Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Mengulas Maulid; Pro dan Kontra

Oleh: Teja Wirahadi

Tulisan penulis kali ini berangkat dari sebuah pertanyaan yang masih menjadi perselisihan dan belum menemukan titik temu. Yaitu, “Apakah Maulid itu bidah yang menyesatkan atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya kita menguraikan definisi dari 2 istilah terkait, maulid dan bidah terlebih dahulu untuk menyamakan pemahaman kita bersama. Kemudian, penulis akan mencoba menguraikan pendapat ulama tentangnya. Baik yang melarang ataupun membolehkan. Namun, sebelum beranjak lebih jauh, perlu kita garis bawahi perbedaan antara maulid dan perayaan maulid terlebih dahulu. Karena kedua hal itu merupakan dua hal yang berbeda.

Maulid

Secara bahasa, maulid merupakan isim makan atau isim zaman yang berarti tempat kelahiran atau waktu kelahiran. Sehingga, maulid Nabi mengisyaratkan dua hal. Pertama, tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kedua, waktu kelahiran beliau SAW.

Beliau dilahirkan di kediaman pamannya, Abu Thalib, di permukiman Bani Hasyim di Makkah (saat ini telah menjadi Perpustakaan Umum Makkah Al-Mukarramah). Sedangkan waktu kelahiran beliau menurut pendapat yang rajih adalah hari Senin pagi, 12 Rabiul Awwal,Amul  fil (tahun gajah), bertepatan dengan bulan April 570 M.

Adapun perayaan maulid berarti menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kegembiraan tersebut diungkapkan dengan berbagai cara. Seperti mengadakan pengajian, perlombaan-perlombaan, serta menyampaikan keutamaan-keutamaan Rasulullah SAW di Masjid ataupun di forum-forum keagamaan. Perayaan tersebut dimaksudkan untuk menambah kecintaan kita kepada beliau, sekaligus menyebarkan kebaikan, sunnah-sunnah beliau serta fadhailnya untuk kita teladani dan jadikan sebagai pedoman hidup sepanjang masa.

Perayaan maulid menurut Hafiz al-Sakhowi pertama kali dilakukan setelah abad ketiga Hijriah. Kemudian secara kontinu dilakukan oleh umat Islam di kota-kota besar. Malam harinya diisi dengan berbagai sedekah dan pembacaan maulid Nabi SAW. Sehingga tampak jelas anugerah yang mereka dapatkan sebab keberkahan beliau SAW.

إن عمل المولد حدث بعد القرون الثلاثة الأولى، ثم لايزال أهل الإسلام من سائر الأقطار في المدن الكبار، يعملون المولد، ويتصدقون في لياله بأنواع الصدقات، و يعتنون بقراءه مولده الكريم، ويظهر عليهم بركاته فضل عميم.

Bidah

Secara terminologi berarti suatu perkara yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Seperti firman Allah SWT (بديع السموات و الارض). Yang menegaskan bahwa Allah menciptakan bumi dan langit tanpa ada contoh sebelumnya.

Sedangkan definisi bidah secara istilah, penulis menukil pendapat Imam Syafii. Beliau mendefinisikan maulid sebagai:

ما أحدث بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا

Segala sesuatu yang dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat, yang berselisih dengan salah satu dari al-Qur’an, sunnah, atsar, ataupun ijmak.

Dari definisi di atas, sebuah ibadah atau amalan dikategorikan sebagai bidah bukan hanya karena dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah SAW ataupun tanpa contoh dari beliau, namun perkara tersebut juga menyalahi sunnah. Jadi, jika suatu ibadah atau amalan tertentu yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun tidak menyalahi atau tidak bertentangan dengan Al-Quran atau sunnah, maka bukan bidah sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Imam Syafi’i.

