Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Skakmat! Jawaban Dr. Ali Jum’ah atas Kontroversi Dr. Sa’duddin Hilāli Soal Mawaris

Permasalan yang tengah menjadi sorotan utama jagad media Timur Tengah ini bermula ketika Presiden Tunisia Beji Caid El Sibsi dalam pidatonya pada peringatan Hari Wanita 13 Agustus 2018 lalu, menyampaikan wacana kontroversial mengenai proyek Tunisia melakukan revisi pada hukum tata kekeluargaan (al-Ahwal al-Syakhsiyyah), dengan menyetarakan pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan dalam harta warisan, serta membolehkan wanita muslimah menikah dengan non-muslim.

Walaupun ditentang oleh mayoritas rakyat Tunisia, wacana ini tetap mendapatkan dukungan kuat dari para golongan kiri yang menyokong paham pemisahan antara agama dan negara dari kaum sekularis dan modernis. Bukan rahasia lagi, keberpihakan El Sibsi mendukung paham ini terwujud di Tunisia terlihat jelas sebagaimana terbukti dari ungkapan dalam pidatonya (di sini): “Negara kita ini negara madani yang hukumnya merujuk kepada konstitusi, tidak ada urusannya dengan Al-Qur’an dan agama."

Kemudian secara mengejutkan pada November 2018 ini, El Sibsi secara sepihak merealisasikan wacana tersebut dalam undang-undang resmi negara yang belum diminta pengesahannya dari sidang parlemen. Apabila disahkan, artinya secara konstitusi negara mengharuskan secara paksa penerapan penyetaraan harta warisan dan melarang mengikuti hukum syariah.

Sontak saja keputusan ini menimbulkan reaksi pro-kontra besar-besaran dari berbagai kalangan. Di tengah maraknya ulama muslimin yang menyayangkan bahkan mengecam sikap El Sibsi tersebut, seorang guru besar Fakultas Syariah wal Qanun Sa’duddin Hilali justru memberikan dukungan dan mengapresiasi keputusan yang diambil presiden tua berusia 91 tahun itu.

Berdasarkan pernyataan kontroversialnya melalui sambungan telepon dalam acara Al-Hikāyah yang disiarkan stasiun televisi MBC Mishr bersama pembawa acara Amru Adieb, Hilali menyampaikan bahwa keputusan Tunis dalam hal ini tepat secara fikih dan tidak berlawanan dengan Al-Qur’an. Dia juga menambahkan, bahwa permasalahan warisan adalah soal hak, bukan kewajiban fardhu seperti shalat dan puasa. Menurutnya, redaksi yang digunakan adalah “Wa Lakum” bukan “Wa ‘Alaikum.” Adapun hak, setiap orang memiliki kebebasan dalam menjalankan atau tidak.

Dia juga mengatakan seorang faqih berubah-ubah pendapatnya seiring perkembangan kebudayaan, tuntutan zaman dan bertambahnya wawasan. Maka dia memprediksikan bahwa Negara Mesir pun akan mengikuti Tunisia dalam hal ini 20 tahun mendatang.

Pernyataan memilukan dari seorang public figur berbaju Al-Azhar ini sontak mengundang reaksi amat besar. Al-Azhar pun tidak tinggal diam melalui Dewan Ulama Senior, Lembaga Riset dan melalui sanggahan tegas secara personal dari satu persatu ulama-nya. Kemarin (26/11/18), Dewan Ulama Senior Al-Azhar dipimpin Grand Syekh Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib secara resmi menerbitkan press release mengkarifikasi bahwa posisi Al-Azhar jelas menentang perubahan pada ayat mawarits. Pendapat Hilali bukan mewakili Al-Azhar sebagai lembaga maupun manhaj, justru bertentangan dengan Al-Qur’an dan manhaj Al-Azhar.

Jawaban Syekh Ali Jum’ah

Melalui program Wallahu A’lam yang disiarkan langsung channel BBC (25/11), dengan singkat dan padat Syekh Ali Jum’ah menjawab dan menolak pendapat kakak kelasnya di Fakultas Syari'ah Wal Qanun, Sa’duddin Hilali. Menurut mantan mufti agung Republik Arab Mesir tersebut, permasalan ini sejatinya membutuhkan waktu panjang untuk mengulasnya, tetapi secara global ada beberapa hal yang perlu diketahui:
-       Bahwa Negara Tunis dari segi perundang-undangannya jelas bukanlah negara Islam, tidak merujuk kepada hukum Islam bahkan dalam beberapa hal bertentangan. Sikap ini telah tampak jelas dari masa pemerintahan Presiden Habib Burquiba (sepemikiran dengan Kamal Ataturk dalam reformasi sekularisme), yang mengeluarkan undang-undang larangan poligami, membolehkan kumpul kebo, aborsi, mengharuskan talak melalui kejaksaan, pada Tahun 1981 ia menerbitkan pelaranagn hijab, serta beberapa pasal dalam undang-undang yang membolehkan larangan syariat dan melarang apa yang dibolehkan syariat. Kebijakan-kebijakannya tersebut menjadi awal revolusi laku sosial perempuan di Timur Tengah.
-       Setiap peraturan mereka ini tidak ada hubungannya dengan syariat Islam. Jadi tidak layak dijadikan model dalam penerapan hukum dari kacamata syariat. Mesir sebagai negara besar, terpandang dan sebagai rujukan negara-negara mayoritas muslim tidak bisa disamakan dengan Tunisia sebuah negara kecil yang terlihat jelas apabila kita lihat di peta, apalagi mengatakan Mesir harus mengikuti Tunisia.

