Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Miskin Satu Malam




’Ataba?

Aiwa, irkab!

Aku dan Arif memulai perjalanan menuju pasar ‘Ataba menggunakan angkot. Pasar yang terkenal di Kairo itu memang terkadang menjadi destinasi yang cocok untuk berjalan-jalan sekaligus berbelanja keperluan sehari-hari bagi masyarakat Mesir sendiri ataupun para mahasiswa yang belajar di Mesir.

Sebenarnya kami belum menentukan barang apa yang akan kami beli nanti, kami hanya ingin berjalan-jalan melepaskan penat dan beban pikiran yang lumayan mengganggu akhir-akhir ini. Tapi aku yakin setiap orang yang pergi ke pasar yang sangat luas itu pasti akan pulang dengan membawa ‘sesuatu’, walaupun tak berniat membeli sekalipun.

Setiba di pasar itu, kami memulai trip dari ujung timur ke barat. Kami tak yakin akan bisa mengelilingi pasar ini dengan arah bebas; selain karena takut tersesat, juga tak akan kuat saking luasnya.

Mata kami tak lepas dari barang-barang dan aksesoris yang dipajang di sepanjang jalan. Barang pertama yang terbeli adalah topi jenis flat cap warna hitam, dengan harga 40 le, Arif yang membelinya. Ia juga membeli celana pendek setengah betis dengan harga 60 le.

Melihat Arif sudah membeli barang, aku pun bersemangat untuk membeli barang pula. Setelah beberapa menit berjalan, kami singgah di penjual sepatu. Ada beberapa model sepatu disana, tapi mataku tertuju pada sepatu sneakers warna hitam dengan paduan biru. Tanpa pikir panjang, aku membelinya, dengan harga 140 le.

Kami kemudian menyusuri beberapa toko baju. Tapi beberapa diantaranya terlalu mahal, sebagian lagi terjangkau tapi modelnya kurang enak dipandang mata. Akhirnya kami berhenti pada penjual baju emperan, sepertinya akan lebih terjangkau.

Bikam dah ya basya?” tanyaku sambil menunjuk kaus oblong berwarna kelabu berpadu putih itu.

Miyah khomsah wa ‘isyrin,” jawab penjaga itu tegas.

Siapa yang tidak kaget dengan harga kaus oblong yang sebesar itu. Akan lebih terasa wajar jika yang aku beli adalah kemeja. Kami pun bernegosiasi agar harganya bisa dipangkas sedikit. 

Tapi penjaga itu bersikukuh mempertahankan harga kaus itu dengan berbagai dalih, yang aku tidak mengerti. Yang aku pahami cuma, “...baju ini masih baru, di toko lain harganya 170-an...

Kami pun masih pada pendirian terhadap harga yang membelalakkan mata itu. Tapi pada akhirnya harga hanya bisa turun 5 le saja. Kami membelinya. Aku memilih warna kelabu dengan tambahan bahan warna putih di bagian bawah, dan Arif memilih warna abu-abu dengan beberapa tulisan di bagian dada.

Kira-kira pukul 21.00 kami memutuskan untuk istirahat sebentar sambil menikmati minuman perasan tebu yang sering disebut ‘ashob. Setelah dahaga sudah hilang, kami berniat untuk singgah lagi ke salah satu kafe di dekat masjid Hussein.

Masjid Hussein adalah ujung barat dari pasar ‘Ataba itu. Kaki kami cukup lemah untuk melangkah lebih jauh lagi. Ada seseorang datang menawarkan kami minum. Dia adalah pelayan kafe.

Nescafe ya shodiq? Ahwah? Syai?” sergahnya setengah menghadang.

Tanpa berpikir panjang kami langsung duduk di salah satu sofa yang tersedia. Banyak sekali kafe-kafe yang tersedia di pinggir jalan atau di tempat terbuka seperti ini. Kami dapat menduga harganya akan sedikit mahal, dapat dilihat dari sofa yang lumayan besar dan pelayannya yang cukup nyaman.

