku”, jawab Abdullah.

Asma berkata, “Ini bukanlah pakaian orang yang mencari syahid, wahai anakku!”. “Sesungguhnya aku memakai ini untuk menghilangkan kekhawatiranmu dan menenangkan hatimu, ibu”, jawab Abdullah kepada ibunya.

Asma langsung menolak, “lepaskan zirahmu anakku! Karena dengan itu kamu akan nampak lebih kuat dan tangkas, akan lebih lincah melancarkan terkaman, dan akan meringankan gerakan setiap bagian tubuhmu ketika bertarung... Pakailah sebagai gantinya celana yang cukup panjang sehingga bila kamu jatuh auratmu tidak terbuka”.

Zubair menerima segala nasihat ibunya. Ahirnya ia melepaskan zirahnya, mengencangkan celananya, lalu bersegera menuju tanah suci melanjutkan pertarungannya, seraya berkata kepada ibunya, “janganlah putus mendoakanku, ibu”.

Asma kemudian menengadahkan tangannya ke langit, lantas berdoa:

“Ya Allah kasihilah ia di setiap bangun malamnya serta rintihan doanya di tengah kegelapan malam, di saat manusia terlelap… Ya Allah rahmatilah setiap rasa lapar dan dahaganya sepanjang perjalanan Madinah dan Mekah yang ia tempuh, dalam keadaan berpuasa… Ya Allah sayangilah ia di setiap ketaatan kepada ibu dan ayahnya... Ya Allah sungguh aku serahkan ia kepadamu, aku ridho atas segala ketetapan-Mu untuknya, maka limpahkanlah pahala kesabaran untukku, pahalanya orang-orang yang bersabar di antara hamba-hamba-Mu...”

Belum tenggelam matahari di upuk barat hari itu, Abdullah bin Zubair telah berpulang ke haribaan Tuhannya. Lalu belum genap 10 hari kepergian Abdullah, ibunya, Asma binti Abu Bakar ikut beranjak menyusul anaknya.

Terhitung, umurnya Asma mencapai seratus tahun, namun subhanalllah giginya tidak ada yang rontok, gerahamnya pun masih utuh, dan akalnya juga sehat, tidak kehilangan potensinya sama sekali. Ia tidak pernah merasakan kepikunan sekalipun, meski di umurnya yang seratus tahun.

Rahimahallah Sayidah Asma binti Abu Bakar.



Posting Komentar

2 Komentar

  1. MasyaAllah Mantab, trus kembangkan

    BalasHapus
  2. Semangat terus nulisnya,,, semoga kita bisa mengikuti para Sahabat Rasulullah saw . Aamiinn ya rabb 🤲🤲🤲😍🥰

    BalasHapus