Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Secuil Dialog Gramatikal Bahasa Arab antara al-Mubarrid dan al-Kindi

Oleh: Wahyudi Maulana Hilmy

Dalam buku-buku ilmu Balaghah, Abu Abbas al-Mubarrid al-Nahwi (w. 286 H) meriwayatkan seorang Filsuf terkenal bernama al-Kindi (w. 256 H) datang kepadanya suatu hari seraya berkata, “Sungguh, dalam ungkapan orang Arab aku menemukan kesia-siaan. Mereka mengatakan “Abdullah qaimun, inna Abdullah qaimun, inna Abdullah laqaimun.” Sementara makna dari keseluruhan kalimat tersebut sama! Al-Kindi jelas heran dengan banyaknya model ungkapan bahasa Arab. Padahal, esensi tiap kalimat tersebut menurutnya tidak ada. Seperti ungkapan, “kuantitas saja yang banyak. Akan tetapi, kualitas kalimatnya tidak ada sama sekali.”

Mendengar kritikan menohok al-Kindi di atas, al-Mubarrid tentu tidak setuju. Dengan iktikad baik mengungkapkan kebenaran, ia menjelaskan makna dan penggunaan tiap kalimat tersebut. Bahwasannya orang Arab tidak asal-asalan dalam melontarkan suatu kalimat, baik meliputi penambahan dan pengurangan suku kata, maupun struktur kalimat.

“Sebenarnya, makna masing-masing kalimat tersebut berbeda. Kalimat Abdullah qaimun berarti pemberitahuan atau memberikan informasi tentang berdirinya si Abdullah tanpa adanya pertanyaan dan permintaan sebelumnya. Kemudian kalimat inna abdallah qaimun merupakan sebuah jawaban dari pertanyaan seseorang yang menanyakan kondisi atau kabar si Abdullah. Sedangkan kalimat inna abdallah laqaimun, sebagai jawaban dari ketidakpercayaan seseorang ketika diberitahu si Abdullah memang sedang berdiri.”

[Cerita di atas penulis kutip dari al-Kafī fil Balāghah; al-Bayān wal Badī’ wal Ma’āniy karya Aiman Amin Abdul Ghaniy (Dosen Ilmu Bahasa Universitas Islam Pakistan), Bab 1 Tamhid, hal. 22-23]

Faidah-Faidah:

Cara berpikir al-Kindi adalah critical thinking (bergegas mengungkapkan kejanggalan yang ditemukan ketika sedang mengamati sesuatu kepada pakarnya). Kritik berarti penguraian dan pemaparan sebuah permasalahan. Sehingga, ketika suatu kritik dilontarkan, sikap bijak orang yang dikritik adalah memahami dan mencoba mencari solusi. Tersebab, orang yang mengkritik sebetulnya memiliki rasa kepedulian dan perhatian pada sisi yang dikritisi. Jikalau sang pengkritik juga memberikan solusi, hal itu adalah bonus bagi yang dikritisi. Jika tidak, maka menjadi tugas bersama untuk mencari solusi terbaik.

Berangkat dari hal ini, ada sebagian orang yang tidak setuju dengan ungkapan “kritik yang membangun”. Karena hal ini seakan-akan mengharuskan tiap orang yang hendak mengkritik memberikan solusi. Padahal, kritik pada dasarnya adalah menguraikan, membedah, dan merincikan suatu masalah. Sedangkan jawaban dan solusi sebuah kritikan adalah tugas setiap orang yang paham dan pakar dalam bidang tersebut. Meski tujuan kritik membangun adalah memperbaiki, namun cara merespon dan menanggapinya seringkali menjadi masalah. Masih banyak yang menanggapi suatu kritikan dengan mendahulukan prasangka buruk. Sehingga, ketika sebuah kritik dilontarkan, dia tidak menjawab dengan solusi, justru malah mengkritik balik yang dapat berujung sampai tahap saling tidak peduli satu sama lain.

Namun, berbeda dengan cerita al-Mubarrid dan al-Kindi di atas. Mereka sama-sama memiliki niat yang baik untuk belajar. Sehingga terjadilah proses timbal balik yang bermanfaat (kalau enggan menyebutnya sebagai “proses belajar mengajar yang indah.” Al-Mubarrid adalah seorang bijak yang ahli ilmu gramtikal bahasa Arab. Dengan kecerdikannya, dia memberikan penjelasan yang komperehensif kepada al-Kindi mengenai rahasia penambahan huruf dalam bahasa Arab.

Inilah letak keindahan bahasa Arab! Orang yang paham ilmu balaghah akan menggunakan setiap ungkapan sesuai dengan situasi dan kondisi. Ungkapan dalam memberikan informasi secara cuma-cuma tanpa ada permintaan sebelumnya tentu akan menggunakan kalimat yang normal dan lumrah, tanpa ada penambahan huruf atau kata yang lain. Sedangkan ketika memberikan jawaban sebuah pertanyaan, ungkapannya diberikan kata inna (huruf taukid) yang berarti sesungguhnya atau sungguh. Kemudian yang terakhir terdapat dua penambahan taukid (double intensifier). Yaitu, inna dan huruf lam (sebelum kata qāim dalam kalimat inna Abdallah laqaimun) sebagai isyarat kebenaran informasi yang diberikan. Lantaran adanya kemungkinan orang yang bertanya tidak percaya akan kabar yang diberikan. Sehingga diberikan dua huruf ta’kid sebagai penguat dan penegasan.

Itulah sebabnya, orang yang bāligh (ahli Balaghah) adalah yang mampu menempatkan suatu ungkapan sesuai dengan kondisi di lapangan. Dia dapat memperhatikan situasi dengan seksama, kemudian memberikan respon yang sesuai dengan kondisi tersebut. Ahli Balaghah bisa disebut sebagai orang yang adil, adil dalam berucap tentunya. Karena struktur kalimat yang mereka gunakan sesuai dengan keadaan yang ada. Adil itu banyak ragamnya, adil semenjak dalam pikiran, adil dalam perkataan, dan adil dalam perbuatan. Dan masing-masing keadilan tersebut dapat dipelajari. Seperti ilmu logika untuk belajar adil dalam pikiran, ilmu balaghah untuk adil dalam perkataan, dan ilmu akhlak untuk berlaku adil dalam perbuatan.

 

Posting Komentar

0 Komentar