Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Nasibah Al-Maziniyah; Sang Pejuang di Garis Depan

"Di hari Uhud, tidaklah mataku menoleh ke kanan dan ke kiri, melainkan aku menyaksikan Ummu Umarah ikut bertempur di dekatku" (Rasulullah SAW)

____________________________________

“Ingatlah, kalian punya janji pertemuan dengan Rasulullah Saw di Aqabah, waktu sepertiga malam pertama”.

Demikian Mush'ab bin Umar membisikan kalimat ini kepada salah seorang muslim Yastrib. Kabar ini pun tersebar diantara mereka dengan cepat bagaikan angin semilir yang bertiup cepat, namun ringan dan tenang.

Mush’ab bin Umair bersama kaum muslimin yang menyusup dari Madinah, ikut berdesakan diantara kerumunan peziarah musyrik yang datang menuju Mekah dari segala penjuru.

Singkat cerita, malam pun datang dan para peziarah jatuh dalam tidur lelapnya setelah hari yang melelahkan dihabiskan untuk tawaf di sekitar berhala, dan menyembelih kurban sebagai persembahan mereka. Namun ditengah lelapnya para peziarah musyrik, Kelopak mata Mush'ab bin Umair dan para sahabat dari muslim Yastrib tak sedikit pun berkedip.

Bagaimana mungkin kelopak mata mereka berkedip?! sedang hati mereka berdegup kencang karena gembira akan bertemu Sang Baginda Nabi. Mereka bela-belakan menempuh padang pasir mematikan, hanya demi bertemu dengan Rasulullah Saw. Hati mereka seakan hampir melayang dari sela-sela tulang rusuk, karena rindu melihat Nabinya tercinta Saw. Kebanyakan di antara mereka sudah beriman sebelum merasakan kebahagian berjumpa dengan Rasulullah Saw. Mereka terpikat rindu dengan Sang Baginda Nabi sebelum mereka memandangnya.

Sepertiga malam, di pertengahan hari Tasyrik, terjadilah Baiah Aqabah di Mina. Sebuah pertemuan besar terjadi diantara kaum Muslimin Madinah dengan Rasulullah, yang tidak ada satupun orang-orang Quraisy di dalamnya. Datanglah tujuh puluh dua orang laki-laki kepada Rasulullah Saw. Satu demi satu di antara mereka meletakkan tangannya di atas telapak tangan Rasulullah Saw berbaiat, berjanji setia untuk melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi istri dan anak-anak mereka.

Ketika para laki-laki selesai dari baiatnya, datang dua wanita untuk berbaiat sebagaimana baiat yang dilakukan oleh para lelaki. Tanpa berjabat tangan, Rasulullah Saw pun membaiat keduanya. Di antara kedua perempuan itu adalah Ummu Mani' (nama aslinya Asma binti Amr). Sedangkan satunya lagi adalah Nasibah binti Kaab Al-Maziniyah yang dikuniahkan dengan Ummu Umarah.

Setelah baiah, Ummu Umarah kembali ke Madinah dengan hati penuh kegembiraan, sebab kemuliaan yang Allah berikan kepadanya dapat berjumpa dengan Rasulullah Saw amatlah besar. Dengan ini, ia bertekad untuk berpegang teguh dan setia menepati baiatnya.

Waktu berlalu dengan cepat, hingga tiba saatnya peristiwa Perang Uhud. Ummu Umarah memiliki peranan yang sangat penting dalam peristiwa Perang Uhud tersebut. Ketika itu, Ummu Umarah ikut serta dalam perang Uhud berperan sebagai pembawa kendi air, yang siap memberikan minum kepada para pejuang yang kehausan. Ia juga memikul peralatan perban untuk mengobati yang terluka. Dalam perang ini, ikut serta suami dan tiga buah hatinya; yang diantaranya adalah Rasulullah serta dua orang anaknya, Habib dan Abdullah. Selain itu, ikut serta juga saudara-saudaranya di antara kaum muslimin yang siap berjuang membela agama Allah dan Rasul-Nya.

Perang Uhud pun terjadi antara kaum muslimin dan kafir Quraisy. Ummu Umarah sebagai salah seorang perempuan yang ikut serta dalam perang menyaksikan dengan mata kepalanya bagaimana kemenangan orang- orang muslim berbalik menjadi petaka. Tatkala peperangan semakin ganas di tengah barisan kaum muslimin, satu persatu para sahabat syahid berguguran di medan perang. Melihat hal tersebut, pasukan muslimin yang berada di sekitar Nabi ikut terguncang dan berhamburan menjauh hingga tiada yang tersisa kecuali beberapa orang saja yang tetap teguh melindungi Nabi. Hal itu membuat orang-orang kafir mulai bersorak mengatakan, "Muhammad telah terbunuh... Muhammad telah terbunuh...". Melihat hal tersebut, dengan seketika Ummu umarah melemparkan kendi airnya lalu berlari menuju medan perang, seakan harimau betina yang sedang marah melihat anaknya akan diterkam kejahatan.

Mari kita biarkan Ummu Umarah sendiri yang menceritakan momen-momen penting perjuangannya. Karena tidak ada orang yang seperti dia yang mampu menggambaran secara akurat dan benar apa yang terjadi ketika itu.

