Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Perlunya Telaah Kritis Historiografi Islam di Nusantara

Gambar ilustrasi. Sumber: geotimes.co.id
Oleh: Muhammad Zainuddin Ruslan

Materi pelajaran tentang sejarah masuk dan proses penyebaran agama Islam di Nusantara telah kita pelajari sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di usia yang masih pagi itu, kita masih menelan mentah-mentah setiap informasi yang masuk ke telinga dan mendekam di otak bersumber dari apa yang kita baca dari modul pelajaran dan dengar dari penjelasan guru.

Seiring tumbuh dewasa dan meningkatnya tingkatan pendidikan, naluri kritis seorang insan akademis mencerna setiap informasi juga mestinya meningkat lebih tajam, terutama dalam pembacaan sejarah. Sebab, sejarah dicatat oleh manusia biasa yang lumrah ditimpa kekeliruan. Bahkan tak jarang penulis sejarah sengaja memalsukan kronologi dan mendistorsinya sesuai kepentingan mereka. Tak jarang pula ditunggangi kepentingan politik penguasa.

Sebagai bangsa yang sempat terjajah sepanjang tiga abad lebih, wajar apabila penulisan data-data sejarah dengan persfekttif penduduk asli Indonesia yang diharapkan menyampaikan informasi secara objektif sangat jarang ditemukan. Karena berbagai faktor. Sejarah yang kini diasupkan kepada anak didik kebanyakannya merupakan hasil ramuan sejarawan-sejarawan asal negeri kolonial sendiri, seperti Snock Hurgronje, H.J. van Leur, H.J de Graaf dan ilmuan lainnya dari negeri kincir angin.

Dampak catatan sejarah mereka telah terbukti sukses membentuk perubahan sistem keimanan dan tingkah laku sosial–politik dan berbudaya pribumi yang selanjutnya memihak penjajah. Keterangan sejarah yang dipasok orientalis Hurgronje misalnya, telah berjasa besar membantu pasukan kompeni menguasai budaya Aceh dan Islam sehingga berhasil menghentikan perlawanan mereka. Padahal awalnya para ksatria Aceh yang terkenal kebal, dengan semangat jihad berani mati, gagah perkasa dan cerdik sangat amat sulit ditaklukkan dan membuat serdadu Belanda kewalahan. Ketidak-akuratan produk penulisan sejarah mereka juga sebagaimana diakui oleh Van Leur, bahwa jurnal-jurnah sejarah faktanya dituliskan di negeri Belanda berdasarkan informasi yang dibawa para jenderal dan didiktekan kepada penulis yang tidak pernah berkunjung langsung ke indonesia.

Pengotak-atikan alur sejarah tidak bisa diremehkan pengaruhnya, khususnya arah eksistensi umat Islam di Indonesia. Karena masa lalu erat kaitannya dengan masa depan. Agar tidak menjadi kepalsuan yang dididiamkan terus-menerus, sehingga lambat laun menguat seperti kebenaran, maka kumpulan cendikiawan muslim tidak tinggal diam dengan sejarah ini. Empat puluh lima tahun silam, tepatnya pada tanggal 17-20 Maret 1963 pernah diadakan Seminar Telaah Kritis Histogriorafi Islam di Nusantara bertempat di Medan yang dihadiri oleh para tokoh akademisi muslim, antara lain K.H. M. Sa’id sebagai ketua penyelenggara, K.H. Bahrun Jamil, K.H Abdullah Bin Nuh, K.H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Dr. Manshur dan Dr. Abdul Mu’thi Ali.

Seminar ini merupakan langkah awal upaya menggali dan menemukan kembali fakta sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka melakukan koreksi total terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, khususnya pada versi orientasi-orientasi barat. Dari jalannya seminar ini, seorang jurnalis asal Yaman bernama Hasan Nashruddin merekamnya dalam buku yang berjudul Al-Islām FĪ Indūnisia
Dalam lembaran yang terbatas ini, penulis artikel tidak hendak mengupas tuntas rentetan dari seminar tersebut. Hanya berusaha memerah saripati yang diharapkan dapat menggugah nafsu kita untuk turut mendalami permasalah yang mereka sorot dan mengajak pembaca untuk sama-sama memecahkan misteri yang tersisa.

Nasruddin memuji paper yang dipresentasikan oleh para pembicara di seminar tersebut dengan metodologi mapan dan kuat dalam pendekatannya mengadu tesis sejarah yang telah tertulis dengan anti-tesis sumber-sumber lain yang tidak kalah kuat, sehingga mengeluarkan sintesa baru.

