Forum kajian
makalah el-Dawam KM-NTB kembali melanjutkan pertemuan dwi mingguannya pada Hari Minggu, 11 November 2018 dengan Ahmad Alimudin Ghozali sebagai persentator. Mahasiswa tingkat
3 Jurusan Akidah Filsafat itu mengangkat pembahasan seputar pemikiran seorang tokoh sufi Abad ke-20 Grand
Syeikh al Azhar Imam Abdul Halim Mahmud dengan makalahnya yang diberi judul: “Abdul Halim
Mahmud dan Bantahan Terhadap
Manhaj Kaum
Rasionalis”
dengan memilih Kitab “al-Islam Wa al-Aql” menjadi lokus dan rujukan utama dalam penyusunannya, tentu dengan didukung referensi kitab-kitab lainnya.
Kajian ini dimulai tepat setelah
sholat Isya berjamaah. Kursi Moderator diambil alih lansung oleh ketua KM-NTB, Abdul
Karim al-Kertasari. Kendati
tidak dihadiri sang mentor, Ustadz Lalu Turjiman, MA., kajian ini tetap
berlangsung dengan hikmat dan lancar. Pembukaan serta paparan singkat mengenai isi makalah
disampaikan moderator dengan penuh
semangat sampai tibalah
waktu mempersilahkan pemateri memaparkan isi makalahnya.
Seperti
diketahui, Manhaj Aqliy merupakan sebuah aliran
pemikiran filsafat yang menjadikan Akal sebagai landasan dalam menentukan
sesuatu. Selama sesuatu itu muwáfiq (sejalan)
dengan akal fikiran maka diterima. Sebaliknya jika sesuatu itu ta’árudh (bertolak
belakang) dengan akal akan ditolak mentah-mentah (ماوافق العقل قبلنا و ما خالف
العقل رددنا).
Pemalakah menyampaikan bahwa pemikiran seperti ini tidak akan ada
akhirnya, karena akal manusia berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Yang
menjadi natijah (Hasil) dari pemikiran hari ini bisa jadi dihancurkan
oleh yang datang setelahnya, begitu juga seterusnya sampai berputar kembali ke
pemikiran awal, yang dalam terminologi mantiq disebut dengan Daur (berputar
terus-menerus tanpa menemukan titik temu).
Hal semacam ini dibuktikan dalam kasus pemikiran seorang Filsuf modern, Descartes, dia mencoba membuat sebuah kaidah
sebagai neraca yang dapat menimbang dan memisahkan antara benar dan salah. Awal mulanya, metodologi yang
dirumuskan Descartes ini yang berbeda dari sistematika berpikira yang
ditawarkan para filsuf Yunani kuno sempat mendominasi dunia pemikiran dianut
banyak kalangan. Tetapi apa yang terjadi, kaidah
tersebut dihancurkan oleh para peneliti dan ahli filsafat yang datang
setelahnya. Pada akhirnya bahasan tersebut
kembali ke sediakala seperti tahun-tahun sebelum Masehi.
Argumentasi manhaj aqliy ini mudah
untuk dipatahkan, seperti kata Syeikh Abdul Halim Mahmud: “Semudah
menghancurkan benda yang memang sudah hancur.” Pandangan tersebut sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Hujjatul
Islam Imam al-Ghazali
dalam kitabnya Tahafut al Falasifah yang membuktikan kelemahan cara pandang para filsuf yang menyandarkan segala
permasalahan ke ranah akal semata. Karena, menurutnya, ada ruang-ruang yang
tidak mampu untuk dijamah oleh akal, seperti permasalahan Uluhiyat
ataupun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan akhlak dan metafisik (alam ghoib).
Tidak berhenti pada masalah perpecahan di antara filsuf barat, Syeikh
Abdul Halim Mahmud pun meyakini bahwa hal ini jugalah yang mendasaro perpecahan
yang terjadi diantara umat Islam, diakibatkan oleh pengadopsian manhaj
pemikiran filsafat. Itu semua bermula dari pembukaan gerbang literasi oleh
khalifah Abbasiyah saat itu, al-Ma’mun (214
H). Dia membuat sebuah kebijakan baru yang tidak pernah dilakukan oleh para
pendahulunya, yaitu menerjemahkan kitab-kitab filsafat Yunani. Dari sinilah
mulailah orang muslim menekuni filsafat dengan mengaitkannya dengan agama dan
mulailah bermunculan sekte-sekte di tubuh umat Islam, Mu’tazilah, Asy’ariah,
Qadariah, Jabariah dan Jahmiah.
Yang menjadi pertanyaan besar Syeikh Abdul Halim Mahmud adalah, kenapa
orang Muslim mengambil pendapat orang-orang Yunani dalam masalah metafisika dan
akhlak, sedangkan mereka punya al Qur’an dan Sunnah yang sudah menerangkan hal
tersebut!? Oleh karena itu, dia sangat antusias untuk menentang kaum
rasionalis ini dan membongkar setiap
kesalahan-kesalalahan mereka dengan menyusun kitab al-Islam Wa al-Aql. Dalam kitab ini pula, para Mutakallimin yang sejalan dengan pemikiran
Manhaj Aqliy dan terpengaruh dengan dengan
pemikiran filsafat tak luput dari kritikannya. Tidak berhenti di situ, bantahan
dan kritikan saja tanpa solusi dirasa tidaklah cukup, oleh karena itu beliau
membuat sebuah manhaj yang lebih Aslam dan harus dipegang teguh oleh
para umat Islam, yaitu Manhaj Ittiba’ (Manhaj Tasawuf).
Kajian kali ini
berlangsung sekitar
tiga jam, dimulai dari setelah Isya sampai pukul 10 malam. Kritikan dan masukan silih
berganti diberikan oleh setiap audiens, metodologi penulisanpun tidak luput dari sorotan. Itu
semua ditampung untuk menjadi acuan revisi dan pelajaran bagi pemateri
sesudahnya. Secara keseluruhan dari apa yang disampaikan pemateri, makalah ini dirasa
kurang menusuk ke inti pembahasan. karena
masih banyak celah-celah yang ditinggalkan dan belum dijelaskan.
Rep: Muhyiddin
Red: Muhammad Zainuddin
0 Komentar