Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Esensi dan Khazanah Pelafadzan Niat Puasa Ramadhan

Oleh: Imam Thabrani

Credit: Adobe Stock

Niat puasa wajib dalam hati pada malam hari—seperti puasa qadha, puasa Ramadhan dan puasa nazar, merupakan kewajiban sebagai penentu keabsahan puasa seseorang menurut mazhab Syafi’i. Salah satu dalilnya adalah apa yang ditunjukkan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna’nya,

ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر 

 “Disyaratkan memasang niat di malam hari bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ‘Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.’ Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits,”

Segala sesuatu yang berhubungan dengan niat, selalu ada dalam hati atau selalu dengan hati. Sama sekali tidak dengan lisan. Oleh sebab itu, melafadzkan atau mengucapkan niat tidaklah wajib hukumnya. Namun demikian, tidak pula suatu bid’ah yang dosa dan sesat, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Pengucapan niat pada hakikatnya dimaksudkan untuk memasukkan isi lafadz niat tersebut ke dalam hati. Sehingga, menurut suatu mazhab dipandang sunnah dan sangat dianjurkan, lantaran diyakini akan menjadi pendorong tercapainya suatu yang wajib. Hanya satu yang perlu diperhatikan, bahwa wajibnya sebuah niat, tidak akan pernah terpenuhi hanya dengan ucapan lisan, tanpa adanya niat itu sendiri dalam hati.

Suatu niat dalam ibadah, harus memenuhi beberapa kriteria yang disesuaikan dengan ibadah yang akan dikerjakan. Untuk niat puasa, ada dua kriteria yang harus dipenuhi. Pertama, bermaksud mengerjakan puasa, yang masuk dalam kategori “qosdul fi’li.” Kedua, menyatakan puasa apa yang akan dikerjakan, misalnya puasa Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain sebagainya. Dimana hal ini masuk ketegori “atta’yin.” Ketiga, yang menyempurnakannya adalah menegaskan fardhu atau sunnahnya puasa yang akan dikerjakan, yang masuk dalam ketegori atta’arrudl. Lantas, menegaskan bahwa puasa yang akan dikerjakannya itu semata-mata karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Adapun beberapa redaksi lafadz niat puasa Ramadhan yang bisa menjadi pilihan bagi kaum muslimin adalah sebagai berikut:

1)     نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

 “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”

Kata “Ramadhana” dalam redaksi niat di atas dihukumi—dalam ilmu nahwu, sebagai mudhaf ilaihi, sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr dengan alasan lil mujawarah. (Dikutip dari kitab Minhajut Thalibin dan Perukunan Melayu)

2)     نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةَ لِلهِ تَعَالَى

“Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”

Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanata” diakhiri dengan fathah sebagai tanda nashab atas kezharafannya. Dinukil dari kitab Asnal Mathalib.

3)     نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

Kata “Ramadhani” dianggap sebagai mudhaf ilaihi yang juga menjadi mudhaf sehingga diakhiri dengan kasrah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr atas badal kata “hādzihi” yang menjadi mudhaf ilaihi dari “Ramadhani.” dikutip dari Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam.

4)     نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ

5)     نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ/عَنْ رَمَضَانَ

“Aku berniat puasa esok hari pada bulan Ramadhan.” Redaksi 4 dan 5 ini diambil dari dari Kitab I’anatut Thalibin.

6)     نَوَيْتُ صَوْمَ الْغَدِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ

“Aku berniat puasa esok hari pada tahun ini perihal kewajiban Ramadhan.” Dinukil dari kitab Asnal Mathalib.

Perbedaan redaksi pelafalan ini tidak mengubah substansi lafal niat puasa Ramadhan. Adapun redaksi pelafalan yang tampaknya sulit diterima menurut kaidah gramatikal bahasa Arab (nahwu) adalah komposisi sebagai berikut:

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةُ لِلهِ تَعَالَى

Redaksi pelafalan ini tampaknya sulit diterima menurut kaidah ilmu nahwu karena menganggap kata “Ramadhani” sebagai mudhaf dan diakhiri dengan “sanatu” yang entah apa kedudukan gramatikalnya, karena agak jauh ta’wilnya untuk ditarik ke arah mana pun.

Tulisan ini tidak akan mengoreksi pelafalan niat puasa “ramadhana”, “ramadhani,” atau bahkan “al-Ramadhani”, baik secara fiqih maupun kajian nahwu. Tulisan ini hanya mengangkat ke permukaan cara pelafalan niat puasa Ramadhan yang tercantum dalam kitab-kitab umum yang menjadi pegangan masyarakat. Tulisan ini hanya ingin menunjukkan khazanah keislaman yang berkembang di masyarakat melalui kitab pegangan mereka.

Yang jelas, apapun bacaan lafadznya, niat puasa dalam hati harus memenuhi kaidah niat, yaitu qashad, ta’arrudh, dan ta’yin. Apapun lafadz niatnya tetap akan sah puasanya apabila benar-benar meniatkan dalam hati serta dilakukan pada malam hari (sehabis buka puasa juga bisa, atau yang paling sering kita temukan ialah seusai melaksanakan sholat sunnah tarawih dan melafadzkannya secara bersama-sama dan ini merupakan kebiasaan yang bagus).

Meski niat adalah urusan hati, melafalkannya akan membantu kita untuk menegaskan (menguatkan) niat tersebut. Melafalkan niat berguna dalam memantapkan iktikad (keyakinan) kita dalam melakukan apapun itu. Terutama ibadah puasa.

Para ulama empat mazhab semua sepakat, bahwa puasa di bulan Ramadhan wajib diawali dengan membaca niat. Namun mengenai teknis niatnya, beberapa ulama memiliki pendapat yang berbeda. Ulama mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa niat puasa di bulan Ramadhan bisa dijamak (digabung/disatukan), cukup diniatkan satu kali pada malam pertama bulan suci Ramadhan dan tidak diwajibkan mengulangi niat di hari berikutnya.

Beberapa masjid dan mushalla pada malam pertama bulan Ramadan biasanya dibimbing oleh tokoh masyarakat untuk besama-sama melafalkan niat puasa satu bulan sesuai dengan ulama mazhab Malikiyyah. Namun, membaca niat sebulan penuh bukan berarti menyimpulkan tidak perlu untuk berniat puasa di hari berikutnya. Niat tersebut dilakukan sebagai langkah antisipasi jika pada kemudian hari lupa niat puasa. Sehingga puasa yang dilaksanakan tetap sah diteruskan karena telah di ucapkan selama satu bulan penuh sebelumnya. Yang tidak kalah pentingnya, kita tidak boleh menyamakan antara melafalkan niat dengan lisan dan berniat dalam hati.

Redaksinya niatnya adalah

نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

“Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardu karena Allah”

Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Posting Komentar

0 Komentar