Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Nasehat Nabi Adam as Kepada Anaknya

Oleh: Imam Thabrani

روي عن آدم عليه الصلاة والسلام أنه قال لبنيه : إذا اردتم فعل شيء من الأشياء فقدموا ثلاثة أمور :

١. استشيروا الأخيار ، فإني لو استشرت الملائكة في الأكل من الشجرة لأشاروا على بتركه.

٢. أن تنظروا في العاقبة ، فإني لو نظرت في العاقبة ما أكلت منها.

٣. إذا عزمتم على شيء فاختلجت قلوبكم فلا تفعلوه فإني لما هممت بالأكل من الشجرة اختلج قلبي.

)الإرشاد لإبن عماد:  الإرشاد إلى ما وقع في الفقه وغيره من الأعداد أو الذريعة إلى معرفة الأعداد(

Dalam suatu riwayat, nabi Adam as menasihati putra-putranya dengan 3 perkara ketika hendak melakukan sesuatu. Pertama, musyawarah. Musyawarah merupakan salah satu perkara yang amat penting bagi kehidupan manusia. Bukan saja dalam ranah terkecil seperti rumah tangga. Akan tetapi, sampai kepada ranah tertinggi. Seperti, kehidupan berbangsa dan bernegara.

Umat Islam sendiri merupakan umat yang senantiasa berjama'ah. Tidak hanya dalam urusan ibadah seperti shalat, akan tetapi juga dalam urusan lain. Seperti safar dan makan. Pun, dalam mengurus urusan-urusan lainnya.

Umat Islam juga tidak asing dengan istilah musyawarah ini. Dalam berbagai ayat al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mendorong umat Islam agar melakukan musyawarah ketika hendak memutuskan suatu perkara. Seperti yang termaktub dalam Q.S asy-Syuura ayat 38 yang menjelaskan beberapa sifat orang-orang beriman. Salah satunya adalah musyawarah.

Dalam Zubdah al-Tafsir Min Fathil Qadir karya Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar (Al-Nafahat Al Makkiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Syawi), yang dimaksud dengan musyawarah adalah merundingkan urusan tanpa terburu-buru dan tidak mementingkan pandapat masing-masing. Tak jarang, umat Islam saling merundingkan urusan pribadinya. Sehingga, sudah sewajarnya hal tersebut juga dipraktikkan dalam setiap masalah yang menyangkut masyarakat luas, seperti pengangkatan khalifah, pengaturan negara, pengangkatan pemimpin wilayah dan hukum-hukum peradilan.

Kedua, memikirkan akibat dan dampak yang sekiranya akan terjadi. Hari ini, kita banyak menemukan berita-berita hoaks yang disebarkan melalui media sosial tanpa penelaahan lebih lanjut akan isi, serta dampak yang akan ditimbulkan dengan menyebarkannya. Hal ini-di kemudian hari-sering kali menimbulkan berbagai macam keributan di media sosial. Bahkan, tak jarang juga berdampak ke dalam kehidupan nyata.

 Dalam keadaaan demikian, ada baiknya kita mengingat kembalil firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Q.S Al-Hujurat Ayat 6. Dimana, kita diperintahkan untuk melakukan check dan recheck dalam menerima setiap informasi yang datang dari orang fasik. Sebab, sifat fasik menjadikan sebuah  informasi diragukan keakurasian dan keakuratannya.

Dalam tradisi ilmu pengetahuan Islam, pembawa ilmu harus memenuhi kompetensi moral dan intelektual, serta jalur sandaran (sanad) yang logis dan tidak tercela. Ilmu yang salah akan menyebabkan kecelakaan pada orang lain, meskipun yang bersangkutan tidak berniat demikian.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga sudah jauh-jauh hari telah mengingatkan, agar seseorang jangan asal berbicara dan melontarkan kata. Seperti yang tertuang jelas dalam Q.S al-Isra’ ayat 36 berikut :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.”

Gambaran pertanggung jawaban dalam Q.S al- Isra’ : 36 dapat kita temukan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anha. Bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا فَيَهْوِي بِهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ سَبْعِينَ خَرِيفًا

“Bisa jadi, seseorang mengatakan satu kalimat yang dimurkai Allah, suatu kalimat yang menurutnya tidak apa-apa. Akan tetapi, dengan sebab kalimat itu, dia jatuh ke neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah)

Ketiga, jangan melakukan perkara yang membuat hati takut dan bimbang. Dalam bahasa Arab, takut disebut dengan al-Khauf (الخوف) yang bermakna adz-Dza’ru (الذعر). Yaitu, sebuah tidakan atau reaksi yang muncul sebab kekhawatiran akan terjadinya sesuatu yang membinasakan, membahayakan atau menyakitkan.

