![]() |
Waktu itu Senin sore, ketika air hujan turun menetes perlahan di atas genteng. Kupandangi hanya dari balik jendela sambil memainkan ponsel, kucoba amati siosial mediaku yang di sana terlihat seseorang mengirimiku sebuah permintaan pertemanan. Dalam suasana awan yang masih mendung, tidak sengaja kubuka info pertemanan itu sambil memikirkan siapa gerangan yang tiba-tiba mengirimiku permintaan tersebut.
Ketika melihat foto profilnya, aku masih merespon biasa saja. Namun saat melihat tempat ia sekolah, ternyata sekolahnya sama denganku. Rasa penasaran pun mulai tumbuh saat itu. Pelan-pelan kucoba melihat foto-fotonya. Hingga akhirnya salah satu foto, ada yang membuatku tertarik ingin mengetahui lebih lanjut siapa dia? Karena sepertinya nama facebook ini tidak asing bagiku.
Seusai melihat semua informasi facebooknya, tersirat pikiran "tidak ada salahnya untuk mengonfirmasi." Dari sanalah rupanya pertemananku dengannya dimulai. Hingga akhirnya tidak lama kemudian notifikasi ponselku berbunyi, aku melihat ternyata dia baru saja menyukai beberapa status dan fotoku, tapi saat itu pikiranku masih saja bergeming karena tentu bukan hanya dia yang menyukai statusku.
Kucoba untuk menjelajahi beranda, yang tanpa sengaja malah memperlihatkan beberapa dari statusnya rupanya tengah mampir di berandaku. Hal itu berlangsung begitu saja, sampai tanpa sadar membuat aku banyak melihat-lihat postingan darinya, yang dengan sendirinya juga membuat jemariku bergerak menekan tombol suka pada statusnya, meski hanya sedikit.
Setelah beberapa saat kemudian, rupanya notifikasi dari ponselku terus saja berbunyi. Lagi, lagi dan lagi. Segera kuperhatikan ternyata notif tersebut datang dari dia, sosok yang baru saja kuterima pertemanannya di sosial media itu. Dengan sedikit nekad aku memberanikan diri untuk memulai percakan lewat pesan.
"Thnks for like" Itulah kata pertama yang coba kusampaikan. Lalu dia pun ikut membalas
"Iya kak, sama-sama" kalimatnya berhenti, sambil diikuti dengan sedikit emotikon di belakangnya.
Dengan sedikit curiga, kucoba amati dari perbincangan singkat tadi dia memanggilku dengan sebutan "Kak", yang sepertinya memberi tanda kalau ia adalah adik kelasku. Tentu saja rasa penasaranku pun kian muncul, melihat kondisi ini juga baru petama kurasakan. Setelah mendapat petunjuk dari pesan tadi bahwa ia adalah adik kelasku, kini pikiranku mulai bertanya “Seperti apa orangnya?”
***
Proses perkenalan sore itu terus berlanjut dengan ditemani barisan pesan singkat darinya. Keseruan berbalas pesan dengan teman satu sekolah yang juga merupakan adik kelasku, agaknya cukup membuat pengalaman pertamaku ini berkesan. Meski sudah 3 tahun berbarengan di sekolah yang sama, nampaknya dia cukup asyik dalam berbicara, "Ternyata seru juga chat sama dia" Gumamku dalam hati. Sampai tidak kusadari sore pun mulai beralih menuju malam. Chattingan itu pun terus berlanjut hingga larut malam, dengan tanpa melewati sedikit pun kewajibanku pada hal-hal yang lain. Kami semakin asyik berkirim pesan, membahas hal ini dan itu sambil diiringi sedikit tawa yang membuat suasana menjadi semakin menyenangkan.
Hari esok pun tiba, sampai di sekolah aku benar-benar sangat penasaran dengan adik kelasku itu, “Dimana dia?” Batinku mulai bertanya. Suasana kelas yang biasanya ramai kini terasa monoton, semenjak kehadiran dia. siampai akhirnya adzan dzuhur berkumandang, --waktu dimana para siswa diperkenankan untuk pergi menuju masjid— aku mulai bergegas menuju tempat sholat yang ada di dalam sekolahku itu. Sambil berjalan, aku melihat hujan deras di luar telah membasahi seluruh bagian sekolah, yang juga seketika membangkitkan ingatanku tentang awal perjumpaanku dengan adik kelas tersebut yang baru kemarin sore kukenal. Hingga tidak kusangka ingatan itu membuatku senyum-senyum sendiri tidak karuan. Haduh.