Dalam riwayat, Ummu Umarah menuturkan:

“Siang itu, aku keluar menuju Uhud dengan mebawa air untuk diberikan kepada Rasulullah Saw dan para mujahidin. Ketika itu aku melihat kemenangan ada di pihak kaum muslimin. Namun tak lama kemudian keadaan menjadi berbalik. Terlihat banyak diantara kaum Muslimin yang lari meninggalkan Rasulullah Saw. Tiada yang tersisa, yang berada di sekitar Rasulullah melainkan beberapa orang saja, yang tidak sampai sepuluh orang. Melihat hal itu, dengan segera aku, kedua putraku serta suamiku berlari menuju Rasulullah Saw. Lalu kami mengelilingi beliau bagaikan gelang mengitari pergelangan tangan. Kami berusaha melindungi beliau dengan segala kekuatan dan senjata yang kami miliki.

Ketika Rasulullah Saw. melihat aku tidak membawa perisai untuk menjaga diri dari serangan orang-orang musyrik, beliau melihat orang yang berlari mundur dengan membawa perisai. Melihat hal itu, beliau meneriakinya, “Lemparkan perisaimu kepada orang yang berperang”. Setelah orang itu melemparkan perisainya, aku segera mengambilnya dan aku kenakan untuk melindungi Rasulullah Saw. Dengan pedang dan busur panah di tanganku, aku terus bertempur melindungi Rasulullah hingga aku terluka dan tak berdaya. Ketika itu, Ibnu Qami'ah datang seperti unta yang mengamuk, berteriak :

"Dimana Muhammad?"

"Tunjukan kepadaku Muhammad.."

Lalu aku dan Mush'ab bin Umair berusaha menghalangi jalannya. Dengan cepat Ibnu Qami'ah melayangkan pedangnya kearah Mush'ab dan menjatuhkannya. Kemudian dia memukulku dengan pukulan yang membuat pundakku terluka parah. Aku membalas pukulannya dengan banyak pukulan, akan tetapi tidak banyak memberikan dampak, karena ia terjaga dengan zirah besinya”.

Ummu Umarah lanjut menuturkan:

“Disaat putraku berperang membela Rasullullah Saw seorang musyrik memukulnya dengan pukulan yang hampir memotong lengannya, membuatnya terluka parah dan darah mengalir tanpa henti. Lalu aku lekas menghampirinya, kubalut lukanya dan aku katakan padanya : “Bangkitlah wahai anakku, perangi mereka!..”

Rasullullah Saw menoleh ke arahku mengatakan, "Siapalah ia yang mampu melakukan sebagaimana yang engkau lakukan, wahai Ummu Umarah?!.."

Kemudian ketika orang yang melukai putraku datang, Rasullullah menunjukkan, “inilah orang yang melukai putramu, wahai Ummu Umarah". Akupun segera menghadangnya dan berhasil menebas betisnya, yang membuatnya tersungkur. Lalu kami menyergapnya, menyayatnya dengan pedang dan menikamnya dengan tombak hingga dia binasa. Rasullullah Saw tersenyum melihatku dan berkata, “Kamu telah melakukan pembalasan yang setimpal wahai Ummu Umarah!, Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu".

Kedua putra Ummu Umarah adalah laki- laki yang pemberani, memiliki semangat berjuang dan berkorban yang tidak kalah dari ayah dan ibunya. Karena Anak laki-laki adalah rahasia kehebatan dari ibu dan ayahnya. Dan itu tergambar jelas dari kedua putranya.

Putranya Abdullah menuturkan, “Aku ikut dalam perang Uhud ketika orang-orang bercerai-berai hingga menjauh dari Rasulullah Saw. Aku dan ibuku menghampiri beliau. Kami berusaha melindungi beliau dari segala serangan musuh. Melihatku, beliau sempat bertanya, "Putra Ummu Umarah?, "Ya”, jawabku. Beliau mengatakan, "Lemparlah…". Aku pun melemparkan batu ke arah salah seorang kaum musyrikin hingga ia jatuh tersungkur. Lalu aku terus melemparinya dengan batu sampai ia tertimbun. Nabi Saw yang melihatku seperti itu sampai tersenyum.

Saat Rasulullah berpaling ke arah yang lain, ia melihat ibuku terluka, tepatnya terluka di bagian bahunya, beliau segera memanggilku, "Ibumu ibumu! Balutlah lukanya! Semoga Allah senantiasa memberkati dan merahmatimu sekalian. Sungguh kedudukan ibumu lebih baik dari kedudukan fulan dan fulan". Mendengar itu ibuku berkata kepada Rasulullah. "Ya Rasulullah! Berdoalah kepada Allah supaya kami bisa menemanimu kelak di surga", kemudian Rasulullah pun berdoa, "Ya Allah, jadikanlah mereka sebagai sahabatku di surga." Mendengar doa Rasulullah, ibuku membalas, "Setelah ini, Aku tidak lagi peduli akan apa pun yang menimpaku di dunia."