Pembagian Bidah

Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سُنَّةً حسَنةً فلهُ أجرُها، وأجرُ مَنْ عمِلَ بِها من بعدِهِ، من غيرِ أنْ يُنقَصَ من أُجورِهمْ شيءٌ، ومَنْ سَنَّ في الإسلامِ سُنَّةً سيِّئةً فعليهِ وِزرُها، ووِزرُ مَنْ عمِلَ بِها من بعدِهِ، من غيرِ أنْ يُنقَصَ من أوْزارِهمْ شيءٌ

Berdasarkan hadits tersebut, Imam Syafi'i membagi bidah menjadi 2 kategori, bidah dhalalah dan bidah hasanah. Bidah dhalalah/mazmumah adalah suatu amalan ibadah yang dibuat-buat tanpa dasar dan bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, atau ijmak. Sedangkan bidah hasanah/ghairu mazmumah ialah suatu amalan ibadah yang dibuat-buat tanpa dasar, namun tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, atau ijmak, bahkan merupakan sebuah kebaikan.

Berbeda dengan Imam Syafi’i, murid beliau, Imam Izzuddin bin Abdussalam as-Syafii membagi bidah menjadi 5 kategori:

1)  Bidah yang diwajibkan. Seperti mempelajari Nahwu dan Shorof, pengumpulan al-Qur’an, dan berbagai cabang ilmu yang sangat penting untuk memelihara akidah dan syariah.

2)   Bidah yang diharamkan. Misalnya, perbuatan yang dilakukan oleh golongan Qodariyah, Murjiah, dan Musyabihah (karena bertentangan dengan akidah Ahlussunnah wal jamaah)

3)   Bidah yang dianjurkan/mandub. Contoh: mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah, pembuatan Pondok Pesantren, dan perbuatan baik lainnya.

4)    Bidah yang mubah. Seperti berjabat tangan selepas shalat fardu, mengenakan pakaian yang berbagai macam, dan hal-hal duniawi lainnya.

5)   Bidah yang makruh dikerjakan, yaitu segala sesuatu yang berlebihan dari bidah mubah yang telah penulis sebutkan sebelumnya.

Pembagian inilah yang banyak dipakai oleh para Ulama karena berdasarkan istiqro' (penggalian hukum) yang mendalam. Dari pembagian ini pula, kita mengetahui bahwa yang dimaksud bidah dhalalah adalah bidah yang muharramah. 

Berbagai Pendapat Ulama Mengenai Maulid

Golongan Ulama Yang  Tidak Membolehkan

Golongan ini terdiri dari kebanyakan Muhadditsin yang menisbahkan diri mereka sebagai golongan Salaf. Mereka berpendapat bahwa segala bentuk perayaan, seperti maulid Nabi, Isro' Mi'raj, malam Nisfu Sya'ban, peringatan terjadinya perang Badar, tahun baru Hijriah, dan perayaan-perayaan lainnya merupakan bidah munkaroh yang tidak berdasar dan tanpa petunjuk dari Allah SWT. Baik melalui al-Quran maupun sunnah. Adapun dalil mereka adalah:

1)   Segala bentuk ritual ibadah dalam agama harus ada referensi atau rujukan yang jelas dari dua sumber hukum Islam yang utama, yaitu al-Quran dan Sunnah. Mereka menukil hadits Nabi Muhammad SAW:

من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد

Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru pada perkara agama yang tidak ada dasar yang jelas, maka itu ditolak. (HR Bukhori dan Muslim)

2)  Perayaan maulid Nabi merupakan bidah yang tidak didasari oleh al-Quran atau sunnah. Bahkan, tidak ditemukan satu riwayat pun yang menjelaskan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum melaksanakannya. Padahal, para Sahabat adalah umat terbaik yang paling paham dan cinta kepada Rasulullah SAW. Perayaan maulid juga menyerupai kaum Nasrani yang memperingati kelahiran Nabi Isa a.s. Sedangkan Nabi Muhammad SAW telah melarang kita untuk meniru atau mengikuti amalan yang dilakukan oleh Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).