Perlu diketahui, sebenarnya tempat seperti ini biasanya hanya untuk orang-orang ‘berada’. Bukan seperti kami yang hanya dapat income pas-pasan. Atau yang lebih tepat bukan disebut income, tapi kiriman orang tua.

Kami berniat untuk menikmati malam ini dengan hura-hura, sekali-sekali menikmati kehidupan malam Mesir dengan bebas. Menu yang ada di meja kami terawang. Tersedia beberapa jenis minuman, diantaranya: kopi, teh, nescafe, aneka jus, dan jenis-jenis lainnya. 

Yang membuat kami tercengang adalah harganya yang begitu tak bersahabat, kalau tidak 25 le, ya 30 le, yang sebenarnya teh semacam itu dapat kami nikmati sendiri dengan gratis di asrama tempat kami tinggal, Madinatul Bu’uts.

Lagi-lagi kami tak terlalu mempermasalahkan itu, akhirnya aku memsan teh, dan Arif memesan kopi. Pesanan yang datang pertama adalah dua botol air putih dingin dan kacang-kacangan. Aku berpikir, mungkin ini adalah bagian dari harga minuman yang mahal itu.

Pesanan utama datang: teh dengan cerek mungil dan gelas kosong serta gula di wadah yang terpisah, dan kopi yang dituangkan langsung oleh pelayan kafe pada gelas kopi yang tadinya kosong. Pelayanan yang cukup baik, gumamku dalam hati.

Kami menikmati hidangan yang tersedia. Ada tiga jenis kacang-kacangan di atas meja, yang aku tahu dan paling enak di lidah hanyalah kacang tanah. Mulailah aku dan Arif berbincang tentang berbagai hal, dari perkuliahan yang sebentar lagi akan dimulai, sampai rencana pernikahan masing-masing yang masih cukup lama untuk sebenarnya diperbincangkan.

Sesekali aku menyapu pandangan ke sekelilingku. Kebanyakan mereka bersama keluarga, atau setidaknya bersama pasangan, itu pun double date, karena sofa ini memang disediakan untuk empat sampai lima orang.

Di bagian sana terlihat orang sedang berbincang-bincang sesama teman sambil menghisap rokok atau sisya. Ada juga yang sedang dihibur dengan para pemain musik. Ada juga wanita-wanita bercadar yang menarik perhatian dengan mata menggodanya.

Oy! Betewe kita udah kek orang kaya ya,” ucap Arif meminta persetujuan.

Iya dong, sekali-sekali kita perlu seperti ini,” jawabku menyetujui.

Kami dari tadi lumayan menjadi perhatian beberapa pengunjung kafe ini. Itu mungkin karena penampilan kami yang keren. Aku mengenakan kaus oblong warna abu-abu dengan celana jeans biru dan sepatu sneakers hitam ditambah earphone di leherku. Sedangkan Arif mengenakan kaus lengan panjang warna hitam dengan celana jeans hitam dan sepatu slip on ditambah topi flat cap yang baru saja ia beli.

Tapi sepertinya bukan penampilan sederhana itu yang membuat mereka memandangi kami, tapi lebih kepada kami satu-satunya orang yang ‘bukan Mesir’ di kafe itu. Aku berspekulasi. Jangan-jangan mereka sedang mengejek kami yang pasti tak mampu membayar tagihan kafe ini. jangan-jangan mereka bilang dalam hati, “...bego banget ya keliatannya kedua orang itu...” Tapi aku tak peduli.

Pemandangan disini tidak terlalu menarik. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang atau duduk-duduk mengisi malam Minggu mereka. Tidak ada desain interior, tidak ada tema dari kafe ini. Sebelum aku semakin jauh berpikir dan nantinya menyesal, aku cepat-cepat menepis pikiran itu.

