Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Cerita Gokil Week(Year)end BPH KM-NTB ke Alexandria

Salam Wingchun!
Halo semuanya!
Kita Badan Pengurus Harian (BPH) KM-NTB Mesir 2018-2019 mau berbagi pengalaman perjalanan pendek tapi mengesankan ketika tour ke Alexandria kemarin. Sebenarnya perjalanan ke kota ini bagi masisir udah mainstream sih dan gitu-gitu aja alurnya. Tapi karena banyak adek-adek baru yang minta diceritain sepeti Nana, Dila, Titik dan Lola, yo weis lah catatan sederhana  journey kita ini dipost aja. Hehe.
FYI: Perjalanan refreshing eksklusif skuad BPH ini sudah kita rencanakan jauh-jauh hari untuk menyegarkan pikiran sebelum berjibaku dengan ujian termin pertama. Nah, berhubung kita udah resmi tawaqquf usai bergelut dengan berbagai kesibukan, tibalah saat yang tepat untuk mengeksekusi rencana ini. Dengan demikian, secara AD-ART pengurus berhak meninggalkan sekretariat dan mengambil cuti sealakadarnya. Walaupun sebenarnya masih ada beberapa job sih buat Tim Viktif Rapta dan Yudha menerima berkas teman-teman yang ingin memperpanjang izin tinggal, tapi itu nanti kan bisa diatur. Toh juga liburannya sebentar. Hihi.
Pagi itu, Kamis 20 Desember 2019 tiket kereta api mukayyaf sudah kami genggam. Lima kursi sudah terbooking dua hari sebelumnya dari loket Terminal Ramsis dengan harga @45 LE. Di situ tertera jadwal keberangkatan Pukul 9 tepat. Karena kelas bisnis, kereta ini terjamin berangkat on-time, ga peduli berapapun penumpangnya. Beda sama kereta kambing yang biasanya ngetem nunggu sampai penumpang sesak.
Karena musim dingin susah beranjak dari tempat tidur. Setelah berkemas-kemas,  mengantri kamar mandi, lalu tampil rapi kompak mengenakan jaket KM-NTB Mesir satu stel sama jersey BPH, kami baru berangkat dari sekretariat pukul 8.30 WK menaiki mobil angkutan Tramco. Padahal dengan kendaraan itu idealnya perjalanan dari tempat ini ke Ramsis memakan waktu 40 menit. Awalnya, perjalanan lancar-lancar saja. Astohnya sesekali berhenti menaikkan atau menurunkan penumpang. Barulah sesuatu hal yang memicu kencangnya denyut jantung tiba ketika sampai di depan Madinatul Jami'iyyah. Akhir-akhir ini memang kawasan ini selalu menjadi titik kemacetan sejak ditutupnya jalan bawah kubri di Sadis. Kamipun saling bertukar pandangan, saling menyalahkan mengapa ngga naik taksi aja tadi supaya bisa mengambil jalur lain. Terpaksa kami menyogok Astoh dengan uang tambahan agar mengeluarkan laju kecepatan tertinggi dan agar tidak menaikkan penumpang lagi. Benar saja, Astohnya ngebut bagaikan pembalap F-1. Setelah sepanjang perjalanan itu kami senam jantung, was-was tiket akan hangus, kami sampai di halte pkl 9.00.
Tapi itu belum garis finish, terpaksa lari sekencang-kencangnya seperti Klyan Mbappe menembus pusat keramaian kaum manusia, serasa film bolywood yg artisnya ngejar kereta. Di antara yang lari ini ada yang dulu pernah mengikuti turnamen maraton tingkat nasional di Gorontalo, dan lari kami berpatokan pada kecepatannya. Dan akhirnya... bisa duduk di atas qitor dengan dengus nafas yg bertensi tinggi setelah adegan saling kejar-mengejar dengan waktu, melirik jam tangan menunjukkan pukul 9.04 dan tepat saat itu awak kereta menutup pintu gerbong