Menurut Ibnu Taimiyah, tingkat keimanan tertinggi seseorang diukur dengan seberapa jauh rasa khauf dan keikhlasannya dalam beribadah. Beliau juga mengungkapkan, “Apa saja yang menghalangimu dari berbuat dosa, maka itulah khauf yang kita cari. Islam tidak pernah menuntut lebih dari itu. Begitulah para sahabat. Mereka menjadi manusia istimewa dengan ketakutan mereka kepada Allah yang Maha Hidup dan Maha Kuasa.”

Sebagian ulama, menjelaskan khauf dengan deskripsi, “Ketika engkau duduk sendirian, maka engkau membayangkan seakan Allah SWT menampakkan dzat-Nya kepada manusia dari atas 'arsy-Nya.”

 Khauf sendiri tumbuh seiring dengan tumbuhnya cinta seseorang kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika seseorang mencintai Allah, ia akan takut melakukan perbuatan yang dimurkai-Nya. Ia pun takut dijauhi oleh-Nya. Sebagaimana hal seorang kekasih yang takut ditinggal orang yang dicintai dan disayanginya.

Sifat khauf akan memunculkan sikap berpikir ke depan, bukan hanya berorientasi dunia, tetapi juga berorientasi kepada akhirat. Orang yang memiliki rasa khauf dalam hatinya akan berhati-hati dalam bertindak, karena setiap tindakannya mengandung konsekuensi; disukai atau dimurkai Allah. Khauf juga akan memotivasi seseorang untuk terus beramal dan terus meningkatkan amalnya. Dengannya, ia akan terus mendekati Allah dan menuju surga-Nya. Sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan (diri) dari (keinginan) hawa nafsunya. Maka sungguh, surga lah tempat tinggalnya.” (QS An-Nazi'at : 40-41.

Menurut Dr. 'Aidh Abdullah al-Qarny, khauf memiliki 4 tanda. Pertama, adanya kesesuaian antara lahir dan batin. Artinya, perbuatan dan hati seseorang tidak saling bertentangan. Amal lahiriyahnya tidak lebih baik daripada batinnya. Kedua, jujur kepada Allah SWT dalam ucapan, perbuatan dan sikapnya. Allah Maha Mengetahui atas segala yang diperbuat oleh manusia. Baik yang dilakukan secara terang-terangan, maupun secara tersembunyi. Sehingga, tidak akan tebersit dalam benak orang yang memiliki rasa khauf untuk menyalahi dan menipu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kejujuran ini tentu tidak sebatas pada hati saja. Para ulama berkata, “Ada 3 tingkatan kejujuran. Yaitu, kejujuran dalam bersikap, kejujuran dalam perbuatan, dan kejujuran dalam berucap.”

Ketiga, menyesali kejelekan dan bergembira atas amal baik yang telah diperbuat. Tanda ini dapat kita temukan dalam Q.S Ali Imran ayat 135-136, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.”

Keempat, hari ini lebih baik dari kemarin. Khauf memacu seseorang untuk senantiasa berburu amal. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia terus menambah dan memperbaiki amalnya. Ia berusaha agar amal hari ini lebih baik dan lebih banyak daripada sebelumnya.

Khauf juga dibagi menjadi 4 oleh ulama, diantaranya :

1. Khauf ibadah: ketakutan yang dibangun di atas ta’dzim (memuliakan) dan kerendahan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga, semua yang dilakukan dari segala bentuk ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

2. Khauf syirik: Memberikan rasa takut kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam keadaan tidak ada yang mampu memberikan keamanan dan yang bisa menghindarkanya dari petaka kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.

3. Khauf maksiat: rasa takut yang menjadikannya meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau menjatuhkannya kepada kemaksiatan.

4. Khauf tabiat: takutnya seseorang dengan rasa takut yang bersifat manusiawi. Takut kepada sesuatu yang berbahaya, seperti takut kepada ular atau perampok dan yang semisalnya. Ketakutan yang demikian diperbolehkan selama tidak menjatuhkannya ke dalam khauf maksiat.

Lalu, ada beberapa urgensi khauf yang perlu kita tahu bersama. Pertama, sebagai proteksi diri. Utamanya, dari terjerumus ke dalam maksiat dan dosa. Sebagaimana nafsu yang tidak mengenal kata berhenti dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita harus membuat nafsu menjadi takut.

