Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Dialog Pemikiran si Biru dan si Baru (Part II)

Oleh: Wahyudi Maulana Hilmy

و لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا

“...Kami telah berikan kalian aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maidah [5] ; 48)

Yang menjadi titik fokus kita adalah kalimat shiratan wa minhājan. Lebih detail lagi, fokus kita pada kata minhājan, seakar dan semakna dengan kata manhaj. Meskipun kalau kita ingin telisik lagi, pasti ada perbedaan makna detail. Dalam kaidah bahasa arab, kita mengenal “ziādah al-Mabnā tadullu alā ziādah al-Ma’nā.”

Abu Abbas Muhammad bin Yazid al-Mubarrid atau yang akrab disapa Al-Mubarrid, ahli Nahwu pada masa Abbasiyah (abad 3 Hijriah/abad 9 Masehi) berkata, “Syariat itu adalah permulaan jalan, dan jalan itu adalah manhaj yang terus-menerus (Al-Tharīq al-Minhāj al-Mustamir) dikutip dari Mafatih al-Ghaib li Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), cetakan ke 3, Dar Ihya’ al-Turats, Beirut (Lihat juga al-Jami’ li ahkam al-Qur’an li al-Qurtubi (w. 671 H), cetakan ke 2, Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, tahun terbit 1964 M ). Adapun dalam Ruhul Ma’ani li al-Alusi (w. 1270 H), cetakan ke 1, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut menggunakan redaksi “wal minhāj tharīq al-mustaqīm”, yang berarti bahwa syariat adalah permulaan jalan, dan mnhaj adalah jalan yang lurus. (Al-Mubarrid)

Semua pengertian di atas berasal dari satu orang. Akan tetapi, disadur dalam tulisan ini karena terdapat perbedaan penukilan dari masing-masing pakar yang saling melengkapi satu sama lain. Semua pakar tafsir di atas sepakat bahwa pendapat al-Mubarrid atau al-Mubarad sebagai pendapat terkuat. Semoga kita mendapat berkah dan pemahaman.

Sedangkan Tahir Ibn Asyur berkata, “Minhaj adalah jalan yang luas (al-Tarīqul wāsi’), dikutip dari Tahrir al-Ma’na al-Sadid wa Tanwir al-Aql al-Jadid min Tafsir al-Kitab al-Majid li Thahir ibn Asyur (w. 1393 H), cetakan Dar al-Tunisiah li al-Nasyr, Tunis, 1984 M.

Secara istilah, manhaj sendiri memiliki beragam definisi. Akan tetapi, penulis cukupkan definisi manhaj dari Filsuf kenamaan Yunani, Aristoteles (w. 322 SM). Ia memaknai methode sebagai pencarian, pemikiran atau pengetahuan yang menunjukkan pada jalan yang menyampaikan kepada suatu tujuan, melewati banyaknya kesulitan dan rintangan. Adapun ilmu manhaji (methodologie) dipopulerkan pertama kali oleh Immanuel Kant, Filsuf Jerman Abad Pencerahan (w. 1804 M).

Terlepas dari berbagai disclaimer yang akan lahir dari umat Islam, penulis di sini mencoba mengajak pembaca untuk melihat perkembangan keilmuan di dunia saat ini menggunaan perspektif Prof. Mahmud Hamdi Zaqzuq. Yaitu, menemukan kesepakatan untuk sama-sama memakmurkan dan membangun, bukan malah saling berbangga-bangga yang cenderung menjadi benih fanatisme dan permusuhan. Peradaban panjang manusia, dari manusia pertama sampai zaman canggih saat ini, akan jadi nonsense kalau tidak dirawat dengan baik. Tentunya dengan prinsip dan nilai luhur dari ajaran Tuhan Yang Maha Bijaksana.

Sebagaimana telah penulis singgung di atas, tahsīl al-ilm amat berkaitan erat dengan manhaj dan tarīqat al-Bahts. Bagi penulis pribadi, kedua hal tersebut masih tidak cukup tanpa menguasai perangkat yang baik dan layak, untuk kemudian diproses dengan metode yang baik dan benar. Sehingga akan menghasilkan natijah yang baik pula. Dengan kata lain, kita perlu memiliki perangkat analisis atau penafsiran (al-Alat), metodologi (al-Manhaj), yang kemudian akan menghasilkan kesimpulan (al-Tahsīl). Keseluruhan dari proses tersebut bisa disebut sebagai shinā’at al-‘Ilm.

