![]() |
Syekh Mahmud Syaltut |
Kehadiran Stand Al-Azhar kali ini spesial mengangkat sosok Imam
Akbar Dr. Mahmud Syaltut sebagai figur bintang untuk mengenang kontribusi dan
sumbangsih besar yang telah ia berikan dalam gerakan pembaharuan dan pemajuan
Al-Azhar selama menjabat sebagai pemimpin tertinggi lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia ini.
Perayaan itu berupa
persembahan serba-serbi segala hal yang berkaitan dengan Syekh Syaltut, diantaranya
peluncuran cetakan terbaru kitab “Al-Imam Al-Akbar Mahmud Syaltut.. Al-Faqih
Al-Mushlih Al-Mujaddid” karya Muhammad Rajab Al-Bayyumi, kitab yang
menunjukkan betapa Syekh Syaltut layak ditahbiskan sebagai pemimpin sejati bagi
kaum muslimin selama mengemban tugas menjadi orang nomor satu di Al-Azhar.
Di antara pencapaian-pencapaian penting Syekh Mahmud Syaltut untuk Al-Azhar adalah sebagai berikut:
Di antara pencapaian-pencapaian penting Syekh Mahmud Syaltut untuk Al-Azhar adalah sebagai berikut:
1. Membangun
Relasi Baik dengan Berbagai Negara
Selama kepemimpinannya Syekh
Syaltut gencar melakukan safari-safari ke berbagai negara menyuarakan seruan
persatuan. Tak ayal ia digelari Imam Al-Taqrib.
Atas
prestasi-prestasi yang dicapainya, pemerintah Maroko menganugerahkan kepadanya bintang
kehormatan Al-‘Arsy pada tahun 1960. Menyusul penganugerahan bintang-bintang
kehormatan lainnya dari Raja Malik Muhammad Tohir Syah Raja Afganistan, dari
Ibrahim Aboud Presiden Sudan dan penghargaan dari Republik Kamerun. Selain itu dia juga dianugerahkan
beberapa gelar doktor Honoris Causa dari universitas-universitas di Indonesia, Cili dan
Kamerun.
Dengan
karisma dan akhlak mulia yang dimilikinya, Syekh Syaltut mendapatkan penghormatan tinggi dari
pembesar-pembesar negara. Terlihat dari sambutan Presiden Filipina -misalnya- yang
mengkhususkan pesawat kepresidenan untuk memfasilitasi transportasi beliau selama
kunjungannya ke negara tersebut. Demikian juga Ahmad Bin Bila Presiden Jazair
yang menjenguknya saat sakit. Juga kunjungan Abdussalam Arif Presiden Irak ke kediamannya.
2. Di antara
kebijakan strategisnya juga adalah menginstruksikan penggalakan kursus bahasa asing di
Al-Azhar dan mendelegasikan pelajar yang cakap berbahasa asing sebagai
duta-duta Al-Azhar ke berbagai negara, terutama negara-negara Barat.
3. Membangun Majma’
Al-Buhuts Al-Islamiyyah sebagai pusat riset kaum intelektual Al-Azhar yang
hingga kini kian nyata dan eksis perannya membincangkan isu-isu krusial di dunia Islam.
4. Pertama kali pada masanya Al-Azhar membuka
kampus putri untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada kaum wanita
mengecap pendidikan tinggi.
Kejutan berikutnya dari
stand Al-Azhar ini yaitu penayangan film dokumenter
yang mengompilasikan jejak perjalanan hidup Syekh Syaltut yang telah jauh-jauh hari disiapkan panitia, khususnya tentang perjalanan
ilmiah dan jasa-jasanya hingga diperhitungkan sebagai tokoh terpenting di antara grand syekh
Al-Azhar dalam gerakan rekonsilisasi, menyerukan pembaharuan, menolak
kejumudan dan taqlid sehingga tidak hanya mendapatkan tempat di hati
kalangan muslimin, tapi juga dicintai kalangan non-muslim.
Stand ini juga menyajikan
kepada pengunjung berbagai karya tulis Syekh Syaltut, di antaranya: Al-Islam:
Aqidah Wa Syari’ah, Min Taujihat Al-Islam, Kitab Al-Fatawa, Kitab
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim.
Pojok khusus yang dilabeli Al-Syaltut
juga memamerkan dokumentasi dan foto-foto Syekh Syaltut dalam berbagai
kegiatannya baik di negeri maupun di luar negeri.
Biografi Mahmud Syaltut
Imam Mahmud Syaltut lahir
di Markaz Etay Al-Barud Provinsi Buhaira pada 23 April 1893 M. Beliau wafat 12
Februari 1963.
Ia mengawali pendidikannya
dengan menghafal Al-Qur’an, memasuki Ma’had Alexandria, kemudian menduduki
bangku kuliah di perguruan tinggi Al-Azhar hingga memperoleh gelar sarjana pada
tahun 1918 M.
