Oleh: Muhammad Thariqul Akbar
Istilah modern atau modernitas sudah tidak lagi asing di telinga kita pada zaman ini. Ia mengacu kepada pembaharuan, kritik, dan penolakan tradisi. Selain itu, ditandai pula dengan keyakinan terhadap kemajuan di bidang sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Islam sendiri
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sejatinya juga tidak asing dengan
pembaharuan, kritik serta penolakan tradisi. Justru, islam hadir untuk
melakukan hal tersebut dan telah melakukannya sejak wahyu pertama turun (Q.S
al-Alaq : 1-5). Tentu, kita harus garis bawahi pembaharuan seperti apa yang
islam inginkan. Apakah pembaharuan islam itu sama dengan pembaharuan dalam
pengertian barat atau tidak.
Perubahan atau kemajuan
yang islam bawa didasarkan kepada al-Qur’an dan hadits Nabi Shallalahu ‘Alaihi
Wasallam. Kemajuan sendiri mensyaratkan
adanya “garis finis” sebagai tolak ukur untuk kita jadikan sebagai pedoman,
apakah kita maju atau justru sebaliknya; mundur. Analogi sederhana dibawah ini
mungkin bisa memudahkan pembaca dalam memahami hal ini.
Saya tinggal
di Lombok. Jika saya ingin pergi ke Jakarta, maka saya harus melewati Bali,
kemudian Jawa. Ketika saya sampai di Bali, saya sudah melakukan kemajuan karena
semakin dekat dengan tujuan saya. Namun, jikalau tujuan saya Jakarta tetapi
saya mengarah ke timur (NTT, misalnya), tentu hal ini tidak bisa dinamakan
kemajuan. Justru, saya mengalami kemunduran karena semakin jauh dari tujuan
saya sendiri.
Sehingga,
perubahan dan kemajuan yang dimaksud islam bukan serta merta terus berubah,
tanpa suatu tujuan. Akan tetapi, perubahan dan kemajuan tersebut dilandaskan
kepada suatu tujuan. Tujuan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah
menggapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menjadi hamba serta
khalifah yang menjaga kestabilan, kemakmuran dan keadilan di muka bumi. Sehingga,
kita mampu menilai diri kita, apakah kita sedang dalam kemajuan atau justru
sebaliknya. Hal tersebut yang mungkin menjadi perbedaan mendasar antara islam
dengan barat dalam hal kemajuan dan perubahan.
Gambaran
pembaharuan dalam islam dapat kita temukan dalam wahyu pertama. Al-Alaq merupakan
langkah awal pembaharuan dan kritik terhadap apa yang terjadi di zaman itu. Al-Alaq
berfungsi sebagai pijakan dan bekal awal Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam
untuk pembaharuan dan perbaikan atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di
zamannya. Seperti perbudakan, strata sosial yang mengacu kepada kesukuan,
jabatan serta harta, dll. Pembaharuan dan perbaikan tersebut terlihat dengan
rasionalisme sekaligus kritik islam terhadap sosial-budaya pada zaman itu. Bisa
dikatakan bahwa, al-Alaq merupakan pondasi dan pijakan awal pembaharuan dan
peradaban islam.
Peradaban yang
diinginkan oleh al-Alaq adalah peradaban rasionalitas dan ilmu yang tertuang
jelas dalam ayat 1-5. Peradaban yang akan memperbaharui peradaban jahiliyah
dikala itu. Pembaharuan pada masa Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam hadir
dalam bentuk penghapusan kasta dan perbudakan. Begitu juga kritik islam kepada
teologi dan tradisi orang Quraisy–meski tidak semuanya-serta ajakan dan ajaran untuk
menggunakan daya pikir. Tidak hanya dalam urusan sosial atau bernegara.
Melainkan juga dalam beragama. Sebagaimana dikuatkan oleh ayat-ayat al-Qur’an lainnya.
Seperti pertentangan dalam diri nabi Ibrahim a.s ketika mencari tuhan dan
beradu argumen dengan raja Namrud.
Selain sebagai
pijakan awal pembaharuan, al-Alaq memiliki keistimewaan sebab motivasi yang
dikandung di dalamnya. Di antaranya :
1. Merupakan perintah dari Allah SWT.
Pemberi
perintah bisa menjadi sebuah motivasi. Hal ini tergambar jelas dengan berbedanya
respon terhadap suatu perintah sejalan dengan berbedanya sang pemberi perintah.
Sebagai contoh, kita di suruh oleh teman sendiri dan kyai. Tentu penghormatan
dan motivasi kita untuk melaksanakan perintah dari kyai lebih besar daripada
melaksanakan perintah dari teman sendiri. Begitu pula halnya dengan perintah di
dalam al-Alaq. Bahkan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengakidkan diri-Nya
dengan kata “akram” di ayat ketiga. Sebagai penguat bahwa yang
memberikanmu (Muhammad SAW., red) wahyu merupakan Dzat yang paling mulia, yang
tiada sekutu baginya.
2. Penyebutan manusia secara langsung
Allah
SWT. Khusus menyebutkan manusia pada ayat kedua. Dimana, hal itu sebagai bentuk
pemuliaan kepada manusia itu sendiri. Begitulah pendapat yang dinukil oleh imam
ash-Shabuni dari imam Qurthubi dalam karyanya Shafwah al-Tafasir. Penghormatan
ini tentu akan membangkitkan motivasi dalam diri manusia karena dimuliakan.
Adanya korelasi
antara prolog iqro’–yang mengajak untuk membaca dan belajar-dan epilog wasjud
waqtarib–yang di tutup dengan shalat dan ibadah-menjadi poin tersendiri
bagi al-Alaq untuk dijadikan sebagai sebuah asas modernitas. Bahwa membaca dan
belajar harus diikuti juga dengan pengimplementasian. Bahwa peradaban itu
dijemput, bukan didapatkan dengan berpangku tangan.
Alhasil, al-Alaq
menjadi ayat pergerakan dan asas pembaharuan dalam islam. Pergerakan dan
peradaban yang berlandaskan spiritual dan keilmuan. Al-Alaq adalah asas pembaharuan
yang akan menghasilkan peradaban yang utuh nan ilmiah. Utuh karena mencakup
semua elemen manusia–lahir bathin-, ilmiah karena semua itu dibangun atas dasar
keilmuan.
Wallahu a’lam
0 Komentar