Banyak yang mengira bahwa sidang promosi magister/doktoral (munaqosyah)
hanya sekedar formalitas untuk peresmian menggenggam sebuah kelulusan yang
sudah terjamin. Ternyata di Universitas Al-Azhar dugaan ini terpatahkan. Setelah sebelumnya 11 Januari 2017 lalu beredar luas berita penolakan tesis magister oleh
Dekan Fakultas Da'wah Islamiyyah Prof. Dr. Jamal Faruq Daqqaq, kejadian serupa terulang kembali pekan ini di Fakultas Ushuluddin. Tepatnya pada sidang disertasi
peneliti berkebangsaan Saudi Arabia bernama Fahd Abdullah Shalih Hamid yang mengangkat Studi Kajian dan Tahkik atas manuskrip Hasyiah Tuhfatul Asyraf Fi Kasyfi
Ghawamid Al-Kasyyaf karya Yahya Ibnu Al-Qasim Al-Yamani, pada Hari Sabtu 24
November 2018 lalu bertempat di Auditorium Imam Abdul Halim Mahmud.
Majelis sidang terdiri dari para
guru besar Qism Tafsir yang dipimping langsung oleh dekan fakultas Prof. Dr. Abdul
Fattah Awwari (pembimbing utama), Prof. Dr. Muhammad Husein Ibrahim (pembimbing
kedua), Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi (penguji internal) dan Prof. Dr.
Muhammadi Abdurrahman (penguji eksternal). Di samping kanan mereka terlihat promovodeous
mengenakan pakaian khas Saudi dengan jubah putih dan ber-ghutrah.
Dari cuplikan dua potong video
yang disebarkan akun facebook seorang mahasiswa Mesir bernama Mahmoud Abou Thaleb, penguji
internal Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi pada potongan video kedua terlihat
angkat suara terkait beberapa pendirian peneliti dalam ranah akidah yang termuat dalam
disertasi tersebut yang menyerang Akidah Asy'ariyyah yang dianut oleh mayoritas
umat Islam di seluruh dunia dengan melabelinya sebagai firqah kalamiyah yang
dibangun oleh Imam Abul Hasan Al-Asy'ari, menetapkan posisi Allah bersemayam di
atas Arsy dengan menyandarkan kepada salaf yang kemudian dibantah oleh Prof.
Dr. Muhammad Salim bahwa salaf tidak mengatakan demikian dan madzhab
Asya'irah bukan suatu madzhab baru, melainkan sesungguhya Imam Asy'ari menghimpun serpihan-serpihan
pendirian secara teoritis akidah Rasulullah SAW dan para sahabat.
Setelah sekitar tiga jam pertanyaan-pertanyaan permintaan pertanggung-jawaban untuk layak mendapatkan gelar tertinggi dalam akademik itu berlangsung dan dijawab oleh peneliti dengan diam,
seperti biasa sidang dijeda dengan rapat tim penguji untuk menentukan hasil.
Hasil kesepakatan mereka diumumkan oleh pemimpin sidang Prof. Dr. Abdul Fattah
menyatakan: tidak lulus, tim penguji menolak disertasi tersebut dan memutuskan harus mengajukan
tema penelitian yang baru.
Walaupun secara aturan majelis
sidang memang berhak memberikan nilai apapun, keputusan lulus maupun tidak
kepada kandidat yang diuji, hasil sidang ini menuai banyak komentar dan
pertanyaan berseliweran di sosial media, "Kalau memang masih belum
layak untuk lulus, mengapa bisa dibiarkan naik ke meja sidang? Apakah luput
dari pembimbing ketika proses konsultasi?" Bahkan ada komentar yang lebih
pedas: "Jangan-jangan majelis sidang berkonspirasi untuk mempermalukan
promovendous."
Dari perdebatan netizen tersebut
ada beberapa jawaban bersifat spekulatif yang kami rangkum:
1.
Banyak netizen yang dengan hanya menonton potongan video kedua menilai bahwa
penyebab penolakan terletak pada penyelisihan manhaj jumhur ulama Ahlussunnah
Wal Jama'ah yang ditulis secara blak-blakan oleh peneliti dalam risalahnya.