لتتبعن سنن من كان قبلكم، شبرا شبرا وذراعا بذراع، حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموهم. قلنا يا رسول الله اليهود والنصارى؟ قال: فمن؟

Kalian pasti akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian, inci perinci, sehasta demi sehasta, sampai -sampai jika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun mengikutinya. Kami bertanya, Apakah yang dimaksudkan adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani Ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, "Siapa lagi?!". (HR. Bukhori)

من تشبه بقوم فهو منهم

Siapa yang menyerupakan diri dengan suatu kaum, maka dia bagian dari mereka. (HR.Ahmad dan Abu Dawud)

3)  Perayaan maulid merupakan bentuk pemujaan terhadap Nabi Muhammad SAW serta berlebih-lebihan dalam memujinya. Padahal, hal itu telah dilarang oleh Nabi SAW sendiri melalui sabdanya:

لا تطروني، كما أطرت النصارى ابن مريم، فإنما أنا عبده، فقولوا عبد الله ورسوله

Jangan memujaku, sebagaimana yang dilakukan orang Nasrani terhadap Nabi Isa a.s. Aku adalah hamba Allah, maka katakanlah hamba Allah dan Rasulnya (jangan berlebih-lebihan). (HR. Bukhori)

4)  Perayaan Maulid merupakan bidah yang diakui juga oleh golongan yang memperbolehkannya. Sedangkan semua bidah itu sesat. Sebagaimana hadits masyhur yang telah kita ketahui bersama. imam Malik bin Anas juga berkata:

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا خان الرسال

Siapa saja yang melakukan suatu bidah yang dia anggap baik, maka ia sama saja menganggap bahwa Muhammad SAW tidak amanah menyampaikan  risalah (karena seharusnya semua bentuk kebaikan harus disampaikan). (Kitab AI-I'tishom, karya Imam Syathibi)

Allah berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم

Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian

Sehingga, jika masih ada kebaikan yang kurang dan belum disebutkan oleh Rasulullah SAW, seolah-olah beliau tidak amanah karena menyampaikan risalah dengan tidak sempurna.

5)      Pemahaman para ulama dalam memahami al-Qur’an dan sunnah berbeda-beda, maka jelas bahwa pendapat ulama tidak bisa dijadikan sebagai sebuah dalil.

Di antara ulama yang melarang perayaan maulid menurut pendapat mereka adalah, Abu Ishaq as-Syathibi, Ibnu al-Hajj,   Al-Lakhami al-Maliki,  Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsawan,    Syaikh Muhammad Rasyid Ridho,  Syaikh Ibrahim Ali Syaik,   Syaikh Abdullah bin Bazz.


Golongan Ulama yang Membolehkan serta Bantahan Mereka Terhadap Golongan yang Melarang

Golongan ini berpendapat bahwa perayaan maulid pertama kali dilakukan Oleh Raja Muzaffar, Abu Said Kukabri bin Ali at-Turkmani (549-630 H). Ibnu Katsir menyebutkan bahwa beliau merupakan orang yang sangat baik nan dermawan, raja yang agung serta memiliki pengaruh yang luas. Beliau yang pertama kali merayakan maulid Nabi SAW di Mosul, Irak dengan perayaan yang meriah.

Banyak lagi para Ulama yang menyebutkan biografi Raja Muzaffar diantaranya Imam Suyuthi dan Hafiz as-Sakhowi. Mereka semua juga berpendapat bahwa terlambatnya perayaan maulid Nabi dari masa Sahabat, Tabi'in, dan golongan setelahnya tidak bisa dijadikan dalil pengharaman maulid. Bahkan dalam perayaan maulid sendiri mengandung banyak kebaikan dan keberkahan. Seperti sedekah, silaturrahim, dan perwujudan cinta kepada Rasulullah SAW.

