Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Memahami Moderasi, Membasmi Radikalisasi

Oleh: Muhammad Ziaul Haq

Maraknya tindakan kekerasan dan terorisme atas nama agama pada dekade belakangan ini amat merisaukan. Agama Islam makin terseret ke pusar sengketa tiga pihak; pelaku kekerasan atas nama agama, pihak yang menganggap Islam ikut bertanggung jawab atas aksi kekerasan, serta pihak yang berjuang sekuat tenaga menyampaikan pesan bahwa Islam tak ada kaitan langsung maupun tidak langsung dengan aksi tersebut. Pihak terakhir adalah pihak yang paling menderita karena terombang antara dua sisi. Satu sisi, bukti-bukti faktual menunjukkan identitas keislaman dari pelaku terorisme. Dari sisi lainnya, mereka dituntut mampu menjelaskan bahwa Islam tidak memiliki korelasi apapun dan bukanlah motivasi pelaku kekerasan dan terorisme.

Maraknya perilaku kekerasan ini juga mengindikasikan beratnya pekerjaan rumah para ulama serta sarjana Islam. Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab berat yang harus mereka pikul. Mengingat, sebuah aksi tidak dapat lahir dari ruang hampa dan dengan sendirinya.

Tindakan radikalisme lahir dari pemahaman radikal. Tentu, agresi militer semata tidak akan cukup untuk membasminya. Moncong senapan tak akan mampu memusnahkan aksi radikal sampai ke akar-akarnya. Satu teroris yang ditangkap, masih menyisakan teroris-teroris lain yang siap melakukan aksi. Bahkan, pemahamannya masih tersebar luas. Oleh karena itu, diperlukan upaya deradikalisasi pemahaman agama. Karena biang radikalisme sesungguhnya bukanlah ajaran agama. Melainkan pemahaman yang salah terhadap ajaran suatu agama tertentu. Konsep-konsep agama Islam, semisal jihad, riddah, muamalah dengan non muslim, atau konsep teologis soal muslim dan kafir bukanlah sebuah kesalahan dan masalah inti. Fenomena ini terjadi karena—meminjam ungkapan salah seorang darwis sufi—nassun shohīh wa fahmun khōti’ li nassin shohīh.

Salah satu upaya untuk meredam radikalisme dan mencegah kebangkitan pemikiran neo-Khawarij adalah menguatkan basis pemahaman dan pemikiran moderat (washatiyah) Islam. Moderasi sejauh ini dipercaya sebagai obat penangkal munculnya radikalisme dalam agama. Lembaga-lembaga keagamaan, seperti al-Azhar secara gencar dan konsisten mengajak ke arah moderasi Islam sebagai langkah membatasi ruang radikalisme dari dalam. Konsep ini lahir dan mengakar kuat dalam teks-teks agama. Ia adalah spirit keagamaan sekaligus karakter utama yang semestinya melekat pada seorang muslim. Pesan moderasi harus lantang disuarakan untuk mengenyahkan pemikiran radikal yang menyeret agama sebagai justifikasinya.

Imam al-Baidhawi ketika  menafsirkan Q.S al Baqarah ayat 143, menjelaskan akar kata wastahiyah yang memiliki 3 makna, kebaikan (al-khairiyah), keadilan (al-‘adl), dan sikap terpuji nan pantas di antara dua hal yang buruk. Seperti halnya sifat berani yang terletak antara nekat dan gentar, bersahaja yang terletak antara boros dan pelit. Menahan diri pada waktunya dan maju bergerak pada waktunya adalah washatiyah. Tidak bakhil dan tidak boros adalah washatiyah. Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa keseimbangan adalah kata kunci utama washatiyah.