Singkat cerita, Ummu Umarah kembali dari Perang Uhud dengan membawa segala luka yang diterimanya.

Sekembalinya Nabi Saw dari Perang Uhud, di tengah perjalanan beliau mengatakan kepada para sahabat, "Di Perang Uhud, tidaklah mataku menoleh ke kanan dan ke kiri, melainkan aku menyaksikan Ummu Umarah ikut bertempur di dekatku".

Setelah Perang Uhud berlalu, Ummu Umarah berlatih perang dengan giat, sampai ia menguasai segala tekniknya. Ia yang telah mendapatkan kelezatan berjihad dijalan Allah, tidak kuasa menahan kerinduan untuk kembali berjihad.

Tercatat, Ummu Umarah mengikuti banyak perang dan peristiwa besar bersama Rasulullah Saw; seperti Perjanjian Hudaibiyah, Perang Khaibar, Umroh Qodiyah, Perang Hunain dan Baiah Ridhwan. Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangannya di Perang Yamamah pada masa Abu Bakar al-Shiddiq.

Kisah Ummu Umarah dalam Perang Yamamah dimulai pada masa Rasulullah Saw. Ketika itu Rasulullah menunjuk Habib bin Zaid, anaknya, untuk mengantarkan surat kepada Musailamah al-Kadzab. Setelah menerima surat tersebut Musailamah membunuh Habib bin Zaid sebagai pengantar surat dari Rasulullah Saw dan memutilasinya. Dia dibunuh Musailamah dalam keadaan terikat.

Ketika itu, Musailamah bertanya kepadanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?”, “Ya” jawab Habib. Kemudian Musailamah bertanya lagi, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”, dia menjawab “Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan”. Musailamah kemudian memotong salah satu anggota badannya. Selanjutnya, Musailamah terus mengulangi pertanyaannya, namun ia tetap menjawab dengan jawaban yang sama tidak menambah dan menguranginya. Dan setiap itu pula, Musailamah memotong bagian demi bagian dari tubuhnya hingga ia meninggal dalam keadaan syahid, setelah mendapatkan siksaan yang sungguh berat, siksaan yang mampu membuat batu gunung hitam yang keras terguncang.

Para sahabat turut berduka atas peristiwa yang menimpa Habib bin Zaid dengan mengucap belasungkawa sedalam-dalamnya kepada Ibunya, Nasibah al-Maziniyah. Nasibah pun berkata, “Untuk situasi seperti inilah, aku mempersiapkan diri dan hanya kepada Allah aku berserah. Anakku, Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah Saw sejak kecil. Dan sumpah itu telah ditunaikannya dengan sempurna hari ini. Seandainya Allah menghendaki, akan ku jadikan anak-anak perempuan Musailamah untuk menampar pipi bapaknya”.

Beberapa lama kemudian, tibalah hari yang dinanti-nantikan Nasibah. Dimana Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq mengerahkan kaum muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah al-Kadzab. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya, Abdullah bin Zaid.

Ketika pertempuran mulai memanas, sekelompok kaum Muslimin, di antaranya Ummu Umarah, mengintai Musailamah untuk membalaskan dendam putranya yang telah syahid. Selain itu, dalam sekelompok muslimin tersebut ada Wahsyi bin Harb, pembunuh Hamzah ketika Perang Uhud. Ia yang sekarang adalah seorang mukmin, juga hendak ingin membunuh Musailamah al-Kadzab, berharap dapat membunuh orang terburuk dari kaum musyrikin.

Setelah terlibat peperangan, tangan Ummu Umarah terluka parah dan terpotong, yang membuatnya tidak mampu sampai ke tempat Musailamah,  untuk membunuhnya. Akan tetapi Wahsyi bin Harb dan Abu Dujanah yang dikenal sebagai pedangnya Rasullullah Saw mereka berdua berhasil sampai ke tempat Musailamah lalu menebasnya dengan satu pukulan. Wahsyi menikamkanya dengan tombak sedangkan Abu Dujanah menyayatnya dengan pedang.

Setelah Perang Yamamah, Ummu Umarah kembali ke Madinah dengan satu tangan bersama putra satu-satunya,  Abdullah bin Zaid. Satu tangan yang lainnya telah ia pasrahkan sebagai jaminan pahala dari Allah Swt, sebagaimana syahidnya Habib bin Zaid, putranya, yang ia pasrahkan kepada-Nya. Bagaimana mungkin ia tidak mengharapkan balasan dari keduanya?! Bukankah Ummu Umarah pernah berkata kepada Nabi Saw, "Ya Rasulullah! Berdoalah kepada Allah supaya kami bisa menemanimu di surga kelak", kemudian Rasulullah pun berdoa, "Ya Allah, jadikanlah mereka sebagai temanku disurga." Lalu Ummu Umarah berkata, "Setelah ini, aku tidak lagi peduli akan apapun yang menimpaku di dunia...."

***

Semoga Allah senantiasa mencurahkan keridhaan-Nya kepada Ummu Umarah. Sungguh ia adalah sosok pejuang perempuan muslim dan teladan yang tidak ada tandingannya diantara pejuang-pejuang perempuan lainnya.


Posting Komentar

0 Komentar