Bantahan Terhadap Dalil-Dalil Golongan yang Mengharamkan

1. Perayaan maulid Nabi bukan merupakan syariat peribadahan تشريعا تعبديا   yang mesti disandarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Maka tidak mesti ketika tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah, amalan tersebut secara langsung menjadi bidah munkaroh. Faktanya, banyak sekali contoh amalan setelah Rasulullah SAW wafat yang dilakukan oleh para Sahabat. Pertama, pengumpulan al-Quran pada zaman khalifah Abu Bakar As-Siddiq kemudian disempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Mushaf juga diberikan harakat/syakl, tanda waqaf, penomoran ayat, pemisah antar Surah dan lainnya. Dimana, semua hal tersebut tidak tertulis perintahnya dalam al-Quran maupun Sunnah. Kedua, shalat tarawih berjamaah yang digagas oleh Umar bin Khattab. Ketiga, penambahan adzan Jumat menjadi dua kali oleh khalifah Utsman bin Affan. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

2. Memang benar bahwa para Sahabat adalah orang terbaik, paling alim,  wara’, dan cinta kepada Rasulullah SAW. Sehingga jikalau ada kebaikan dalam agama, pasti mereka merupakan orang pertama yang akan melakukannya. Akan tetapi, jika dilihat dari kehidupan dan situasi mereka saat itu, kecintaan mereka telah tertanam dalam jiwa karena mereka selalu bersama Rasulullah SAW dalam situasi apapun. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan peringatan-peringatan lagi untuk memupuk cinta kepada Rasulullah SAW.  Beda halnya dengan kita sekarang yang cintanya tidak sebesar para Sahabat. Oleh karenanya, kita butuh peringatan dalam bentuk maulid untuk mengingatkan dan menumbuhkan rasa cinta kita kepada beliau SAW.

Selain itu, para Sahabat disibukkan dengan banyak hal yang lebih penting. Seperti memurnikan akidah, memerangi orang-orang murtad, menjaga stabilitas negara, berperang melindungi agama, menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia, dan sebagainya. Sehingga, mereka tidak punya waktu untuk membuat suatu perayaan tertentu.

3. Mengenai dalil penyerupaan dengan Ahli kitab, maka perlu diketahui bahwa yang dilarang adalah penyerupaan yang tidak baik dan mengarah pada penyimpangan akidah dan syariah. Adapun kebaikan, maka kita diperintahkan untuk mencarinya dimanapun berada. Sekalipun dilakukan oleh Ahli kitab. Sebagai contoh, Rasulullah SAW melakukan puasa asyura’ setelah hijrah ke Madinah dan melihat orang-orang Yahudi melakukannya. Beliau kemudian bersabda:

نحن أحق وأولى بموسى منكم

Kami lebih berhak  dan lebih utama untuk Musa daripada kalian

Yang terjadi disini adalah persaingan, bukan ikut-ikutan. Kalau mereka merayakan lahirnya Isa karena Isa adalah nabi dan utusan yang mulia bagi mereka, maka kita seharusnya lebih bersyukur lagi karena yang diutus kepada kita adalah nabi dan rasul terbaik di muka bumi ini.

4. Adapun sabda Nabi SAW yang mengatakan semua bidah itu sesat, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa itu lafaznya ‘am makhsusDalam artian, hadits tersebut memang am karena menggunakan kata kullu. Akan tetapi, maknanya khusus untuk bidah yang muharromah. Ini juga merupakan cara al-Jam’u (mengumpulkan dua dalil yang dhohirnya bertentangan) antara hadits ini dengan hadits man sanna fil islam. (lihat al-Majmu’ ; Syarh Muhazzab li an-Nawawi)

5. Adapun tuduhan mereka bahwa dalam perayaan maulid ada pemujaan dan pengagungan yang berlebihan kepada Rasulullah SAW, maka itu merupakan tuduhan yang tidak benar. Karena ketika perayaan maulid, yang ada adalah pembacaan shalawat, pembacaan sirah serta keutamaan-keutamaan Nabi SAW. Tidak pernah ada yang mengatakan, Muhammad adalah tuhan atau anak tuhan” maupun kalimat serupa ketika perayaan maulid. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani.

