Dari
sekian panjang penjelasan ustazah Wayan Faradisa,Lc pada kajian dipertemuan ke
4 kemaren, ada beberapa hal yang kami anggap menarik untuk diketahui. Pokok
pembahasan pertama ialah tentang hukumnya seorang wanita menjadi khotib
sekaligus imam shalat jumat dalam pandangan syariat. Bicara tentang shalat,
ialah ibadah yang yang disyari’atkan oleh Allah Swt dengan tata cara
pelaksanaannya. Dengan itu Allah menjadikan adanya syarat sah dalam
pelaksanaannya, selain itu Allah juga menjadikan imam shalat ialah laki-laki
sebagai syarat sah dalam shalat jama’ah, tapi dalam perkara ini, bukan sama
sekali kekurangan dari seorang perempuan dalam beribadah kepada Allah Swt.
Setiap muslimin sepakat untuk menghormati
seorang perempuan, mereka juga menyepakati bahwa pelarangan perempuan menjadi
imam shalat ini termasuk dalam bab pemuliaan bukan dari bab penghinaan atau
pengurangan dari segi derajat mereka. Perkara-perkara islam yang dicantumkan
memiliki tujuan masing-masing, diantaranya ialah memerintahkan kepada perempuan
untuk berdiri dibelakang barisan laki-laki, karena dengan sujud maka shalat
seseorang sudah terhitung sempurna, seperti yang diibaratkan oleh orang arab :
(( sungguh kamu diakhirkan dengan tujuan agar kamu didepankan (ditinggikan)
derajatnya )). Dengan memerintahkan wanita berada di barisan belakang, bukan
berarti itu tandanya direndahkan, bahkan sebaliknya, yaitu untuk meninggikan
derajat mereka, menjaga adab, menjaga rasa malu, dan saling membantu antara
laki-laki dan perempuan dalam shalat untuk menjaga pandangan mereka.
Pada zaman sekarang, kita bisa melihat bahwa muslimin
di belahan dunia timur atau barat dan yang sekarang maupun yang lampau, sudah
bersepakat dengan tidak memperbolehkan seorang perempuan untuk mengumandangkan
adzan, begitupun tidak menjadikannya imam shalat jama’ah yang dimana disitu
terdapat laki-laki, dan tidak memperbolehkannya mengimami shalat jumat.
Hikmah untuk permasalahan imam shalat ini
ialah mengikuti perintah islam yang bertujuan untuk memberikan kehormatan
kepada perempuan, menundukkan pandangan diantara mereka, dan perintah untuk
menutup aurat, karena aurat seorang perempuan ialah seluruh badannya kecuali
wajah dan telapak tangan, untuk itu hendaknya seluruh perempuan berdiri
dibelakang barisan laki-lak, dengan tujuan menjaga aurat dan kehormatan mereka
sendiri.
Kemudian
selama 14 abad berlalu, kaum muslimin belum ada terlihat bahwasanya seorang
wanita berkhutbah jumat. Dengan begitu, yang hanya berkhutbah pada shalat jumat
hanyalah laki-laki.
Pokok pembahasan selanjutnya ialah hukum
seorang wanita yang pergi shalat teraweh ke masjid dan untuk shalat-shalat
lainnya. Seorang perempuan melakukan shalat teraweh sebagaimana yang ia
kehendaki, jika ia menghendaki untuk shalat teraweh dirumahnya, maka ia lakukan
saja, tetapi jika ia ingin pergi kemasjid untuk melakukan shalat ini, hingga ia
bisa saling bantu-membantu dengan saudaranya, maka ini juga tak apa.
Pelajarannya disini bukan karena tempat pelaksaan shalatnya, akan tetapi dimana
ia bisa menemukan kesejukan hatinya dan mendapatkan kekhusyu’an dalam
bermunajat kepada Rabbnya, sama saja ia mau dirumah ataupun masjid. Kemudian
Imam Syafi’I telah menyamakan pahala shalat perempuan dirumah maupun di masjid.