Hujan pun mulai sedikit reda, ketika aku selesai menunaikan sholat dzuhur di masjid sekolah. Aku dan teman-teman akhirnya lekas menuju kelas, namun di situlah kali pertama agaknya aku bertemu dengan adik kelasku itu. Di depan laboratorium komputer dia senyum kepadaku namun aku tidak membalas senyuman itu karena aku ragu yang sedang kutemui itu dia atau bukan.
Setelah pukul 14.15 siang bel sekolah berbunyi, menandakan telah usai semua mata pelajaran hari itu. Tanpa pikir panjang aku bergegas menuju gerbang sekolah, tempat dimana aku biasa dijemput oleh ayah. Selama di jalan, bayangan tentang sosok yang kujumpai di depan lab komputer tadi melayang di pikiranku, sambil ketika itu juga menyisakan pertanyaan, Siapa dia?, Mengapa dia tersenyum padaku? dan “pakah dia mengenalku? Sampai tidak karuan kiranya ragam pertanyaan yang bertengger di pikiranku.
Sesampai di rumah, semua pertanyaan yang bergelayut di pikiranku perlahan kucoba pecahkan. Satu demi satu teman-teman kutanyakan, apakah dia mengenal sosok yang berdiri di depan lab komputer tadi. Namun hasilnya nihil, hingga saking penasarannya tidak segan-segan aku juga bertanya pada adik kelas yang baru kukenal itu. Dan disanalah kali selanjutnya aku berbalas pesan dengannya. Dengan sedikit tarikan nafas, aku mencoba menenangkan diri, agar tidak terlihat terlalu malu ataupun agresif.
"Assalamualaikum, Dek. Maaf sebelumnya mau tanya, itu kamu tadi ya yang senyum di depan lab?" Tanyaku dengan penuh penasaran.
Namun tak kusangka, dia ternyata baru aktif di facebook beberapa jam yang lalu. Sontak itu membuatku sedikit kesal bercampur malu. Kesal karena aku baru sadar, tindakanku ini terlalu terburu-buru hingga tidak melihat di online atau tidak. Dan malu, karena lagi-lagi di sini, aku yang memulai perbincangan duluan. Hadeuh. Hilang rasanya harga diri ke-perempuan-anku.
Namun setelah kucoba rileks sejenak, terlintas di benakku "Ah, mungkin nanti dia akan membalas, karena aku kan sudah mengirimi pesan duluan". Begitulah kira-kira gumamku, berusaha menghapus kekeliruan tadi.
Hingga bunyi azan maghrib tiba, dan benar saja pas sekali ponselku langsung berbunyi, "tlinggggg". Dengan sedikit cuek, aku berusaha mengabaikannya sejenak –sebagai bentuk pejagaan harga diriku yang tadi, karena terlanjur kebablasan menurutku—. Juga karena mungkin itu bunyi notif aplikasi lain atau apalah semacamnya yang aku pikirkan.
Setelah puas dengan sikap cuekku tadi, akhirnya aku memberanikan diri melihat jam yang nampaknya telah menunjukan pukul 20.12. malam. Aku pun beranjak mengambil ponsel dari kasurku dan lansung membuka notifikasi dari facebook yang sedari tadi kubiarkan. Ternyata tepat dugaanku sebelumnya, dia telah membalas pesanku. Yes!
"Waalaikummussalam. Iya, Kak. Itu tadi adek yang senyum sama kakak, tapi kaka cuek aja gak senyum balik" Itulah bunyi balasannya kepadaku. Yang seketika membuat sirna semua beragam pertanyaan yang menghantuiku dari tadi.
"Maaf ya, Dek. Kakak sebenarnya bukan cuek, cuman ragu aja tadi itu kamu apa bukan. Tapi, eh ternyata kamu ya hahaha..” Balasku setelah mendengar penjelasan darinya, sambil kulanjutkan dengan sedikit memberi alasan, “Dan maaf juga ya, kakak bingung mau ngapain barusan, soalnya kakak kurang kenal sama adik kelas jadinya kakak gak tau.Tapi, kok kayaknya nama kamu di sekolah tidak asing ya kedengarannya?". Ungkapku, dengan sedikit diakhiri sebuah pertanyaan.