Seorang ahli hikmah dikisahkan, “Suatu ketika, nafsunya mengajak berbuat maksiat. Lalu, ia keluar dan berguling- guling di atas pasir yang panas, seraya berkata kepada nafsunya, “Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari panas yang sedang kamu rasakan.”

Kedua, menghindarkan diri dari sifat ujub atau berbangga diri dan sombong. Sekalipun kita sedang dalam zona taat, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Disamping itu, kita juga perlu memiliki rasa raja’ agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab, berbuat baik itu berat dan setan senantiasa mencegahnya. Meski berat, tapi buah dari ketaatan sangat luar biasa; penuh rahmat dan surga-Nya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedangkan raja’, bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat, mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu! Sifat raja’ juga akan memberikan rasa tenang atas berbagai kesulitan hidup. Ketika orang benar-benar menyukai sesuatu, tentu ia sanggup memikul beban beratnya.

Suatu ketika Imam al-Ghazali ditanya, manakah yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja’? Sang Hujjatul Islam menjawab dengan nada bertanya, “Manakah yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan bersama-sama.

Alhasil, khauf mesti dibarengi dengan raja’ yang dapat menambah semangat dan gairah dalam melakukan segala bentuk kebaikan dunia, lebih-lebih kebaikan akhirat.

Pertanyaan untuk kita nih para anak muda, mana sih yang harus kita kedepankan? Khauf atau raja’?

Salah seorang masyaikh MDQH NWDI (Mahad Darul Qur’an wal Hadits Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah) pancor, TGH. L. Sam'an Mishbah pernah menyampaikan ketika penulis mengikuti pengajian pada suatu pagi. Bahwasanya, yang lebih ditekankan untuk dikedepankan oleh kaum muda-mudi adalah khauf, karena memang pada masa-masa muda ini penuh dengan godaan untuk memperturutkan hawa nafsu. Dalam kondisi seperti ini, tentu peluang untuk terjerumus ke dalam keburukan dan kesesatan yang dibisikkan oleh setan sangat besar. Terlebih, Iblis telah bersumpah di hadapan Allah akan menyesatkan manusia dari jalan-Nya dengan segala cara. Namun, adakalanya rasa berharap harus lebih mendominasi ketika melakukan ketaatan dan rasa takut lebih mendominasi ketika ingin melakukan maksiat.

Ketika kita melakukan ketaatan, hal itu akan menuntut adanya husnudzon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga, hendaknya rasa berharap lebih besar, mengharapkan amalannya diterima. Adapun dalam maksiat, hendaknya rasa takut lebih besar, agar tidak terjerumus dalam maksiat.

Imam Syafi'i Rahmatullah ‘Alaihi menjelaskan, "Usahakan agar rasa takut kepada Allah selalu ada setiap saat. Berharaplah akan pertolongan dan kasih sayang-Nya. Jangan pernah berambisi untuk menanggapi sesuatu diluar kemampuan kita. Hati-hati agar tidak memperturutkan hawa nafsu. Tersebab, hal tersebut hanya akan melahirkan kekecewaan dan penyesalan. Khauf akan menghindarkan diri kita dari murka-Nya. Sedangkan raja’ akan melahirkan istiqomah dalam usaha menggapai ampunan dan rida-Nya. Allah akan memberi kebahagiaan berupa ampunan bagi siapapun yang berpasrah diri kepada-Nya." (Syarh Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i Wa hikamuhu, hal :153)

Semoga kita bisa mengamalkan isi wasiat nabi adam kepada anak cucu keturunannya, dan nasihat-nasihat para ulama' kita, serta kita selalu dalam rel agama-Nya yang Hanif (lurus).

Marilah kita amalkan do'a yang Allah Swt ajarkan kepada nabi Adam ‘Alaihi al-Salam, tatkala memohon ampunan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diabadikan dalam al-Qur’an :

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ.

Doa sehari-hari nabi Adam ‘Alaihi al-Salam saat menjalani kehidupan di bumi.

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ سِرِّيْ وَعَلاَنِيَتِيْ فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِيْ، وَتَعْلَمُ حَاجَتِيْ فَأَعْطَنِيْ سُؤْلِيْ، وَتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا دَائِمًا يُبَاشِرُ قَلْبِيْ، وَأَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَنْ يُصِيْبَنِيْ إِلاَّ مَا كَتَبْتَهُ عَلَيَّ، وَالرِّضَا بِمَا قَسَمْتَهُ لِيْ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.

Wallahu a'lam bishowab.

Posting Komentar

0 Komentar