Secara umum, ada beberapa aspek untuk menjabarkan sekaligus mewujudkan moderasi yang dimaksud. Pertama, memahami bahwa setiap individu muslim hidup antara 2 spektrum; sebagai manusia dan muslim. Sebagai seorang muslim, umat Islam berkewajiban menjalankan ajaran agama mereka. Sebagai manusia, umat Islam berkewajiban berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan universal dalam berinteraksi dengan manusia lain sebagai sesama makhluk Allah SWT. Keseimbangan dalam dua hal ini akan melahirkan muslim-muslim yang taat kepada tuhannya tanpa kehilangan toleransi antar sesama manusia; muslim yang teguh sekaligus terbuka. Sebab, perjalanan menuju kesejatian dalam beragama tak bisa mengabaikan dua hal tersebut; memahami Allah dari apa yang disyari’atkan, dan memahami Allah dari apa diciptakan (al-fiqhu ‘anillāh fī mā syaro’a, Wa al-fiqhu ‘anillāh fī mā khalaqa). Yang pertama bersumber dari wahyu tertulis (al-Qur’an dan Hadits). Sedangkan yang kedua dari kehidupan dan alam semesta. Dengan menyadari hal ini, muslim moderat akan terbiasa dengan term-term toleransi (tasāmuh), persamaan hak (al musāwāh), serta hak dan kewajiban yang lahir dari kesepakatan antar manusia secara regional, nasional, bahkan internasional.

Kedua, washatiyah sejatinya menuntut penyatuan zahir dan bathin, antara pekerjaan tubuh dan pekerjaan hati, antara syari’ah dan maqasid syari’ah juga antara Islam dan Ihsan. Tidak terkungkung pada harfiah, juga tidak terjebak dalam labirin pencarian hakikat di belakang teks. Jika menilik khazanah keilmuan klasik, kita akan menemukan senarai panjang perihal diskursus zahir dan bathin ini. Ada pihak yang kukuh dengan pendekatan tekstualis tanpa memperdulikan spirit dan tujuan sebuah teks agama. Ada pula pihak yang menyelam terlalu dalam untuk mencari hakikat, sehingga tenggelam dan melupakan yang zahir. Hal ini menyebabkan dimensi ittibā’ dalam praktek keagamaan menjadi terabaikan. Indikasi dari dua kecenderungan ini terekam jelas di pelbagai disiplin keilmuan Islam, seperti teologi, tafsir dan fikih.

Ketiga, perbedaan adalah sunnatullah. Al-ta’addud dan al-tanawwu’ dalam segala aspeknya merupakan kehendak Allah SWT. Baik itu perbedaan agama, maupun perbedaan dalam agama Islam sendiri. Pemahaman yang utuh terhadap qada’ dan qadar  bukan  berarti menihilkan suatu perkara. Akan tetapi justru sebagai pegangan untuk meletakkan perkara pada porsinya masing-masing. Di dalam kajian ilmu tauhid, misalnya. Kita akan menemukan term kafir tidak disematkan kepada seseorang kecuali dengan mengingkari apa yang membuatnya masuk ke dalam keimanan. Sehingga, persoalan kafir ini murni persoalan teologis; pengadilannya di akhirat, hakimnya adalah Ia yang Maha Adil. Sedangkan di dunia, pola interaksi muslim-non muslim dijabarkan oleh perangkat syari’at terkait. Bahkan, penerapan konsekuensi daripada istilah dār al-harb dan dār al-Islām mulai tidak relevan lagi. Hal ini didasarkan pada hadirnya kesepakatan bilateral dan multilateral antar negara. Pun, di negara yang mayoritas non muslim, pemeluk agama Islam bisa leluasa menjalankan agamanya.

Contoh lain, dalam kajian fikih perbandingan. Para dosen al-Azhar berulang kali menegaskan konsep berpikir yang harus dipegang oleh mahasiswa adalah al-intimā’ kepada manhaj, bukan kepada suatu mazhab tertentu. Melalui konsep berfikir ini diharapkan muncul sikap moderat dalam mengkaji literatur klasik. Tidak taqdīs, tidak juga tabkhīs.  Warisan ulama terdahulu (turats) tidak disucikan dan disejajarkan dengan wahyu, tidak pula diremehkan sebagai produk masa lalu yang tak relevan. Turats memiliki keterbatasan manusiawi, namun juga mengandung pendaran hidayah ilahi.   Singkat kata, moderasi harus diaplikasikan dalam setiap tingkah laku kita.

 

           

Posting Komentar

0 Komentar