"Iya, Kak. Gak papa, maaf juga Vian baru bales pesan kakak soalnya adek latihan hadroh tadi di sekolahan". Balasnya dengan sedikit tawa kecil, yang mengisyaratkan rasa bersalah karena telat membalas pesan. Namun setelah mendengar alasannya yang sedang berlatih hadroh tersebut, pikiranku seketika tersentak kaget teringat nama Vian yang juga merupakan anak hadroh dan banyak dielu-elukan oleh banyak siswa-siswi di sekolahan karena suaranya yang amat merdu.
Aku pun mulai gelagapan, bingung harus berekspresi seperti apa. Antara gembira atau cemas, karena telah terlanjur dekat dengan dia, si anak yang keliatannya sangat populer di sekolahan. Aku nyaris menduga-duga kiranya akan berapa banyak kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Namun cepat-cepat kusingkirkan semua kecemasan itu sambil memikirkan sisi lain yang ada sambil bergumam, "Oohh.. ternyata dia ya orangnya, dia ini yang diomongin banyak orang itu, dan juga disukai banyak orang. Gak heran sih sebenarnya, kalo dia sepopuler itu di sekolah, karena dia kan baik, ramah dan manis lagi". khayalku membayangkan dia yang ternyata sepopuler itu di sekolahan.
Tidak terasa kedekatan kami itupun terus berlanjut, sampai pada akhirnya banyak orang yang mencurigai kedekatan antara aku dan Vian. Banyak orang mulai menduga, bahwa aku memiliki sebuah hubungan (pacaran) dengannya, yang nyatanya sejauh ini semuanya masih tidak benar. Selama ini aku tetap menganggapnya sebagai adik, belum lebih. Dan dia pun sebaliknya, aku menduga dia juga masih menganggapku adalah seorang kakak baginya.
Menanggapi kondisiku yang kesal lantaran banyak gosip yang kian beredar itu, nampaknya di sisi lain Vian terus menenangkanku sambil berkata "udahlah kak biarin aja, semua orang ngomongin kita, kalo itu gak bener ya kenapa harus takut?. Hehe". sahutnya menanggapi desas-desus di sekolahan
Dari situ aku tahu dia sangat tenang, dan dari ketenangan itulah yang membuatku nyaman sekali bersamanya. Sampai akhirnya hari demi hari kami lalui. Hingga suatu malam, lewat telfon dia mengungkapkan perasaannya kepadaku, bahwa ternyata selama ini ia telah lama memendam rasa. Tepatnya ketika dia masih duduk di kelas satu SMA, semenjak itu dia mengatakan terus mencari tahu tentang aku sampai kelas dua SMA dan akhirnya dia sangat senang sekali ketika tahu aku mengonfirmasinya di facebook.
Mendengar pengakuannya itu, tanpa sadar membuatku luluh seketika. Perasaanku yang dulu menganggapnya sebatas adik, kini bercampur aduk. Mungkin karena dialah satu-satunya adik kelas laki-laki pertama yang pernah aku kenal di sekolahan. Perasaanku mulai bergejolak tidak menentu, ingin rasanya aku menerima tapi terhalang oleh sesuatu. Bibirku tercekat, kelu diam membisu berusaha mencari jawaban terbaik untuknya. Hingga akhirnya malam itu, aku menimbang untuk tidak bisa menerimanya dulu.
"Maaf, Dek. Kakak gak bisa terima kamu." tuturku.
"Kenapa, Kak? Apa adek pernah salah? Buat kakak gamau nerima adek?" Jawabnya bertanya-tanya.
"Bukan gitu maksudnya" jawabku menimpali.
"Terus apa kak? Apa yang membuat kakak gak bisa terima perasaan adek?" Sekali lagi dia terus mencecarku dengan pertanyaan.
Rupanya dia mulai tampak kecewa, perasaanku jadi tidak enak dan kasihan mendengarnya. Aku akhirnya mencoba cara lain, "Kakak gak mau kamu menyatakannya hanya lewat telfon saja, tapi kalo emang berani secara langsung caranya. Berani enggak? Spontan saja jawaban itu keluar dari mulutku, sambil diiringi sedikit tawa.
"Oke, Kak. Siapa takut. Besok adek nyatain lansung depan kakak ya" Terdengar ia menjawabnya dengan tegas tanpa ragu.