Ehna Fi Mahattoh Mishr
Kami sampai di Mahattoh Sidi Jabir pukul 11.30, bersiap-siap turun di terminal selanjutnya yang terakhir Mahattoh Mishr. Karena tidak mendapatkan tiket kereta listrik yang akan membawa kami tempat persinggahan pertama, dari terminal, kami mengendarai bus umum dengan tujuan Champ Sezar untuk mampir ke Restoran Mumtaza milik Ustadz Syar'iy, senior KM-NTB yang kini menjadi bos rumah makan sukses dekat pantai. Kami sampai di sana tepat ketika pintu roll diangkat oleh putra pertama beiau bernama Muhammad Asy'ari (11 tahun) yang kala itu sekalian keluar menjemput adiknya Lu'lu' dari sekolah. Mereka berdua sekolah di Ma'had Al-Azhar, tak heran bahasa Arabnya sudah lancar.
Kami disambut Ustadz Syar'iy dengan hangat dan ramah. Meski sudah sukses, sifatnya selalu merendah. Kami dihidangkan makanan yang kalau diceritakan di sini bisa bikin ngiler. Haha. Beliau dan istri menawarkan penginapan di tempatnya, tapi kami harus beranjak karena sebelumnya sudah meng-hagaz homestay di Mandaroh.
Memanfaatkan waktu menunggu bus
Setelah sekenanya cekrek-cekrek foto sembari menunggu angkutan, bus biru yang masih dengan tarif dua pound itu membawa kami sampai akhir syari'. Letak kawasan homestay tak jauh dari Taman Montazah. Setelah mengambil kunci dan taransaksi pembayaran dengan 250 LE permalam (total 500 LE), kami bisa menikmati rumah yang sangat luas untuk orang berlima itu dengan beristirahat di atas kasur yang empuk. Suasana rumahnya nyaman, tanpa kebisingan, di tembok-tembok terpajang foto-foto Masyaikh Alexandria seperti Maulana Syekh Abdussalam Ali Syita dan Maulana Syekh Ala Mustafa Na'imah, perabotan lengkap, tersedia juga bahan-bahan makanan Indonesia dengan sistem pembayaran buffet (recomendeed deh pokonya, hehe).
Usai shalat jama' ta'khir, kami duduk di meja makan untuk menyusun tentatif kilat tempat-tempat yang akan dikunjungi selama tiga hari. Setelah Jama' Taqdim Magrib-Isya perjalanan pertama dimulai. Berjalan menyusuri Jalan Corniche Alexandria yang terbentang sepanjang tepi pantai ujung Alexandria yang bersinggungan dengan Laut Mediterania. Tepatnya kami memilihi Stanley Bridge buat nongkrong, jembatan ikonik dengan panjang 400 m dan lebar 21 m yang dibangun sesuai arsitektur istana kerajaan saat era Raja Fuad I tahun 1930-an.
Sederhana, hanya dengan duduk sambil mengunyah pop-corn, di bawah langit malam kami menikmati keindahan ciptaan Tuhan dan mentadabburi kekuasan-Nya, menatap deburan ombak dan merasakan belaian lembut angin malam. Arsitektur bangunan-bangunan tepi pantai ala Prancis terlihat menakjubkan dengan sapuan lighting dan sudut pandang yang pas sehingga menjadi booming, Eh! Tempat-tempat duduk di bibir pantai berupa bangku tertata rapi. Memang dirancang untuk menjadi sentral rekreasi baik penduduk setempat ataupun turis mancanegara dengan daya pikat pantainya. Baik yang berjalan hilir-mudik maupun yang duduk cukup ramai malam itu.
Di perjalanan pulang, kami melewati pasar dan belanja bahan-bahan makanan setelah menimbang opsi makan di warung atau masak sendiri. Masak sendiri lebih baik untuk berhemat, mumpung di antara kami ada juru masak handal yang sudah menghabiskan seperempat hidupnya di Mesir menjadi koki di berbagai mat'am, apalagi harga bahan baku di sini lebih murah dibanding di Kairo.
