Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Budaya Wayang Dalam Perspektif Tuan Guru Bajang

 Oleh: Wahyudi Maulana Hilmy

Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia disibukkan dengan sebuah ceramah yang menyinggung tentang budaya wayang. Bahkan, topik tersebut mendapatkan sorotan dari berbagai pemberitaan nasional. Sebenarnya, apa, sih hukum wayang dalam pandangan Islam? Apakah halal atau haram? Serta bagaimana menyikapinya? Berikut penulis coba sadurkan jawaban mengenai pertanyaan di atas melalui perspektif Guru Mulia, Tuan Guru Bajang Dr. Muhammad Zainul Majdi, MA (TGB) yang penulis beri tambahan redaksi untuk memperjelas apa yang disampaikan oleh beliau. Adapun mengenai konsep penulisan-karena tulisan ini disadur langsung dari ceramah beliau dan beberapa sumber lainnya-, maka ketika ceramah tersebut dituangkan ke dalam tulisan, tentunya perlu ada beberapa penyesuaian. Sehingga, pembaca mungkin akan menemukan beberapa kalimat yang tidak persis seratus persen dengan video Youtube, mohon dimaklumi.

Adat atau budaya diartikan sebagai apa yang kita lakukan dan bagaimana kita melakukannya. Ada juga sebagian pendapat yang mendefinisikan, sesuatu yang dilakukan dengan cara tertentu dan dilakukan berulang-ulang.

Adat dalam Islam dibagi menjadi 3 oleh para ahli dan pakar (Ulama). Pertama, adat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Adat yang demikian, dieliminasi. Contohnya seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup dan meminum minuman keras. Kedua, adat yang sebenarnya mengandung nilai mulia. Akan tetapi, ada penyimpangan di dalamnya. Seperti membela suku yang disertai dengan kezaliman. Model kedua ini, selayaknya dievaluasi, direvisi dan dikoreksi melalui kacamata Islam. Ketiga, adat yang mengandung nilai baik dan cara pelaksanaannya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Inilah adat yang diakui oleh Islam, bahkan memperkuat maknanya. Contohnya seperti kemurahan hati dan dermawan.

Dari pemaparan di atas, jikalau kita ingin mengkontekstualkan dengan adat dan budaya di negeri kita, tinggal mengukur dengan prinsip di atas. Kita tidak seharusnya terpaku dengan nama. Karena nama, bisa berbeda antara satu tempat dengan yang lain. Tapi kalau esensinya adalah sesuatu yang baik, maka tidak masalah dan silahkan ditradisikan. Seperti gotong-royong (esensinya adalah bekerjasama dalam kebaikan), begibung (dalam bahasa Sasak, berarti  makan bersama), dan lain sebagainya.

Lalu, apa hukum wayang dalam pandangan Islam? Jawaban tersebut dengan mudah kita jawab menggunakan prinsip-prinsip yang ada di atas. Kalau wayang mengandung kebaikan dan pelaksanaanya dengan cara yang baik pula, maka tidak masalah. Bahkan, bisa bernilai ibadah kalau isinya adalah dakwah Islam sekaligus sebagai mediumnya.

Kalau ada ritual tidak baik yang dilakukan sebelum perwayangan-seperti tidak shalat sebelum pertunjukan wayang-maka bukan wayangnya yang salah, akan tetapi kebiasaan tidak shalat tersebut. Banyak hal mubah (boleh dilakukan) bisa bergeser menjadi tidak boleh karena perbuatan tersebut meninggalkan sesuatu yang wajib (harus dilakukan). Contohnya makan. Sebagaimana kita ketahui bersama, makan adalah perbuatan mubah. Kalau ada orang yang makan secara terus-menerus dari awal waktu zuhur sampai habis waktunya, maka suapan makan ketika sudah masuk waktu asar menjadi haram, karena meninggalkan perkara yang wajib. Bukan makannya yang salah. Akan tetapi, meninggalkan kewajibannya. Bukan wayangnya yang salah. Akan tetapi, tidak shalatnya. Banyak hal baik yang dipraktikkan oleh masyarakat dan dilakukan sesuai dengan ukurannya. Sehingga, hasil dan hukumnya pun menjadi baik dan sah-sah saja dilakukan. Namun, apabila pekerjaan terbaik tersebut melampaui batas atau berlebihan, maka tentu menjadi tidak baik dan perlu untuk diperbaiki. Tersebab, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Dahulu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyaksikan orang-orang Habasyah (kulit hitam) bernyanyi dan menari di Madinah. Dikala itu, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditemani oleh Sayidah Aisyah Radiyallahu ‘Anha. Selang beberapa waktu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “sudah cukup, Aisyah!” Kemudian, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Sayidah Aisyah pun pulang. Apa artinya? Berkesenian itu boleh. Asal isi dari seni itu tidak mengajak pada kemaksiatan. Berkesenian itu boleh. Asal jangan berlebihan. Lagu atau musik, misalkan. Kalau mengajak pada kemaksiatan, maka tidak boleh dan menjadi haram. Tapi, kalau isi lagu tersebut bagus-meminjam istilah Imam Abu Hamid al-Ghazali-yurakik al-qalba (membuat hati tersentuh), seperti lagunya Bimbo yang mengingatkan pada kematian dan akhirat. Bimbo, dengan satu lagunya itu mungkin bisa menyentuh hati seseorang. Bahkan, terkadang bisa lebih menyentuh dari seribu ceramah bagi sebagian orang. Itulah dakwah melalui lagu atau musik.

Jadi, melihat adat dan budaya yang berkembang di masyarakat itu tidak boleh dengan kacamata kuda. Misalnya, “Ah, pokoknya budaya berarti bertentangan dengan Islam! Minggir! Pokoknya Islam. Yang namanya budaya, minggir!” Nabi itu sayang dengan budayanya-seperti memakai jubah dan lain-lain-, karena itu budaya orang Arab. Islam dan budaya itu bersahabat dan berjalan beriringan selama budaya tersebut tidak menyalahi prinsip mulia Islam dan dilaksanakan dengan cara yang mulia pula. Pada akhirnya nanti, Islam akan terasa menyatu dengan kehidupan kita.

Wallahu a’lam bis-shawab.

 

Sumber:

http://www.youtube.com/c/HubbulWathanTVOficcial, Hukum Wayang Dalam Islam – Dr. TGB. M. Zainul Majdi, MA./ Ceramah Terbaru TGB, Tafsir Alquran Surat al-Baqarah Ayat 155-158, dipost 18 Februari 2022.

Koran Lombok Post, Wayang Haram? Ini Tanggapan TGB dan Jangan Melihat Budaya dengan Kacamata Kuda, 18 Februari 2022.

Madinatul Buuts al-Islamiyah Kairo, 19 Februari 2022 M/18 Rajab 1443 H.


Posting Komentar

1 Komentar