Setelah lama berbincang dan terbahak-bahak dengan beberapa lelucon bersama Arif, aku memanggil pelayan kafe itu.

Bikam?

Miyah wa ‘isyrin,” jawabnya dengan tegas.

Beberapa saat sebelum aku memanggil pelayan itu, aku dan Arif sudah menyiapkan uang 50 le sesuai dengan harga menu yang kami pesan. Kalimat pelayan itu membuat kami kaget tak percaya.

Shit!” ucap Arif tak sengaja, yang untung saja tak didengar pelayan itu.

Wahid syai wa wahid ahwah bimiyah wa ‘isyrin? Izzay?” protes kami.

Jika dihitung-hitung, tak ada yang membuat kafe ini harus dibayar dengan begitu mahal. Benar-benar tak ada. Desain interior tak ada, sofa tidak terlalu mewah, minuman tidak terlalu nikmat, bahkan pada saat tengah menikmati minuman, kami sempat dipindahkan ke tempat lain karena ada mobil yang akan lewat di tempat itu. Shit!

Dia menjawab protes kami dengan menunjuk pesanan kami: kacang-kacangan harganya 30 le, kopi dan teh masing-masing harganya 25 le, dua botol air putih harganya masing-masing 10 le, dan service-nya 20 le. Jadi jika dijumlahkan menjadi 120 le.

Kami terpaksa membayar sesuai dengan tagihan. Kalau tidak, kemungkinan yang akan terjadi antara kami akan dimarahi tanpa habisnya oleh pelayan itu, atau kami akan dicap sebagai orang miskin, sedangkan kami sudah menetapkan bahwa malam ini kami ‘orang kaya’.

Setelah membayar kepada pelayan itu, kami bergegas meninggalkan kafe yang ‘tak tahu harga’ itu, mengumpat sejadinya. Uang Arif sudah kosong, dan uangku tinggal beberapa le lagi. Kami memilih pulang ke asrama dengan berjalan kaki, kira-kira 3 km dari pasar tadi.

Orang kaya kok jalan kaki!” ucap Arif tiba-tiba, mengundang tawa.

Udah beli baju mahal, ngafe mahal, pulang malah jalan kaki!” tambahku.

Sesampai di asrama, kami merasa begitu lelah. Bukan hanya karena tenaga kami yang habis dipakai berjalan begitu jauh, tapi juga karena pikiran yang masih hiruk-pikuk karena kejadian hari ini. Padahal kami berniat jalan-jalan untuk menghilangkan penat, ternyata pulang tambah penat.

Aku dan Arif terdiam cukup panjang setelah berada di kamar. Ada perasaan yang datang tiba-tiba di relung hatiku terkait belanja barusan. Aku yakin Arif juga sedang memikirkan hal yang sama.

Eh, betewe kok aku nyesel ya,” teriak Arif sambil cengar-cengir, ekspresinya terlihat lucu.

Ternyata benar, dia juga merasakannya. Kami benar-benar tak habis pikir kenapa niat jalan-jalan itu menjadi belanja berat dan boros. Terlihat sangat lucu sekali ketika tadi di kafe kami bilang, “...tenang aja, sekali-sekali perlu kek gini...” dengan gembira, dan kini raut muka kami tiba-tiba berubah merah padam dan terlihat begitu menyedihkan.

Aaaarrrgh! Miskin dalam satu malam, bray!” ucapku tertawa, tapi dalam hati menjerit.

Bagi orang kaya mungkin saja kejadian ini biasa-biasa saja. Tapi bagi kami, seorang mahasiswa yang jauh dari orang tua, merupakan hal yang luar biasa. Luar biasa menyedihkan. Uang kami tak akan cukup untuk menghidupi kami sampai akhir bulan nanti. Entah apa yang akan membuat kami bertahan hidup, aku masih belum memikirkannya.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Wkwk lucu 😀. Ditunggu miskin dalam malam selanjutnya wkwk

    BalasHapus