Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Waw! Penjelasan Maulana Syekh Ala Mustafa Na'imah ini Berbeda dari yang Biasa Kamu Dengar


Ratusan santri Indonesia yang belajar di Al-Azhar memenuhi Sahah Indonesia Darrasah pada Rabu sore (24/10). Sedari waktu menjelang Asar mereka menanti kedatangan sang guru tercinta, permata Alexandria, Maulana Syekh 'Ala Musthafa Na'imah yang akan memberikan uraian sangat penting dalam meluruskan beberapa penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, dalam membela keagungan baginda Nabi Muhammad SAW dengan kitab yang berjudul Radd al-Mutasyabihát ila al-Muhkamát fí Jánib Khátam al-Nubuwwát.

Walaupun duduk berjejal-jejal, para santri tetap merasa sejuk memandang wajah bersinar sang guru yang merupakan keturunan Baginda Rasul SAW dan mendengarkan kalamnya yang penuh kesejukan. Ulama muda berusia sekitar 30-an tahun itupun menyatakan kebahagiaannya melihat semangat para santri mengikuti majelis ini.

Pasalnya kitab dan majelis ini penting sekali didalami oleh para kader dai untuk siap tampil pasang dada meluruskan pemahaman dangkal dan penafsiran yang banyak digunakan oleh dosen di universitas dan oknum ustadz melalui mimbar-mimbar ceramah, sehingga dengan nekatnya mengatakan: "Nabi pernah sesat, dalilnya ada di Surat Al-Dhuha.” Atau "Nabi melakukan kesalahan ketika dalam perang Tabuk mengijinkan kaum munafik absen, ketika mengasihani tawanan Badar, dan lain-lain". Atau "Sudahlah, Nabi kan manusia seperti kita. Wajarlah apabila salah, kan bisa saja lupa, bisa saja khilaf."

Maulana Syekh Ala yang terkenal dengan sifat halus dan lembutnya itu sampai memerah mukanya mengutip statemen-statemen semacam ini yang sangat berbahaya dan bisa menyeret kepada bahaya-bahaya lebih besar.

Beliau menegaskan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah salah dan tidak pernah saling bertentangan esensinya walaupun terkadang terlihat kontradiktif pada zahir teksnya, hanya pemahaman manusialah yang berbeda-beda. Maka pemahaman teks yang tidak jelas dan menimbulkan polemik di kalangan ulama itu (mustasyabihah), dalam kaidah ilmu harus dikembalikan kepada nash yang jelas terang bedarang dan disepakati para ulama (muhkamah). Metodologi inilah yang akan diperincikan melalui kitab ini, yang mesti dikuasai oleh para pelajar sebagai tanggung jawabnya ketika menjadi da’i. Karena itulah kitab ini dinamakan Radd al-Mutasyabihat ila al-Muhkamat fi Janib Khotam al-Nubuwwat. Sesuai tujuannya mengembalikan penafsiran mutasyabihah agar tidak melenceng dari garis muhkamah.

“Bayangkan betapa bahagianya Sayyiduna Nabi dan bangganya beliau melihat antum membela beliau. Analoginya, ketika saya berada dalam posisi sulit, disudutkan oleh banyak orang dan mengatakan hal yang tidak-tidak, lalu Ustadz Ali Irham dan Ustadz Ziaul Haq tampil membela saya. Betapa bahagianya saya dan berterimakasih kepada mereka.” Ujar beliau.

Kitab yang dibaca ini merupakan ikhtisar faidah-faidah yang dipetik oleh Maulana Syekh Ala dari kitab dan penjelasan langsung penyusunnya Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Ibrahim Abdul Baits Al-Kattani". Ditambah dengan rujukan Tafsir Dhiya al-Akwan fi Tafsir al-Quran, karya Al-Arif Billah Syekh Ahmad Sa'd al-Aqqad. Disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami, menukil penafsiran-penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang sering-kali ditafsirkan berkontradiksi dengan Ishmah Nabi SAW.

Pertama-tama muallif menjelaskan arti judul kitab, mengingatkan kita perbedaan antara nash yang muhkam dengan nash yang mutasyabihat. Dari sinilah berawal kaidah pentingnya:


أن نفسر الآيات المتشابهات بما يوافق الأدلة المحكمة


Kendatipun banyak pihak yang menuduh bahwa metode tafsir ini terlalu berlebihan, digolongkan Tafsir Isyári yang tidak menempuh metode ilmiah dan atsar yang shahih. Kitab ini cukup menjadi bukti betapa kuat argumen yang dikedepankan baik secara dalil-dalil Al-Qur'an, Sunnah, kesesuaian dengan ilmu bahasa Arab dan kaidah ilmu-ilmu syari'ah, maupun dalil logis yang diterima akal. Bahkan dalam kitab ini pembaca dibuat terkagum-kagum dengan kekuatan dalil ilmiah yang barangkali tidak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang lain. Kemapanan penyusun dari segi pemahaman nash terutama ilmu balaghah mengantarkan pembacanya mengangguk-ngangguk menerima penjelasannya.

Syekh Ala menyampaikan, bahwa standar benarnya penafsiran ayat mutasyabihah harus dengan dua kriteria;

1. Sesuai dengan dalil-dalil muhkam.
2. Sesuai dengan kaidah bahasa arab dan ilmu-ilmu syar'iyah.

Dari sekian nash mutasyabihat yang tertulis di kitab, Syekh Ala mengambil sebagian contoh untuk diluruskan penafsirannya.
1.    Penafsiran Surat ‘Abasa
Penafsiran yang banyak dipahami adalah, bahwa baginda Nabi SAW bermuka masam dengan kedatangan sahabat mulia, Ibnu Ummi Maktum RA, membuang muka beliau darinya dan tidak memperdulikannya.