Kalau diperhatikan dengan seksama dalam dunia pendidikan saat ini, sebagian besar pelajar atau juga pengajar memberikan 2 gaya dalam proses belajar-mengajar. Dari gaya tersebut akan timbul daya dan hasil yang jelas kontras dan sangat berbeda satu dengan yang lain dalam satu waktu. Kedua hal tersebut adalah sinā’at al-‘ilm dan hikāyat al-‘ilm.

Bagian pertama sebenarnya yang harus diperbanyak dan terus berusaha untuk ditingkatkan. Tentu dengan takaran yang pas, karena itu yang akan membuat generasi manusia dari waktu ke waktu akan terus terbangun dan berkembang untuk memakmurkan bumi Allah ini. Tujuan Allah menciptakan manusia ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, kalau dilihat dalam al-Qur’an. Bahkan bisa lebih kalau ditemukan indikasi lain yang jelas dan kuat. Pertama, sebagai khalifah atau penguasa di alam semesta. Kedua, memakmurkan dan membangun alam semesta yang mereka kuasai (karena memang begitulah sebenarnya tabiat dari seorang penguasa atau pemimpin, bukan malah sebaliknya). Ketiga, beribadah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  

Bagian kedua, hikāyat al-‘ilm dinilai kurang efektif pada banyak situasi dalam proses pengembangan suatu fan ilmu, kalau stagnan pada rule alur cerita saja. Tersebab, ada banyak hal yang tidak akan selesai kalau sebuah proses pemakmuran alam semesta hanya menggunakan perangkat yang itu-itu saja. Sayangnya, bagian kedua ini tumbuh sangat subur dibandingkan dengan sinā’at al-‘ilm yang dianggap susah dan ribet. Sebagian kita memang lebih enjoy dengan style leyeh-leyeh dan stagnan pada comfortzone.

Yuk, saling mengingatkan! Ingat, di bumi Kinanah ini kita perlu 2 modal sebagai bekal awal, yaitu sabar dan sadar. Sabar degan segala jenis shockculture dan belibetnya ijroat yang tidak pandang bulu, petugas yang melemparkan kata ajaib “bukroh.” Untuk awal-awal, terima saja seraya menenun rasa sadar dalam jiwa. Liat saja huruf B dan D di kata sabar dan sadar itu, seolah mereka berdua menyahut ke kita lantas berkata begini, “Eh, sebut abjad dari awal, deh! B lebih dulu kan yak ketimbang D?!” Maknanya apa? Rem dan gas itu digunakan sesuai dengan porsinya masing-masing. Dengan menjadikan sabar sebagai rem dan sadar sebagi gas, insyaallah mobil kehidupan kita akan jarang terkena mogok dalam lajunya, dan juga tidak mudah menabrak atau keluar jalur karena menggunakan rem dengan piawai.

Terkait sinā’at al-‘ilm dan hikāyat al-‘ilm, dalam istilah dunia ekonomi saja ada yang disebut dengan intaj dan istihlak; produksi dan konsumsi. Seandainya kita hanya stagnan pada zona konsumsi saja, maka lama-kelamaan daya guna dari barang yang kita miliki akan sampai pada “mode habis” pengaruh, kecuali kalam Allah dan yang dikehendaki oleh-Nya. Begitupula kalau stagnan pada zona produksi saja, akan menimbun terlalu banyak barang yang dimiliki tanpa memiliki arti dan fungsi, kalau enggan berkata expired. Sikap yang tepat adalah pertengahan. Layaknya seorang wasit dalam sepakbola, tidak condong ke kiri (tim away) dan tidak condong pula ke kanan (tim home). Sikap pertengahan ini bisa memiliki beragam definisi dan beragam tafsiran. Meminjam analogi wasit tadi, sikap pertengahan ini bukan hanya tidak extrem atau pure extrem. Akan tetapi juga memberikan respon dan gaya ketika terjadi ketidakberaturan dalam rantai permainan dan kehidupan, maupun pada dunia arus pemikiran dan keyakinan.

Bapak M. Quraish Shihab pernah mengatakan bahwa washatiyah atau sikap pertengahan itu bukan baju jadi, maknanya tidak serta merta diterapkan dengan teks yang dipahami pada pandangan pertama saja. Akan tetapi, ambil value dan lihat substansi untuk kemudian diterapkan pada suatu lingkungan dengan tetap me-ra’i dan menyadari situasi, kondisi dan norma yang berlaku di masyarakat selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, dengan ibarat lain mā lam yakun itsman.  


---------

Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana Universitas al-Azhar Mesir sekaligus Dewan Mustasyar PwK NWDI Mesir

Posting Komentar

0 Komentar