Setahun setelah sarjana,
tahun 1919 ia diangkat menjadi pengajar di Ma’had Alexandria, sekaligus aktif
terlibat dalam aksi revolusi 1919 melawan kolonialisme Inggris melalui ketajaman
pena dan orasinya yang sangat berani. Melihat kecakapan dan kecerdasannya,
Syekh Mustafa Al-Maragi selaku Grand Syekh kala itu memutasi tugasnya sebagai
dosen di perguruan tinggi. Namun akibat kekritisannya melemparkan pandangannya
dalam gerak Islah Al-Azhar, ia dicopot dari tugas sebagai pengajar,
sehingga sempat beralih profesi sebagai pengacara sampai dia ditarik kembali
tahun 1935 M.
Setelah kembali ke pelukan Al-Azhar, karirnya terus meningkat
cemerlang, menduduki jabatan wakil dekan Fakultas Syari’ah, lalu terdaftar
sebagai anggota Dewan Senior Ulama Al-Azhar, anggota Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah
tahun 1946 M, dan puncaknya menjadi Grand Syekh Al-Azhar pada tahun 1958 M.
Sebelum didapuk menjadi
Grand Syekh, Syekh Syaltut sudah pernah ditawarkan jabatan Wakil Al-Azhar dua
kali. Yang pertama pada tahun 1950, tetapi dia menolak tawaran itu, sebab Raja
Faruq mensyaratkan ia harus berhenti menjadi khatib dan pengajar di Masjid Amir
Ahmad Ali Shagir di Manial. Barulah pada tawaran kedua tahun 1957 dia resmi
menjabat orang nomor dua di Al-Azhar, kemudian setahun setelahnya dia resmi
menjadi orang nomor satu Al-Azhar sebagai grand syekh.
Gelar Imam Akbar dan
Revisi UU No. 103 tahun
1961 M
Beliau adalah Syeikhul Azhar yang pertama
kali disematkan gelar Imam Akbar. Namun di masanya pula terbit UU No. 103 tahun
1961 M dari negara di bawah pemerintahan Gamal Abdoul Nashir terkait
beberapa amandemen sistem di Al-Azhar, salah satunya adalah menon-fungsikan
Dewan Ulama Senior dan digantikan Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah. Dengan
keputusan ini, penyematan gelar Imam Akbar juga berarti Grand Syekh memiliki otoritas
tunggal dalam menentukan keputusan terkait urusan-urusan agama walau tanpa
musyawarah dengan dewan ulama senior. Keputusan tersebut juga berpengaruh pada
mekanisme pengangkatan Grand Syekh dengan otoritas tertinggi presiden yang
sebelumnya adalah berdasarkan mufakat Hai’ah Kibar Ulama. Amandemen UU ini juga berarti menggenjot langkah modernisasi Al-Azhar dengan menambahkan mata kuliah kontemporer dan fakultas-fakultas
umum seperti kedokteran, perdagagan dan arsitek. Walaupun UU ini menuai
respon pro-kontra oleh pihak Azhariyyun, Syekh Mahmud Syaltut saat itu tengah
berada pada akhir hayatnya.
Fatwa Mengakui Madzhab
Syi’ah Imamiyah?
Syekh Mahmud Syaltut
dikenang karena upayanya menggandeng mazhab-madzhab dalam tubuh Islam, terutama
antara Sunni dan Syi’ah. Di antara fatwanya adalah kebolehan beribadah dengan
memilih madzhab manapun dari madzhab-madzhab Islami yang diakui
landasan-landasannya melalui dalil-dalil naqli yang sahih, termasuk madzhab Syi’ah
Imamiyah. Walaupun fatwa ini disangkal pernah muncul dari beliau oleh muridnya Syekh Yusus Al-Qardhawi, tetapi Syekh Muhammad Al-Ghazali mengamini
fatwa tersebut dan menyebutnya sebagai langkah strategis untuk mempersatukan umat
Islam.
Karya-Karya
Syekh Mahmud Syaltut
produktif menelurkan karya-karya penting yang berbicara tentang
diskurusus-diskursus penting masa kontemporer, upaya pelurusan pehaman yang
salah dan jawaban atas syubhat-syubhat. Misalnya pandangan Al-Qur’an tentang
perang, pandangan Islam tentang emansipasi, hubungan antar negara dan dan wacana-wacana keislaman lainnya. Karya-karyanya telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Beliau pernah mempresentasikan
makalah yang memukau pada konferensi Den Haag dengan judul Al-Mas’ūliyyah al-Madaniyyah wa al-Jināiyyah fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah yang membuat para peserta konferensi
menerima usulan untuk menjadikan Syari’at Islam sebagai salah satu dasar
pembukuan konstitusi hukum dunia.
Di
antara karya-karyanya adalah: Fiqh al-Qurān wa al-Sunnah, Muqāranatu al-Madzāhih,
Al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah, Tafsīr al-Qurān al-Karīm (10 Juz
Pertama), Tanzhīm al-‘Alāqāt
al-Dauliyyah al-Islāmiyyah, Al-Islām wa al-Wujūd al-Dauliy
li al-Muslimīn, Wa Yas-alūnak (kumpulan
fatwa), Al-Qurān wa Al-Qitāl, Al-Qur’ān wa
Al-Mar-ah,
Yuk kita kenali beliau lebih dekat dengan langsung mengunjungi Stand Al-Azhar di Ma'rid!
-----
Dikumpulkan dari berbagai sumber
Rep: Muhammad Zainuddin
0 Komentar