-   Keputusan presiden El-Sibsi tentang hal inipun belum diajukan ke parlemen, mufti Tunis belum menyetujui, begitupun rakyat yang masih berpegang pada ajaran Islam, serta masih membuka ruang veto gugatan apabila dibawa ke meja kongres parlemen.
-       Kesimpang-siuran metodologi Dr. Sa’duddin Hilali dalam memaparkan pendapat, dengan perkataan yang saling bertentangan dan berkontradiktif awal dan akhirnya.
Di awal, Sa’duddin mengatakan bahwa sistem pembagian wanita mendapat setengah bagian laki-laki bukanlah suatu kewajiban, melainkan hak yang boleh dijalankan dan boleh pula tidak. Lalu mengapa kemudian dia membela Tunis yang sedang ingin merampas hak rakyatnya dalam sistem pembagian warisan dengan memaksakan penyetaraan? Kalau memang sekedar berbicara tentang hak memilih, ini telah terjadi dalam pembagian warisan saat ini. Sedangkan untuk mengesahkan dalam aturan undang-undang, tentu ini melawan kebebasan yang masyarakat inginkan.



Prof. Dr. Ahmad Mahmud Karimah
Guru besar sepuh di Fakultas Syari’ah Wal Qanun pun, Syekh Ahmad Karimah turut mengomentari diskursus hangat ini melalui siaran chanel LTC TV. Beliau mengatakan, bahwa apa yang disebut dengan “Al-Maqādir Al-Syar’iyyah” itu sifatnya adalah muhkam, tidak menerima ranah ijtihad maupun takwil. Seperti jumlah shalat fardlu dalam seharis semalam, jumlah rakaat shalat, jumlah putaran tawaf mengelilingi kakbah, ketentuan nominal zakat, ketentuan masa iddah dan yang sejenisnya.
Al-Maqādir Al-Syar’iyyah ini bukan termasuk dalam kategori fikih yang terbangun dari ijtihad, ia sampai kepada kita melalui nushus syar’iyyah yang qath’iyy al-tsubut wa qath’iyy al-dalalah, sehingga kita memperingatkan kepada mereka yang melakukan tadlis dan talbis kepada masyarakat bahwa ranah ini tidak menerima amandemen dan revisi. Karena setiap nash syar’iy ketika difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an statusnya menjadi tsawabit dan ma’lum minaddin bidhoruroh. Lebih-lebih ada ayat 11 sampai 14 Surat Al-Nisa yang mengatur pembagian warisan ini ada beberapa isyarat:

“yūshīkumullāh”, “washiyyatan minallāh”, “farīdhatan minallāh”, “tilka hudūdullāh”, kemudian ditutup dengan peringatan dan ancaman keras:


وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

"Barang siapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, menentang hukum-hukumnya, Allah akan memakasukkannya ke dalam neraka kekal di dalamnya dan baginya azab yang menghinakan." (QS. Al-Nisa ayat 14).

Maka apa yang dilakukan Tunis adalah bertentangan secara global dan parsial terhadap hukum syari’at. Tanpa menyebut nama tokoh yang dimaksud, Syekh Ahmad Karimah mengatakan: “Adapun oknum yang membawa sekup nama Mesir dan Azhar, sehingga Al-Azhar menjadi bahan pembicaraan, Al-Azhar sesungguhnya lepas tangan dari mereka, atas apa yang diputuskan Tunisia dan oknum yang menisbatkan diri pada Al-Azhar, karena orang tersebut memang telah banyak memunculkan pendapat-pendapat syadz yang menyelisi jumhur.”
“Saya berharap kepada dia supaya lebih banyak membicarakan hal-hal yang lebih penting dan prinsipil. Kita bersama-sama mencari solusi atas problematika yang membahayakan negara dan anak bangsa, seperti bicara tentang keadilan sosial, masalah pakaian seksi, amar ma’ruf, nahi munkar, melawan kezaliman,  soal degradasi moral pemuda dan maraknya gosip-menggosip. Daripada kita membicarakan hal-hal sia-sia seperti ini yang menyulut perdebatan.”
Grand Mufti Prof. Dr. Syauqi Allam
Grand Mufti pun angkat bicara memberikan jawaban yang sangat bagus atas tuntutan para sekularis ini. Beliau mengajak untuk memperhatikan dengan cermat, bahwa apabila alasan mereka menerbitkan penyetaraan ini adalah atas jargon emansipasi gender demi memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, maka sesungguhnya ketentuan warisan yang diatur dalam Al-Qur’an justru sebenarnya sangat menguntungkan bagi perempuan. Dimana, menurut sistem mawarits syariat Islam, ada tujuh kondisi saat di mana perempuan mendapatkan warisan sendiri tanpa lelaki mendapatkan bagian, atau saat dimana bagian wanita lebih besar. Sementara, hanya ada satu keadaan dimana anak perempuan mendapatkan lebih banyak dari anak laki-laki yaitu ketika ashobah ma’al ghair. (Selengkapnya dari maksud beliau dapat dibaca di sini).

Beginilah sikap Al-Azhar dengan para ulamanya yang cerdas. Al-Azhar pun mendukung pembaharuan (tajdid), tetapi dengan makna sebagaimana mana mestinya. Al-Azhar berdiri sebagai benteng kokoh yang tegas dalam posisinya dalam melawan pembaharuan-pembaruan yang sifatnya bertentangan dengan tsawabit dalam syari’at.


Oleh: Muhammad Zainuddin R. (Sekretaris KM-NTB Mesir 2018-2019)
 

Posting Komentar

1 Komentar