Aku pun akhirnya menutup telefon dan hanya bisa tersenyum setelah mendengar dia mengatakan itu semua, aku tidak menyangka sedalam itu perasaanya padaku. Hingga akhirnya aku tertidur pulas dalam lamunan masih membayangkannya.
Senin tanggal empat Desember. Hari inilah adalah hari dimana dia akan mengungkapkan perasaannya secara lansung di hadapanku, sesuai ucapannya semalam. Tidak banyak yang tahu tentang hal ini, perasaan yang dulu coba kutepis ketika banyak gosip menghampiri masa awal kedekatan kita, dengan selalu saja menyebutnya sebatas adik, kini mulai berbelok ke arah yang tidak aku kira. Ya, dia sekarang ingin aku menunggunya di tempat ini, tempat dimana dia akan berkata jujur padaku tentang perasaannya. Perlahan aku menunggunya, hingga berjam-jam namun tetap saja tidak terlihat batang hidungnya, setelah sekian jam aku menunggu. Walhasil, aku memutuskan untuk pulang meninggalkan tempat itu, dengan perasaan kecewa.
Tidak banyak pengharapan di hari itu, meskipun setelah seharian dia juga tidak pernah memberi kabar sedikit pun padaku. Rasa kecewa itu perlahan berbaur dengan perasaan jengkel dan kesal, lantaran dia mulai berbohong dan abai padaku. Beberapa hari setelah kejadian itu, kucoba menenangkan diri sambil berusaha mencari tahu kenapa dia tidak datang. Padahal sewajarnya, itu akan menjadi hari spesial kita jika ia datang. Tapi nyatanya tidak, dia malah memilih tidak hadir tanpa kabar. Firasatku mulai curiga, “Ada apa dengannya?”
Tanpa berpikir panjang, aku pun mulai mencarinya di sekolahan. Setiap kelas kukunjungi, demi menanyai keberadaanya. Sampai akhirnya, beberapa orang temannya menjawab kalau dia beberapa hari ini sedang sakit sehingga tidak masuk kelas.
Saat itu, pikiranku jadi makin tidak karuan. perkiraan yang awalnya menganggap dia abai dan berbohong padaku kini mulai termaafkan dengan alasan sakit dari teman-temannya tersebut. Namun sayangnya, kini pikiranku mengarah pada kata “sakit” yang baru saja kudengar, “Sedang sakit apa dia sehingga berhari-hari seperti ini?” gumamku dalam hati. Pikiranku mendadak gusar, cemas dan khawatir saat itu juga.
***
Hari demi hari pun kulewati, sambil pikiranku terus menyisakan tanda tanya besar yang belum terjawab. Informasi seputar sakit yang dideritanya belum terjawab. Beberapa guru yang sedikit tahu tentang kondisinya, hanya bisa menjawab kalau memang beberapa hari ini dia sedang sakit, tanpa penjelasan lengkap yang memadai. Sialnya sekali lagi, kini pertaanyan demi pertanyaan makin ramai mengahantui pikiranku. Ketidakpuasanku dengan semua jawaban yang kudengar, malah makin membuat pertanyaan di pikiranku kian liar. Aku tidak terbiasa dengan ini, pikiranku kacau, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menumpahkannya dalam tangisanku ketika sepi dan berdoa. Kulantunkan doa terbaik untuknya, agar dia baik-baik saja dimanapun dia berada. Semoga suatu saat nanti aku bisa kembali melihatnya, dengan perasaan senang dan gembira. Benar saja, malamnya ia pun mampir dalam mimpiku sambil tersenyum manis menjauh dariku. Ingin kubertanya dia kini dimana, namun aku terlanjur bangun oleh alarmku yang sudah nyaring berbunyi.
Akhirnya di sekolah, aku seperti orang tidak sadarkan diri. Banyak melamun memikirkan dia, sambil mencoba menafsirkan arti mimpiku semalam. Hingga suatu saat ketika di dalam kelas, seorang teman membuyarkan lamunanku sambil memanggil. Dia mengatakan, kalau ada titipan dari wali murid untukku. Sontak saja dengan Perasaan heran —karena belum pernah ada seseorang yang menitipkan sesuatu padaku— aku pun beranjak menemuinya. Kutatapi mereka dengan perasaan bingung, tapi mereka malah memandangiku dengan mata sembapnya sambil mengatakan, “Ini, Nak. ada titipan dari anak kami Vian. permintaan terakhirnya sebelum meninggalkan kita semalam”.
Oleh: Intan Madania
0 Komentar