6. Pendapat mereka yang mengatakan bahwa maulid adalah bidah memang benar. Akan tetapi, bidah secara bahasa. Sebab, maulid memang dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Adapun secara istilah, maka perayaan maulid ini masuk kategori bidah hasanah karena tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan sesuai dengan firman Allah SWT:

(قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلۡیَفۡرَحُوا۟ هُوَ خَیۡرࣱ مِّمَّا یَجۡمَعُونَ)

Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” [Surat Yunus 58]

Diutusnya Rasulullah kepada kita merupakan anugerah yang paling besar. Maka sudah selayaknya kita bersyukur dan bergembira dengan lahirnya Rasulullah SAW. Adapun perkataan Imam Malik, ditujukan kepada umat Islam yang melakukan bidah dholalah dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik.

7.  Yang paling mengherankan adalah argumen yang terakhir. Mereka berhujjah bahwa pendapat Ulama tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Padahal mereka juga mengambil pendapat Ulama mereka.

Berikut di antara ulama-ulama besar yang membolehkan maulid:

1.      Al-Qodhi Abul Abbas Ahmad al-Azfi (633 H)

2.      Al-Hafiz Abul Khattab bin Dihyah al-Kalbi (633 H)

3.      Imam Taqiyuddin as-Subki (756 H)

4.      Al-Imam al-Hafiz Syihabuddin Abdurrahman Abu Syamah al-Maqdisi (665 H)

5.      Imam an-Nawawi (676 H)

6.      Imam Ibnu al-Hajj al-Maliki al-Qairawani (737 H)

7.      Ibnu Taimiyah (728 H)

Bahkan dalam kitab beliau Iqtidho Shiroth al-Mustaqim”, beliau berkata:

فتعظيم المولد واتخاذه موسما -أي في كل عام- قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيم رسول الله صَلّى الله عليه وسلم

Merayakan maulid nabi di setiap tahun itu memang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka mendapatkan pahala di dalamnya karena maksud dan tujuannya yang baik serta pengagungan kepada Rasulullah SAW

8.   Al-Imam al-Hafiz Ibnu Katsir Imaduddin Isma’il bin Umar (774 H)

9.   Al-Hafiz al-Iraqi (806)

10.  Al-Hafiz Syamsuddin bin Nashiruddin ad-Dimasyqi (842 H)

11.  Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani (852 H)

12.  Al-Imam Al-Hadiz as-Sakhowi (902 H)

13.  Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Haitami (974 H)

14.  Al-Hafiz asy-Syaibani (949 H)

15.  Al-Imam Ibnu Abbad an-Nafari (792 H)

16. Al-Hafiz al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi (911 H). Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa tidak semua yang datang setelah Rasulullah SAW dan yang tidak pernah beliau contohkan merupakan bidah dholalah yang dilarang. Baik oleh nas al-Qur’an, maupun hadits Nabi SAW. Adapun perayaan maulid, bukanlah bentuk hari raya baru dalam Islam ataupun pemujaan kepada baginda Nabi SAW. Melainkan hanya sebagai ungkapan rasa syukur, bahagia, dan mengagungkan beliau sebagai khatim an-Nabi wa ar-Rasul (penutup para Nabi dan Rasul) yang memiliki keutamaan dan kemuliaan yang tak terhingga.

Wallahu a’lam bishowab..

(Sumber: Al-Ihtifal bil Maulid an-Nabi asy-Syarif baina al-Ibtida’ wal Ittiba’ karya Prof. Dr. Abdurrahman Muhammad Al-Marokibi, Dosen dan Kepala Jurusan Akidah Filsafat, Dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Manufia)


 

Posting Komentar

0 Komentar