Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Menjaga Kehujahan Sunah Hanya dengan 10 Menit; Kok bisa?

Sumber: google.com

Sunah memiliki tempat yang sangat penting dalam pensyari'atan hukum islam.  Dia menempati ruang kedua setelah Alqur'an Alkarim, dan pada sebagian permasalah, sunah memiliki otoritas dalam menentukan hukum sendiri (Istiqlal fi al hukm).

Dari zaman Rasulullah saw.  sampai saat ini, sunah telah melewati berbagai fase,  mulai dari pelarangan dalam penulisan (Nahyu 'an al Kitabah),  kemudian mendapatkan legitimasi (al Idzn bi al Kitabah), lalu dikumpulkan secara perorangan (Ta’lif), dan di kodifikasi (Tadwin).

Juhud (semangat) yang dikorbankan para sahabat,  tabiin serta ulama yang datang setelah mereka dalam menjaga sunnah merupakan wasilah yang telah didesain oleh Tuhan, karena itu merupakan janji-Nya sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Alqur'an.

Dalam perjalannya sehingga sampai pada masa sekarang ini (dan masih berlanjut),  sunah tidak melulu melewati jalan yang lurus nun mulus.  Hantaman,  Tasykik, dan Syubhat,  semua telah dilalui, tetapi dengan memegang jaminan dari Tuhan melalui wasilah para pewaris Nabi tersebut ,  dia tetap kokoh berdiri. 

Begitu pun dalam pensyari'atan hukum islam, sampai saat ini, kehujahan sunah sering dipertanyakan. Bukan hanya dari kaum orientalis yang terkenal sangat getol dalam hal ini,  tetapi juga dari Abna' al Muslimin (Orang-orang Islam) sendiri. Mereka membenturkan satu hadis dengan hadis yang lain, seolah-olah terdapat makna yang bersinggungan. Mereka tidak mau memandang kepada sunah dalam berhukum,  karena mereka menganggap keotentikan sunah sudah tidak murni lagi. Mereka hanya mencukupkan diri dengan Alqur'an, kemudian berdalil dengan satu atau dua ayat,  tanpa memperhatikan  metode-metode yang telah ditetapkan oleh ulama dalam permasalahan ikhtilaf al dzahir, lalu sampai kepada kesimpulan  bahwa yang bisa dipakai berhujah adalah Alqur'an saja (Qur'aniyun). 

Dari persoalan di atas,  lalu bagaimana cara kita mengatasi hal semacam ini?
Difa' 'an al Sunah (Membela Sunah)  hukumnya wajib bagi setiap umat Islam.  Namun kewajiban tersebut harus didasari oleh kemampuan yang mumpuni.  Sehingga,  pembelaan yang dilancarkan tidak setengah matang yang malah akan berakibat fatal bagi kehujahan sunnah itu sendiri.
Prof. Ahmad Ma'bed Abdul Karim
Sumber: google.com

Prof.  Ahmad Ma'bed,  sang Maestro dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis Univ.  Al Azhar dalam seminarnya yang bertajuk “Hujiah al Sunah” baru-baru ini mengungkapkan keperihatinan beliau terhadap hal tersebut. Di sana Beliau membebeberkan sebab munculnya berbagai macam syubhat serta  cara dalam mengatasinya. Beliau menyebutkan bahwa peran umat Islam dalam menangkal semua syubhat yang diarahkan kepada sunah sangatlah penting. Kalau sekiranya masing-masing di antara umat Islam mau meluangkan waktunya 10 menit saja untuk membaca sunah (Itthila' al Mubasyir) di setiap harinya, syubhat-syubhat semacam ini tidak akan pernah ada artinya.

Pada seminar selanjutnya, yang dilaksanakan oleh al Azhar al Syarif, beliau menguatkan lagi hal ini, beliau berkata: “Saya tidak meminta 24 jam dari waktu kalian dalam sehari semalam itu semuanya,  tetapi saya hanya meminta 10 menit saja di setiap harinya, yaitu sebelum kalian tidur".

Kemudian beliau melanjutkan "kalau sekiranya kalian mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan kalian,  kalian tidak akan menemukan tempat bagi para musuh-musuh Islam yang ingin merongrong keotentikan sunah itu".

Apa yang beliau sampaikan ini bukan hanya isapan jempol belaka, melainkan sudah melalui tajribah (percobaan) selama puluhan tahun yang beliau lakukan sendiri.

Berkenaan dengan bacaan Yaumian (Harian) itu, seorang dari hadirin bertanya, manakah kitab yang direkomendasikan oleh Syeikh untuk dibaca di setiap harinya sebagai pemula?
Syeikh merekomendasikan tiga judul kitab, yaitu:
1. Al Arba'un Al Nawawiyah,  karangan Imama Nawawi.  Karna mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai permasalahan keislaman.
2. Umdah al Ahkam, karangan Syeikh Abdul Ghani al Maqdisi. Karna kitab ini mengumpulkan hadis-hadis sahih yang  disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
3. Jaami’ al Ushul, karangan Ibnu Katsir.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Ahmad Ma’bed,  Syeikh Abdullah Izzuddin dalam banyak muhadharahnya sering menjelaskan hal ini.  Beliau menceritakan kisah yang beliau langsung dengar dari sang Maha Guru (Syeikh Musthafa Abu Sulaiman al Nadwi)  ketika ditanya tentang bagaimana melawan para pelempar syubhat terhadap kesucian sunah Rasulullah,  beliau menjawab: "Jangan sibukkan diri kalian  untuk membalas mereka,  karena itu semua hanya akan menimbulkan jidal yang tak berujung dan  tidak akan memberikan kepuasan terhadap kedua belah pihak, bahkan akan membuat syubhat itu tumbuh subur dan berkembang. Cukuplah kalian jaga sunah dengan Ihya' al Sunah (Menghidupkamnya)."

Ihya' al sunah di sini dapat dimaknai dengan membaca dan  memperkenalkan sunah kepada masyarakat tanpa menyinggung pihak yang membuat syubhat tersebut,  kemudian mengaplikasikan sunah dalam setiap hembusan nafas. Wallahu A'lam

(el-Din)

Posting Komentar

0 Komentar