Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

TGB Beberkan Alasan Keterlambatan Muwafaqoh Amniyah untuk Camaba


Sebagaimana telah diuraikan pada tulisan sebelumnya tentang langkah akhir terkabulnya permintaan muwafaqah amniyyah untuk camaba Universitas Al-Azhar 2018, melalui acara Motivation Talk kemarin (17/8/18) TGB juga menjelaskan berbagai upaya birokrasi dan diplomasi yang telah ditempuh oleh pihak OIAA cabang Indonesia untuk mempercepat pengurusan pemberangkatan. Di antaranya dengan melakukan audiensi khusus dengan Duta Besar Mesir untuk Indonesia Sayyid Amru Mu’awwadh bertempat di kantornya di Jakarta .

Pembicaraan panjang dari hati ke hati diawali oleh TGB dengan mujamalah sebagai jurus ampuh untuk meraih hati orang Mesir. TGB bahkan menggunakan redaksi kalimat “I’mal el-ma’ruf”, “Arguk, ya Thayyib, ya Ibna Thayyib!” sebuah ungkapan permohonan sangat agar Dubes Mesir bersedia membantu menyelesaikan urusan ini dengan memanfaatkan semua jaringan pemangku tanggung-jawab yang dia kenal untuk memuluskan proses birokrasi muwafaqoh amniyah yang asal-muasal keterbelit-belitannya menjadi suatu misteri.

Sang Dubes awalnya menanggapi keseriusan permohonan lawan bicaranya itu dengan tertawa. Lalu dia terpaksa secara terbuka membeberkan alasan sebenarnya dan akar permasalahan kepada tamunya, “Ya Sidi al-Muhafiz, Duktur Zeyn” begitu Sayyid Amru memanggil TGB dengan penuh hormat, “Kami ini tau sejak lama, bahwa ada mahasiswa-mahasiswa Indonesia datang ke Mesir dengan alasan belajar sehingga diberikan visa pelajar, tetapi ternyata mereka datang ke Mesir untuk berbisnis, membuka restoran, menjual container bagasi, bisnis travel dan bermacam bisnis lainnya. Tetapi kami sengaja menutup mata, seakan tidak tau-menau dan mentolerir jalannya bisnis mereka walaupun tanpa izin resmi.” Demikian TGB mengutip percakapan sang Dubes kepadanya.

Tetapi masalah sesungguhnya bukan di sini. Pemerintah Mesir masih mau berbaik hati memberi pengertian kepada para mahasiswa yang mencari sumber penyambung hidup selama belajar di sini melalui berbisnis. Urusannya menjadi rumit ketika kabar yang sampai melalui intelejen Mesir, melaporkan bahwa banyak mahasiswa yang diizinkan bermukim di Mesir dengan alasan belajar di Al-Azhar, tetapi anak-anak Indonesia ini justru mengaji pemikiran-pemikiran yang justru bertentangan dengan Al-Azhar.

“Ada anak-anak yang mengikuti kelompok-kelompok tertentu yang anti pemerintah. Anda tinggal di negara kami, tetapi anda ikuti kelompok yang anti pemerintah. Kalau sudah sampai sini kasusnya, maka sudah menerobos al-Khat al-Ahmar (garis merah), Ya Duktur Zeyn!” Kira-kira demikian peringatan keras yang disampaikan sang Dubes.

Untuk sekelas seorang duta besar menyampaikan ini dengan penuh wibawa, tentu madlul-nya bukan masalah sepele. Penerobosan garis merah oleh beberapa mahasiswa lama inilah yang menimbulkan persoalan panjang yang berimbas kepada calon mahasiswa baru. Rentetan tarhil (deportasi) mahasiswa Indonesia yang terjadi berkali-kali beberapa tahun kemarin atas tuduhan mengikuti manhaj yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Manhaj Al-Azhar tentu menjadi jejak hitam nama mahasiswa Indonesia di sini, yang setelah diakumulasi menyebabkan kelambanan pemberangkatan. Suatu kasus yang tidak pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

“Maka saya mengajak adik-adik mahasiswa untuk muhasabah dan interopeksi. Kita ini menjadi tamu di rumah orang. Mari kita hormati al-qawanin wa al-a’raf. Tidak hanya undang-undang yang sifatnya legal formal, tapi juga budaya dan kearifan local masyarakat setempat yang sifatnya sosio-kultural. Walaupun tidak tertulis dapat kita ketahui, maka tidak boleh dilanggar.”

