Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Aku Ingin (Kembali) ‘Melihat’ Tuhan

Oleh: Muhammad Thariqul Akbar

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ *

Mari memulai perjalanan kecil ini dari iman. Sebab, imanlah yang menjadi kunci utama dan membuat amal seorang muslim menjadi bernilai di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Uniknya, iman dalam Islam tidak digambarkan hanya sebatas ‘percaya’ saja. Akan tetapi, iman hadir sebagai sebuah keyakinan dan motivasi, serta landasan seorang muslim untuk, dalam dan tujuan setiap tindak laku geraknya. al-Tashdiq bi al-Qalbi, al-Iqrar bi al-Lisan, wal’amalu bi al-Arkan.

Definisi iman yang demikian, menjadikan iman sebagai sebuah ‘istilah’ yang aktif, bukan pasif. Iman berarti menjemput, bukan menunggu. Iman adalah bekerja, bukan sekedar berpangku tangan. Iman juga tak sebatas tentang ‘menuju’, tapi juga perihal ‘dari.’ Saya melakukan pekerjaan ini lillah, untuk Allah. Motivasi yang mendorong saya melakukannya jua lillah, karena Allah. Kita mengenalnya dengan istilah istirja’, “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.”

Kesadaran akan imanlah yang menjadikan gerak-gerik seorang muslim bernilai ibadah. Tatkala gerak-gerik kita sejalan dengan ridha dan cinta-Nya, itulah ibadah. Tentu, kesadaran itu akan tumbuh—salah satunya, dengan pengetahuan serta pengalaman akan eksistensi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai dzat Yang Maha Kuasa, Maha Segala dan Maha Dekat (Wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil warid).

Allah hadir dalam hidup saya melalui peristiwa yang begitu sederhana, yaitu jatuhnya beberapa buah mangga yang terletak di depan asrama. Saya masih mengingat kejadiannya dengan jelas. Di pertengahan bulan, sudah tidak ada lagi uang yang tersisa. Bukan habis digunakan untuk jajan gorengan di kantin depan asrama, melainkan karena—sepertinya, hanyut ketika program rutin hari Kamis, (jelajah) Pramuka.

Dapur di depan sana sudah sesak oleh santri dengan sebuah piring, buku—entah buku apa, dan polpen. Terik matahari menyengat, membuat gerah. Saya berjalan menuju Mushalla dengan semrawut dan cemas pikir akan berbuka pakai apa nantinya. Uang habis hanyut, tabungan pun tidak ada. Saat itulah saya pasrah dan—setidaknya bagi saya, tuhan hadir. Sekitar dua atau tiga buah mangga jatuh beberapa meter di depan sana. Itu keajaiban yang pertama!

Menakjubkan, tiada satu teman pun yang bergegas ‘memungutnya!’ Padahal dalam “tradisi kesantrian”, apapun yang datang—utamanya makanan, selalu disambut dengan meriah dan rebutan (Selain makanan, handphone wali santri yang datang berkunjung juga menjadi salah satu ‘item’ yang selalu ditunggu kedatangannya, saling rebutan). Itulah keajaiban kedua yang membuat saya merasakan eksistensi Allah, kedekatannya dengan kita, sifat kasih dan rahmat-Nya, serta tak pernah mengabaikan apalagi meninggalkan hamba-Nya.

Saya yakin, teman-teman pun punya pengalaman serupa. Kondisi dan situasi yang membuat kita merasa kalau Allah itu memang ada, nyata dan dekat dengan kita, selalu membersamai. Namun, sebagaimana yang telah saya singgung di atas, Iman merupakan istilah aktif. Seyogianya—meminjam istilah Rumi, kita juga berusaha untuk ‘menuhan.’

Allah memiliki sifat penyayang, maka seyogianya kita juga bersikap sebagai seorang penyayang. Bukan hanya kepada sesama manusia, tapi juga terhadap semua makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pemahaman seperti ini membuat ajaran ahsinu al-Dzibha yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi ajaran yang begitu indah sekaligus memukau. Indah sebab mengajarkan kasih sayang. Memukau karena objek ajaran kasih sayangnya yang begitu universal, bahkan kepada hewan yang akan disembelih sekalipun!

Allah juga dikenal sebagai al-Tawwab, Maha Penerima Taubat. Sehingga, kita juga berusaha untuk memaafkan dan meminta maaf atas kesalahan serta khilaf. Itulah yang Rumi maksud dengan menuhan. Yaitu, mengeksistensikan sifat-sifat tuhan yang mungkin bisa kita tiru dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak pernah tahu, bisa saja bantuan kecil kita membuat seseorang merasakan keberadaan tuhan, memperkuat keimanan serta memberikannya secercah harapan, rasa syukur dan kebahagiaan. Sifat-sifat tuhan berupa dermawan, kasih sayang, maaf dll. ‘termanifestasikan’ dengan kedermawanan, kasih sayang dan kelapangan dada kita sebagai hambanya. Ajaran Islam termanifestasikan dan dipahami sesuai dengan perilaku pemeluknya.

Saya tidak tahu kapan atau bagaimana saya akan menyaksikan (kembali) kehadiran tuhan. Boleh jadi melalui lantunan dan sapaan ayat-ayat dalam kitab suci-Nya, atau saat kedamaian di pagi hari, bahkan mungkin melalui patah hati. Siapa yang tahu? Namun, saya memiliki kepercayaan bahwa tuhan akan hadir melalui peristiwa yang begitu tak terduga, sederhana dan tentu saja menggetarkan jiwa!

Posting Komentar

0 Komentar