Di antara poin-poin yang disimpulkan dari seminar tersebut, membantah bahwa Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh pedagang dari India dengan bukti berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh atau Kerajaan Perlak di Sumatera Utara pada kisaran masa itu. Dari teori yang berasal dari sejarawan Italia bernama Marcopollo ini, dapat disimpulkan, bahwa Islam adalah agama paling terakhir masuk di Indonesia, dibawa oleh orang-orang India dengan keislaman yang telah bercampur-baur dengan tradisi Hindu-Budha di sana.

Padahal, dari sumber-sumber terpercaya, Islam diyakini sudah berangsur-angsur masuk ke Indonesia sejak abad 1 Hijriah atau sekitar abad 7 Masehi (651 M) langsung dibawa oleh muslim dari Arab. Untuk membuktikan ini, mereka menyandingkan dengan data-data sebagai berikut:

1.  Kitab-kitab klasik berbahasa Arab
Siapa menyangka kalau pembicaraan tentang wilayah yang kini dinamakan Indonesia telah disebutkan oleh para penjelajah Arab dalam kitab mereka dalam catatan-catatan babon perjalanan mereka ketika singgah di Indonesia. Tidak hanya Ibnu Baththutoh (w. 1368) dalam kitabnya Tuhfatun Nazzhor fi Gharaibil Amsar wa ‘Ajaibil Asfar), juga ada Syamsuddin al-Anshari al-Dimasyqi (w. 1327 M) seorang ulama Sufi yang juga pakar geografi dalam kitabnya Nukhbatu al-Dahr fi ‘Ajaibi al-Barri wa al-Bahr. Selain itu penyebutan tentang Islam wilayah yang mereka sebut sebagai garis lintas katulistiwa terdapat pada kitab Al-Masalik wa Al-Mamalik karya Abul Fida al-Idrisi (w. 1331) seorang sejarawan yang berhasil menjadi Raja hebat di kerajaan Hamah, Suriah. Mu’jam al-Buldan oleh Yaqut Al-Hamawi (w. 1229) dan Al-Buldan oleh Abul Abbas bin Ishaq Al-Ya’qubi (w. 897).

Catatan-catatan ini memang sangat sulit diakses, hanya saja setelah diteliti oleh Nasaruddin Hasan, catatan itu menggambarkan relasi kuat yang terjalin antara Arab dan Asia sejak masa fajar Islam. Nasrudin menukil, Al-Dimasyqi menyatakan bahwa Islam telah sampai di Asia Tenggara sejak masa Usman Bin Affan RA. Terlebih setelah pengejaran Bani Alawi oleh Hajjaj bin Yusuf pada dinasti Bani Umayyah, mereka banyak menyelamatkan diri ke wilayah Asia, masuk ke Laut Zafta yang kini masuk wilayah Singapura.

2.  Ilmu nasab
Di antara perangkat yang digunakan untuk melacak sejarah ini juga melalui antropologi penelitian garis keturunan suatu etnis yang tersebar. Melihat keberadaan komunitas Arab di Indonesia, darimanakah asal-usul mereka? Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa telah terjadi eksodus besar-besaran kalangan Ahlul Bait ke berbagai penjuru dunia.

Di Indonesia ditemukan marga Abdul Malik yang di India dan Pakistan terkenal dengan Ali Azhomat Khan. Abdul Malik merupakan keturunan pengungsi dari Basrah, Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Shadiq. Marga dari Abdul Malik inilah yang di Tanah Jawa disematkan didepan namanya gelar Sunan, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan lain-lainnya. Dari marga ini juga benyak menjadi tokoh-tokoh besar seperti raja Kesultanan Cirebon, Cianjur, Sumedang dan menteri di Banten.

3.   Puisi, Babad Tanah Jawi, cerita rakyat, legenda dan mitos-mitos.


4. Secara Secara geografis, kemaritiman dan agraris bukan tidak mungkin, Indonesia dengan kekayaan hasil alamnya menjadi destinasi para pemborong dari berbagai tempat.
Secara kelautan, Indonesia dahulu merupakan garis pelintasan strategis yang dilalui oleh Cina yang menuju ke pasar di Teluk. Maka dari teori ini sebagai sinyal bahwa pengaruh agama Islam di Indonesia juga berasal dari Muslim Cina yang merupakan pedagang.

Posting Komentar

0 Komentar