Padahal
apabila diperhatikan dalam potongan video pertama yang berdurasi 45 menit,
Prof. Dr. Muhammad Salim mengungkapkan banyak kesalahan fatal dari segi
metodologi pen-tahkikan, dengan tidak mengikuti metode dan kerangka ilmiah
yang baku. Selain itu, penguji yang terkenal kritis itupun terkenal paling tidak
berkenan apabila peneliti hanya men-comot dan melakukan penyalinan dari Mausu'ah
Maktabah Syamilah tanpa memberikan andil dan melahirkan sintesa baru. Menurutnya
peneliti di sini tidak memberikan penjelasan pada lafazh-lafazh asing yang
terdapat sangat banyak dalam hasyiah sebagai kewajiban peneliti dalam tahkik
'ilmiy, "Bukannya mempermudah, studi anda ini justru
mempersulit.".
2.
Mengapa tidak di-review oleh pembimbing
sebelum naik meja sidang?
Di
universitas manapun, tugas pembimbing atau promotor harus memenuhi kompetensi,
kapabilitas dan memiliki pengalaman dan kecermatan tinggi dalam membimbing. Patokan
untuk pembimbingan disertasi doktoral syarat minimumnya harus yang telah
mencapai derajat Profesor.
Begitupun
di Universitas Al-Azhar dengan para guru besarnya yang terkenal dengan
kecermatan dan kejelian tinggi dalam meninjau risalah besutannya. Walaupun
banyak disertasi yang mereka bimbing di luar kesibukan-kesibukan lain apalagi
bagi seorang yang menjabat sebagai dekan (dalam hal ini Prof. Dr. Abdul Fattah
Al-'Awwari), mereka para guru besar ini punya cara tersendiri untuk membaca
cepat seiring tingginya jam terbang mereka.
Barangkali
pembimbing telah memberikan mulahazot untuk diperbaiki oleh penulis.
Hanya saja peneliti ini tidak menjalankan perubahan itu dan bersikeras untuk
mempercepat sidang.
Seorang
netizen juga berkomentar, bahwa tipikal penguji kedua memang cenderung sering
memberi kemudahan. Sedangkan sebaliknya dari pihak penguji terdapat Prof. Dr.
Muhammad Salim, guru besar di Universitas Al-Azhar yang terkenal killer, kritis
dan jeli mencium titik-titik kekeliruan, tegas tanpa pandang bulu dan tidak mau
menjadikan ajang sidang hanya formalitas belaka yang diisi dengan puji-pujian
dan basa-basi.
3.
Benarkah ada konspirasi atau drama antara pembimbing dan penguji
mengatur skenario tidak meluluskan peneliti?
Tentu
saja ini asumsi yang sangat jauh. Fakultas Ushuluddin yang tengah menggaungkan
visi barunya "Tahkik Al-Riyadah Fi Al-'Alam Fi Taqdim Al-Afkar
Al-Shahihah", membawa misi mengglobal dan semakin diterima oleh
seluruh kalangan di penjuru dunia, terlihat jelas itu terwuju dari perlakuan
terhadap mahasiswa pendatang yang lebih diistimewakan. Apalagi bagi siapapun
yang mengenal Dekan Fakultas akan kagum dengan sejauh mana menyambut mahasiswa
asing dengan baik, jadi tidak mungkin bagi beliau di sini sebagai pembimbing
untuk menjadi seorang pembunuh darah dingin yang membunuh karakter besutannya
sendiri di muka umum ruang sidang.
Semua
berlangsung dengan alami. Pembimbing pun sangat menyayangkan hasil ini dan
mengakui bahwa apa yang ia tulis memang itulah idiologi yang dia anut, tidak
mungkin mengikuti arahan yang menyelisi apa yang diuakininya itu. Dan di akhir
ketika mengumumkan penolakan, terlebih dahulu dengan tulus pembimbing menyampaikan
kata permohonan maaf kepada peneliti.
4.
Ketika disoalkan, pihak promovendous hanya diam dan tidak menjawab. Misalnya
saat Prof. Dr. Muhammad Salim menguji penguasaan peneliti terhadap aspek ilmu
kesusastraan Arab seperti Majaz dan Isti'arah yang menjadi
lapangan pembicaraan Al-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasyyafnya. Padahal tujuan
utama sidang ini adalah mempertanggung-jawabkan karya ilmiah yang telah
ditulis.
Sekian spekulasi yang kami kumpulkan,
semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Menurut anda?
(Zeyn)
(Zeyn)
0 Komentar