-       Tentunya pemahaman ini tidak sejalan dengan ayat muhkam yang sangat jelas:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Keagungan akhlak Nabi dimulai dari puncak kemuliaan akhlak manusia yang lain. Sedangkan memasang muka masam merupakan sikap yang tidak baik, maka tidak sejalan dengan ayat ini dan banyak dalil lainnya yang menunjukkan kerahmatan Nabi SAW ke seluruh alam.

-       Rahmat Nabi SAW dicurahkan lebih besar kepada orang-orang lemah dan memiliki keterbatasan dan Sayiduna Ibnu Ummi Maktum merupakan sahabat yang tunanetra yang berhak mendapatkan curahan perhatian lebih besar.

-       Ibnu Ummi Maktum adalah kerabat dekat Sayyidah Khadijah RA. Banyak dalil yang menunjukkan perlakuan istimewa Nabi kepada kerabat dan teman dekat mendiang istri beliau itu.

Lalu bagaimanakah pemahaman yang lebih tepat dalam menjaga keluhuran akhlak Nabi SAW?

Awal surat Abasa ini disampaikan ‘alá sabíl al-hikáyah, Allah Ta’ala mengutip pembicaraan Hoax kaum munafik yang disebarkan dengan tujuan menciderai keagungan akhlak beliau. Dengan bukti, setelah pengutipan ini, Allah Ta’ala membalas dengan membantah sebaran mereka dengan kata “Kallá” yang faidahnya adalah sebagai kata bantahan (li al-Rad’i). Uslub seperti ini banyak digunakan dalam ayat lain setelah mengutip statemen menyesatkan kaum kafir dan munafik, perincian contoh-contoh ayat tersebut ini dapat dirujuk langsung dalam kitab.

2.    Izin Rasul kepada Munafiqin pada Perang Tabuk

Ayat ini terdapat pada Surat At-Taubah ayat 43:

عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ

Dari pembacaan secera literlek, ayat ini bisa diinterpretasi sebagai teguran Allah kepada Rasul SAW karena mengizinkan kaum munafik untuk tidak ikut turun bersama pasukan dalam perang Tabuk yang jaraknya sangat jauh dengan cuaca panas luar biasa.

Dalam kitab ini, ayat ini bukanlah sebuah teguran, dengan alasan-alasan logis dan dalil ilmiah yang kuat, di antaranya:

a)    Lafaz ‘afa yang memiliki multimakna, sehingga perlu disesuaikan dengan siyaq, tidak hanya al-magfirah (memaafkan), pada ayat lain kata al-‘afw juga diartikan al-Ziyádah dan ‘adam al-Bayán.

b)   Uslub istifham inkari di sini bukan berarti bentakan. Sesuai dengan Ilmu Ma’ani, uslub insya’iy ini dapat dimaknai uslub khobariy dengan empat dalil yang terperinci sebagaimana dalam kitab.
Di antaranya, apabila melihat siyaq, sibaq dan lihaq dapat dipahami bahwa kebijakan Nabi SAW pada kaum munafik sudah tepat, karena keberadaan mereka yang tidak ikhlas berperang, terpaksa dan mengharapkan dunia yaitu harta rampasa, hanya akan menjadi benalu dan membawa kerugian dalam pasukan kaum muslimin. Demikian pula melalui kebijakan ini, mulai nampak siapa yang sesungguhnya imannya sejati dan siapa yang munafik.

Acara ini berlangsung sekitar dua jam. Beliau menaruh dalil penting yang menjadi kaidah mematahkan semua penafsiran mereka. Firman Allah Ta’ala:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى

Maulana Syekh Ala mengajak kita fokus pada beberapa mulahazoh, ayat ini disampaikan dalam uslub al-hasr wa al-qashr, dengan kata wahyu yang berulang (mutakarrir) dan jumlah ismiyah dengan fi’il mudhari’ setelah isim nakirah yang memberikan makna tetap (yufid al-tsubut wa al-dawam) sehingga menegaskan setiap apapun yang timbul dari perbuatan dan keluar dari mulut beliau, baik yang dimerti maknanya ataupun tidak semua adalah wahyu. Maka apabila ada yg mengatakan Rasulullah SAS bersalah, seakan mengatakan wahyu yg salah, ini samgat bahaya.

Begitupun kaidah yang perlu kita pegang dalam menafsirkan ayat tentang pribadi Rasulullah SAW yaitu dari Ucapan Sayiduna Ali bin Abi Thalib RA yang tertulis dengan tinta emas:

إِذَا حُدِّثْتُمْ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلَا تُصَدِّقُوْا إِلَّا مَا هُوَ أَهْدَى وَأَتْقَى وَأَهْيَأْ

Juga perkataan beliau kepada Sayiduna Abdullah bin Amru bin Ash:

‌إني لا أقول إلا حقا
Perlu diperhatikan, bahwa haq yang selalu keluar dari lisan mulia Nabi SAW berbeda dengan Shahih. Bahwa kata haq tidak bisa diganggu-gugat dan tidak menerima perbedaan, sedang kan yang shahih masih dapat membuka ruang perbedaan.

Posting Komentar

0 Komentar