Ngerumpi abis makan malam
makan berlima serasa di hotel bintang lima
Hari kedua adalah hari Jum'at. Setelah shalat Subuh berjama'ah di rumah, ada yang muroja'ah hafalan, membaca novel, dan lanjut tidur. Pukul 9.30 kami kumpul di meja makan untuk sarapan dengan sisa masakan tadi malam yang masih banyak. Sebagaimana direncanakan, hari ini kami akan menunaikan shalat Jum'at di tempat berkhutbahnya Sidi Syekh Muhammad Ibrahim Abdul Ba'its Al-Kattani. Masjid Almania Al Syarq namanya. Setelah rapi-rapi, kami keluar rumah pukul 11 tepat, berangkat menggunakan tramco jurusan Manshea. Karena belum pernah ke sana sebelumnya, kami meminta bantuan google maps untuk mengarahkan ke lokasi. Tiga puluh delapan  menit kemudian, kami turun di Windsor Palace Hotel, kemudian melangkah memasuki gang dan sejurus kemudian sampailah di masjid tujuan.
Masjidnya sedang direnovasi. Kami ragu, benarkah beliau akan berkhutbah di sini? Setelah adzan pertama dan sunnah qabliyah, Bilal terpaku menahan adzan keduanya di hadapan mikrofon. Barulah lima belas menit kemudian, sesosok gagah mengenakan jubah kebesaran dengan dibalut musyt ala Saudi dan berimamah kuning keemasan berjalan dengan cepat menaiki satu persatu tangga mimbar. Usianya yang sudah menginjak 70 tahun masih terlihat bugar. Suaranya yang bariton menggetarkan masjid. Khutbahnya hari itu sangat menawan, baik dari segi bahasa maupun substansi dengan mengangkat tema cinta, bagaimana agama Islam ini datang untuk meneberkan cinta dan betapa pentingnya kembali kita hayati dan dengungkan spirit cinta ini di tengah maraknya hembusan-hembusan api permusuhan antar kelompok. Memang tema ini kerap kita dengar, tapi dengan beliau yang menyampaikan, selalu saja ada hal baru yang diambil daripada kehebatannya menalar nash.
Usai shalat Jumat dengan beliau imamnya, para petugas segera menyiapkan kursi, sound sistem dan peralatan kamera. Terlihat di antara yang sibuk itu ada Adnan Abdul Wahab, seorang munsyid terkenal asal Suria yang membaktikan dirinya menjadi khadim bagi Maulana. Setelah membaca istigfar dan dzikir, dars dimulai. Konten darsnya tidak kalah hebat dari khutbah, ilmiah dan lebih tepatnya kalau disampaikan di stadium general di hadapan para mahasiswa di universitas besar. Usai dars kami bisa bertanya beberapa hal kepada beliau dan dijawab dengan ramah. Lalu meminta foto bersama.
Foto bareng Maulana Al-Allamah Syekh Muhammad Ibrahim Abdul Ba'its
Dari masjid itu, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke komplek makam empat auliya yang terkenal di Alexandria yang tak jauh, Sidi Abul Abbas Al-Mursi, Sidi Al-Bushiri, Sidi Yaqut Al-'Arsy dan Sidi Makinuddin.
Usai berziarah dan mengganjal perut di warung depan gerbang masjid dengan menu Ruz Bil Kibdah, rute selanjutnya adalah Benteng Qaitbay, salah satu situs bersejarah yang dibangun oleh Sultan Asyraf Qaitbay (1412 M) seorang raja tangguh dan terkenal Dinasti Mamluk Burjiyah, yang awalnya adalah budak, kemudian setelah dimerdekakan meniti karir sebagai tentara hingga panglima, dan akhirnya berhasil mendapat kekuasaan tertinggi sebagai raja. Benteng berbentuk kubus ini dibangun di Ujung Barat Alexandria untuk menjaga Mesir dari ancaman serangan kerajaan seberang.
