Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Pesan Go-Food, Haramkah?

Oleh: Lalu Dhika Ido Sukmajati

Para pembaca yang budiman, di era yang serba digital ini, ada banyak macam permasahan fikih kontemporer yang datang dari berbagai lini kehidupan. Salah satunya, perihal Go-Food dalam bidang jual beli. Go-Food adalah salah satu aplikasi layanan yang menawarkan berbagai jenis makanan dengan metode pesan antar. Dengan sekali klik, kita sudah bisa menikmati makanan tanpa harus repot keluar rumah. Lantas, bagaimanakah hukum Go-Food dalam kacamata fikih kontemporer?

Sebelum membahas lebih dalam mengenai hukum, mari kita tinjau bagaimana skema transaksi Go-Food ini. Sehingga, membuat kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas bagaimana transaksinya. Cara melakukan pemesanan makanan melalui Go-Food adalah dengan mengklik fitur Go-Food pada aplikasi Gojek. Nantinya, akan muncul berbagai macam restoran dan rumah makan yang terlacak sesuai dengan lokasi di sekitar pengguna. Selanjutnya, pengguna mulai bisa memilih menu makanan yang akan dipesan. Setelah menyetujui pesanan, pengguna tinggal menunggu makanan diantar oleh pihak Gojek.

Saat menunggu pesanan datang, pengguna bisa melacak keberadaan kurir dan menghubunginya jika pesanan belum juga datang dalam waktu lama. Mengenai pembayaran, menu makanan yang telah dipesan akan dibayar dulu (ditalangi sementara) oleh pihak Gojek. Ketika makanan telah sampai, barulah pengguna membayar dengan uang tunai atau melalui Gojek kredit.

Setelah mengetahui alur skema transaksinya, mari kita tinjau lebih jauh dari segi hukum satu persatu. Ternyata, ada beberapa ulama yang mengharamkan transaksi seperti ini. Di antaranya, KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi, salah seorang tokoh Hizbut Tahrir Indonesia yang sering membahas fatwa masalah-masalah kontemporer.

Muhammad Shiddiq berkesimpulan bahwa, hukum Go-food adalah haram dengan alasan bahwa di dalam transaksi Go-food terdapat multi-akad atau penggabungan dua akad sekaligus. Yaitu, akad ijarah dan akad qardh. Dalam hal ini, si pemesan menjadi musta'jir sekaligus muqtarid. Sedangkan si pemberi jasa menjadi mu'ajjir sekaligus muqridh. Ada beberapa hadits yang memang melarang menggabungkan dua akad dalam satu waktu, beberapa di antaranya :

ورد النهي عنها عند الترمذي من حديث أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad)

عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : ﻣﻦ ﺑﺎع ﺑﻴﻌﺘ ﺑﻴﻌﺔ ﻓﻠﻪ أوﮐﺴﻬﻤﺎ أو اﻟﺮﺑﺎ

Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan dua jual beli dalam satu kali transaksi maka pilihan baginya nilai yang paling sedikit atau riba.” (HR. Abu Daud).

Fatwa sebagian kalangan yang mengharamkan Go-food hanya mengutip hadis-hadis tentang larangan multi-akad di atas, kemudian dipahami secara tekstual tanpa melihat konteks dan illat hukumnya. Sehingga, seolah-olah semua transaksi yang menggabungkan dua akad atau lebih hukumnya haram secara mutlak.

Jika kita menelisik makna dari hadits di atas, ternyata ada 7 penafsiran makna dari kalangan ulama. Namun, penafsiran yang disepakati oleh jumhur ulama adalah jual beli satu barang dengan dua harga sekaligus. Yaitu, harga tunai dan harga kredit. Dimana, harga kredit lebih mahal dari harga tunainya. Namun, jika terjadi tawar-menawar sehingga pembeli menentukan harga mana yang dia ambil (apakah harga tunai atau harga kredit), maka tidak termasuk ke dalam kategori bai’atain fi ba’iah.

Jual-beli semacam ini dilarang karena ada unsur gharar (ketidakjelasan) dalam harga barang. Pendapat mayoritas ulama inilah yang kemudian dipilih oleh ulama-ulama kontemporer seperti Dr. Nazih Hammad, Dosen Fikih dan Ushul Fikih di Fakultas Syariah, Universitas Ummul Qura dan Dr. Ali Muhyiddin, Dosen Fiqih dan Ushul Fiqh, dan masih banyak ulama lainnya.

Jika kita menerapkan kaidah fikih dalam masalah ini, ada beberapa hal yang melatarbelakangi pengharaman tersebut. Maka kita lihat dan teliti dengan cermat.

Illat pertama adalah ditakutkannya unsur gharar. Yaitu, penipuan dalam pembelian makanan dengan menambahkan harga makanan dari harga aslinya. Namun faktanya, harga makanan asli sudah tertera pada aplikasi dan sama dengan harga di tokonya. Sehingga, tidak akan ada unsur penipuan pada masalah harga.

Illat kedua, jika melihat ketentuan hukum multi-akad di mana yang diharamkan adalah multi-akad yang direkayasa (untuk mengarah kepada hal yang dilarang), maka transaksi Go-food juga tidak memenuhi kriteria tersebut. Karena akad ijarah dan akad qardh di dalamnya tidak dilakukan untuk rekayasa kepada hal yang dilarang, melainkan akad qardh terjadi karena sekedar asas tolong menolong dan saling membantu dengan transaksi tersebut.

Illat ketiga, ditakutkannya akan terjadi kerugian jika adanya kecurangan di antara kedua belah pihak. Namun, aplikasi ini sudah mampu memenuhi standarisasi keamanan untuk melindungi kedua belah pihak dari kerugian yang ditanggung. Salah satunya dengan sama sama mengetahui identitas kedua belah pihak, sehingga akan mengurangi kemungkinan kasus kecurangan dalam transaksinya.

Kesimpulan yang dapat kita petik disini, bahwa penggunaan aplikasi Go-Food ini jika kita tinjau dari takyif fikihnya, tidaklah menyelisihi syariat. Selama keamanannya terjamin, maka menggunakan aplikasi ini adalah sah dan diperbolehkan. Ditambah lagi, transaksi jual beli secara online belakangan ini telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan, khususnya bagi masyarakat perkotaan yang biasanya memiliki tingkat kesibukan yang tinggi. Adanya fitur jual beli atau jasa antar online seperti Go-food bisa membantu dan memudahkan mereka dalam menjalani kehidupannya.

Wallahu a’lam bissawwab

Posting Komentar

1 Komentar