Adapun Rasul Saw. Besabda : “shalatmu dirumahmu lebih baik” , maka sumber dari dalil ini yaitu afdhalnya seorang wanita tertutup yaitu dirumah, adapun jika seorang perempuan keluar untuk membeli yang ia butuhkan, dibolehkan begitupun jika ia keluar untuk ke masjid, dan laki-laki tidak boleh melarangnya.
Selanjutnya pokok pembahasan selanjutnya ialah
mana lebih afdhal untuk seorang wanita melaksanakan shalat isya’ dan teraweh
pada bulan ramadhan dirumah atau dimasjid. Datanglah hadsit-hadist yang
memberikan hak kepada seorang perempuan ketika shalat dimasjid (bahwa ia
berdiri di belakang laki-laki) sama saja entah shalat itu dibulan ramadhan
ataupun dibulan yang lain, Rasulullah bersabda : “ janganlah kalian larang
perempuan-perempuan itu untuk ke masjid”.
Berdasarkan dalil ini diperbolehkan bagi
seorang perempuan pergi ke mesjid untuk melaksanakan shalat teraweh,
mendengarkan al qur’an, dan mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Mungkin saja itu
lebih afdhal pada zaman kita sekarang ini, karena sekarang afdhalnya
perempuan-perempuan itu mempelajari ilmu fiqh dan ilmu-ilmu islam yang lainnya
kepada ahlinya. Tetapi kita harus mengetahui juga bahwa berangkatnya ia menuju
masjid lebih baik jika ketiadaan perempuan ini dirumahnya tidak berpengaruh
kepada rumahnya, keluarganya, dan hak-haknya kepada suaminya. Dalam artian ia
telah memenuhi seluruh hak rumah tangganya terlebih dahulu sebelum ia pergi ke
masjid untuk melaksanakan shalat. Selain itu, apabila ia ke masjid itu dalam
keadaan aman, tidak menjadikannya susah ataupun fitnah bagi dirinya, ia juga
menggunakan pakaian yang disyari’atkan, dan memenuhi hak-hak masjid;
merendahkan suara, ikhlas dalam ibadah, terjauh dari ghibah dan berita bohong,
dan tidak menyulitkan orang lain. Maka jika sifat-sifat ini TIDAK ada pada diri
seorang perempuan, maka afdhalnya ia shalat dirumah saja.
Dan pembahasan pokok yang terakhir ialah hukum
shalat seorang perempuan di masjid dengan adanya desak-desakan dan
kemungkinannya ada percampuran antara laki-laki dan perempuan, apalagi
khususnya ketika berwudhu’ melalui jalanan yang sempit menuju ke kamar mandi.
Allah telah mewajibkan shalat kepada para mukallaf dengan mengikuti rasulullah.
Sayyidah ummul mukminin berkata : “apabila Rasulullah mengetahui apa yang
terjadi kepada perempuan, maka pasti Rasulullah melarang mereka untuk pergi ke
masjid”. Dengan dalil tersebut, memperjelas kepada kita bahwa shalat perempuan
dirumah nya lebih baik dirumahnya apalagi melihat ke zaman sekarang yang
fitnahnya seperti gelombang ombak laut, dengan begitu shalatnya dimasjid tidak
diperbolehkan kecuali dalam keadaan sempit, seperti ketika ia sedang bepergian
kemudian ia mendapatkan waktu shalat dan tidak ada tempat selain masjid untuk
melaksanakannya.
Mengenai pertanyaannya, apabila shalatnya
perempuan dimasjid menyebabkan adanya kerusakan dengan percampuran atau
berdesak-desakan antara perempuan dan laki-laki ketika keluar dan masuk kamar
mandi atau ditempat whudu’ seperti yang diinginkan dipertanyaan yang mana ia
membutuhkan sebuah fatwa, maka jawabannya ialah tidak diperbolehkan kepada
perempuan untuk masuk ke tempat shalat ini, seperti yang didalam qaedah : “ Laa
dharara wa laa dhiraara”, kalau seumpamanya ia memudharatkan, lebih baik tidak.
0 Komentar