TGB menganalogikan dengan seorang tamu yang datang ke rumah kita lalu berlaku songong. Misalnya ‘urf di rumah kita adalah masuk dengan melepaskan sepatu, lalu sang tamu dengan semena-mena mengitari rumah menginjak karpet dan mengotori rumah kita dengan sepatunya tanpa rasa bersalah. “Apakah kita merasa nyaman?”

“Apalagi media sempat gempar memberitakan kabar mahasiswa yang dideportasi di bandara karena datang kemari membawa 80 buah pisau lipat. Adapula yang membawa handy talky. Padahal kan yang namanya mahasiswa itu datang membawa buku. Kalau dulu di pesantren kita membawa karung beras. Barang-barang yang dibawa ini adalah badhai’ hassasah, barang-barang sensitif yang bisa ditafsirkan macam-macam sehingga wajar apabila dipersoalkan.”

Gelar Ummud Dunia yang disematkan ke Mesir menurut TGB bukan tanpa alasan. Karena negeri layaknya ibu yang selalu merangkul dan menerima siapapun yang datang kepadanya. “Dulu zaman saya saat terjadi krisis di Sudan, puluhan ribu dari pendudukdari sana datang mengungsi dan memenuhi jalanan Atabah. Sampai kita tidak tau mana aspal dan mana orang asmar yang tidur. Dulu setiap malam Jum’at kami pulang berhadroh dari Masjid Syekh Ibrahim al-Battowi Rahimahullah, kami transit di Tahrir untuk melanjutkan ke tempat tinggal kami di Ummul Mishriyyin. Di jalan yang gelap itu kami sampai menginjak mereka yang tidur di jalanan.” Kenangnya.

Puluhan ribu orang Sudan yang datang kemari dibukakan pintu oleh Mesir walaupun tidak membawa keuntungan apa-apa dari segi material. Bahkan mahasiswa terus diperkenyang dengan tambahan minhah bernilai besar oleh Al-Azhar. Apakah ini artinya Mesir adalah negara yang kaya? Lebih kaya dari Indonesia? Tidak! Akan tetapi mereka menujukkan kedermawanan dan sambutan yang baik.

“Maka dengan kebaikan negeri ini kepada kita, apabila tidak bisa dibalas billati hiya ahsan (dengan yang lebih baik), minimal bi al-mitsl (dengan sepadan). Jangan sampai kemudian kebaikan itu dibalas dengan hal-hal yang tidak baik.”

Walaupun diskusi tentang persoalan ini ada pembahasannya dalam forum-forum terbatas, menurut TGB sudah saatnya disuarakan secara nyaring agar menjadi perhatian bersama dan tidak memperparah keadaan. “Maka saya mohon betul teman-teman bisa menjadi tamu yang baik. Sebagaimana ungkapan Arab, yang secara literalnya sesuai dengan konteks ini:

دارهم ما كنت في دارهم وأرضهم ما كنت في أرضهم

“Bergaullah dengan baik selama kau berada di rumah mereka dan ridhailah mereka selama kau berada di negeri mereka!”

Pepatah ini menyirat arti agar setiap tamu dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan baik. Tidak hanya untuk kebaikan diri sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang yang belajar di Al-Azhar. Apalagi dengan melihat semangat pemuda untuk mengaji di Al-Azhar kian menggebu. Terbukti dari ledakan jumlah peserta seleksi masuk kesini yang jumlahnya mencapai 8000-an prang, yang lulus 1982 orang. Setelah sampai di sini mereka menjalani pendalaman Bahasa di Markaz Lughah, atau sekian persennya bisa langsung masuk kuliah.

"Ini menunjukkan Al-Iqbāl yatazāyad (angka kedatangan pelajar terus meningkat). Maka kelakuan kita hari ini akan berdampak pada apa yang akan diperoleh dan dirasakan oleh adik-adik kita yang akan datang. Maka mari semua sikap kita, selalu kita persefektifkan untuk pengaruh jangka menengah dan jangka panjang. Tidak hanya untuk kepentingan kita saja tetapi juga untuk menjaga citra baik seluruh anak Indonesia ketika di sini dan setelah pulang ke Indonesia dalam jangka panjang. Sehingga apa yang kita lakukan terhitung menjadi kebaikan dan menjadi pahala yang terus berlipat di masa mendatang karena manfaatnya yang terus-menerus dirasakan. Serta jalan kita menuntut ilmu pun menjadi kondusif tanpa masalah.” Begitu nasehatnya kepada hadirin yang memenuhi Aula KM-NTB Mesir.

---
Muhammad Zainuddin Ruslan

Posting Komentar

0 Komentar