Kami hanya nongkrong di sana menikmati angin sepoi sore, untuk memesan minuman teh perlu berpikir dua kali karena harga segelasnya 20 LE. Gila kan? Setelah semburat merah merekah di kaki langit pertanda datangnya senja, kami baru beranjak pulang.
Di rumah, sambil makan malam kami duduk  membahas program-program KM-NTB ke depan, terutama dengan jumlah mahasiswa baru bagaimana agar program-program ini mengarah untuk kebaikan positif buat mereka. Lalu masing-masing kembali ke kesibukannya, ada yang ke kafe untuk nonton pertandingan Liverpool sekaligus mencari tumpangan teathering, ada yang bermain gadget, ada yang mengamalkan wirid hariannya sebelum tidur.
Di hari ketiga, hari terakhir, pagi harinya kami lari pagi menyusuri bahu jalan di atas trotoar. kemudian memasuki salah satu pintu ke pantai. Penjaganya mematok karcis masuk sebesar 15 LE, setelah tawar menawar turun menjadi 10 LE. Di sana disediakan kursi di bawah payung yang terkembang. Sayangnya karena pantainya menghadap Barat, jadi spot sunrisenya ga dapat. Kami pun langsung beraksi mengambil foto-foto, ada yang videocall-an, Yuda sebagai anak Parkour memanfaatkan keberadaan pasir untuk mengeluarkan atraksi salto-saltonya.
Peperangan dua pangeran untuk merebut Putri Cleopatra
Jurus 1000 bayangan
Sepulang ke rumah, kami mengemas barang lalu check-out dari home stay. Destinasi terakhir adalah Taman Montaza, taman impian yang pertama kali didesain atas arahan Khedevi II Abbas Hilmi dengan lahan seluas hektaran. Penataan pohonnya teratur, begitupun bunga-bunganya dengan berbagai macam jenis dan warna. Awalnya dulu taman ini dikhususkan untuk kalangan keluarga raja, barulah pasca revolusi 1952, taman ini dibuka untuk umum dan dikomersilkan sebagai pemasukan negara melalui penjualan tiket. Sekarang harga tiket 20 LE perorang. Di sana juga berdiri megah dengan arsitektur ala Kota Florence Italia Istana Raja Farouk, yang kini kabarnya telah disulap menjadi hotel untuk penginapan tamu-tamu kehormatan negara.
Setelah merasa cukup berkeliling-keliling. Kami beranjak meninggalkan tempat ini ke tempat pertama kali kami singgah kemarin yaitu Restoran Mumtaza. Kami dapati pelanggan ramai memenuhi meja makan. Kini tanpa dibantu karyawan, Ustadz Syar'i dan Istrinya dengan cekatan menakjubkan hanya berdua mengerjakan segala pekerjaan, mulai dari memasak, melayani pelanggan, mengantarkan makanan, cuci piring dan lain-lainnya dengan kegesitan bagai tangan seribu tangan. Meski demikian pelayanannya kepada kami yang menumpang makan gratis ini (hmm) tidak berkurang. Kari ayam lezat dan beraroma menggelitik hidung disajikan untuk para musafir ini sebagai ucapan farewell dan menjadi pengisi perut nanti selama di atas kereta.
Bus biru membawa kami ke Mahattoh Mishr. Dan… Singkat cerita sampailah kami di Kairo pukul 12 malam disambut oleh gerimis hujan.
Bye bye Alexandria! See you next time!












JJS di tepi pantai


Gub dan Wagub


Posting Komentar

1 Komentar

  1. السلام عليكم٠٠٠
    Subhanallohh salam dari santri PSHT CILACAP JATENG

    BalasHapus