Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Ijazah Salat dari Sang Mursyid


Pro dan kontra perihal tasawuf masih terus tersebar di kalangan umat Islam. Tudingan bahwa tasawuf sesat didasarkan pada fenomena yang sering terjadi pada mereka yang hanya mengaku sebagai sufi, tapi –sayang sekali- hatinya tidak suci.
Tujuan dari adanya kegiatan bertasawuf ini adalah mendekatkan diri dengan Allah swt., Sang Maha Pencipta, mengosongkan diri dari penyakit hati (takhalli), menghiasi diri dengan akhlak yang mulia (tahalli), serta menggapai derajat ihsan dalam beribadah (tajalli).
Jika dilihat dari tujuan tersebut, maka tidak ada kesalahan sama sekali dengan kegiatan bertasawuf ini. Hanya saja, sebagian mereka mengajarkan praktek-praktek sesat yang mengatasnamakan tasawuf, sehingga citra tasawuf ternodai olehnya.
Ihsan, sebagai salah satu rukun agama yang harus diperhatikan dalam Islam, adalah cikal bakal dari apa yang kita kenal dengan tasawuf itu sendiri. Mendekatkan diri kepada Allah tentulah keharusan bagi setiap hamba yang beriman. Diantara ayat-ayat mengenai hal ini:
...dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). [QS. Al-‘Alaq:19].
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. [QS Al-Maidah:35].
Ayat diatas menggambarkan bahwa mendekatkan diri kepada Allah adalah bagian dari apa yang diajarkan dalam agama Islam, seperti halnya ibadah-ibadah yang lain. Bahkan tujuan dari semua ibadah-ibadah tersebut adalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bukan?


Dan mengenai praktetk-praktek sesat tersebut, dikhawatirkan jika akan menyebar ke masyarakat, apalagi masyarakat awam, akan terus terinfeksi sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Hal ini merupakan penyakit keyakinan yang harus diperhatikan, agar tidak terjangkit oleh orang-orang yang sakit itu.
Praktek-praktek ini diantaranya: berzikir sampai-sampai dirinya terlihat kurang waras, wirid yang dibacanya sampai-sampai membuatnya lupa salat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain. Bahkan ia bukan lupa salat, tapi tidak lagi salat karena sudah mendapat ijazah resmi dari sang mursyid untuk tidak melaksanakan salat lagi.
Mursyid adalah mereka yang membimbing para murid untuk mendekatkan diri kepada Allah., dengan memberinya beberapa wirid dan nasihat-nasihat. Sungguh mulia, antara murid dengan mursyid, adalah hamba yang saleh.
Sebagian mursyid yang ‘salah jalur’ memang menanamkan doktrin-doktrin yang tidak baik kepada para muridnya, yang pada hakikatnya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Menganggap bahwa mursyid itu lebih baik dari nabi, bahwa Allah bersatu dengan manusia, bahwa para sufi dapat mengetahui semua hal-hal gaib, dan masih banyak lagi.
Jika interpretasi terhadap tasawuf adalah fenomena-fenomena yang melenceng dari ajaran Islam tersebut, maka benar sekali kata Imam Syafi’i dalam menanggapi hal ini: “Kalau seorang menganut ajaran tasawuf pada awal siang hari, tidak datang waktu zuhur kepadanya melainkan engkau mendapatinya menjadi dungu.
Hakikat tasawuf itu ada pada tujuannya. Sufi berarti mereka yang beriman kepada Allah dulu, mengerjakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya, barulah memperbaiki hati agar selalu bersama dengan-Nya. Bukan akuan bahwa dirinya adalah seorang sufi, tapi ternyata ia tidak sadar sudah keluar dari agama yang suci ini.
Mendekatkan diri kepada Allah bisa juga dengan ibadah-ibadah wajib dan sunah yang tak ada batasnya. Salat –misalnya-, atau puasa, haji, sedekah, baca al-Quran, dan masih banyak lagi.
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. [QS Thaha:14].
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [QS al-Baqarah:183].
Mengingat Allah dan bertakwa kepada-Nya adalah sebagian cara mendekatkan diri kepada Allah, dan itu didapat dari salat dan puasa yang kita kerjakan, seperti yang disebutkan pada ayat diatas.
Agama kita dibangun atas tiga fondasi: Islam, Iman, dan Ihsan. Salah satu dari tiga tersebut rapuh, maka agama kita akan hancur dan luluh. Tiga pokok inilah yang harus dipegang erat oleh semua umat Islam.
Islam yang dimaksud disitu ialah syariat yang dibebankan kepada hamba, seperti: ibadah, muamalah, wasiat, pernikahan, hudud, dan sebagainya. Tidak ada keraguan lagi bahwa siapa yang melanggar salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah tersebut, maka rusaklah agamanya.
Iman adalah kepercayaan yang dibenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Kepercayaan tersebut ialah kepada Allah, rasul-Nya, Malaikat, Kitab, hari kiamat, dan ketetapan Allah.
Ihsan adalah kekhuyukan hati dan kesucian. Akhlak, adab, zikir, dan wirid, adalah termasuk pada pokok Ihsan ini.
Pada percakapan Jibril dengan nabi Muhammad waktu itu, Ihsan disebutkan paling akhir, didahului oleh Islam dan Iman. Yang artinya, seorang hamba harus mempraktikkan ajaran Islam dahulu dengan benar, meyakini apa yang dipraktikkan dan apa yang diajarkannya, lalu kemudian menyempurnakannya dengan perbaikan hati.
Dengan kata lain, kita diketahui sebagai seorang muslim oleh orang lain akan terlihat dari salat yang kita dirikan, al-Quran yang kita lantunkan, dan zakat yang kita tunaikan. Walaupun tak peduli apakah hati kita khusuk atau tidak.
Maka pertanyaannya ialah: apa sebenarnya yang terpenting dari ketiga tersebut? Jawabannya tentu ketiga-tiganya penting dan fundamental. Dan benar saja, bahwa ketiga aspek ini tidak akan pernah bisa dipisahkan.
Singkatnya, tidak ada gunanya terlihat mendirikan salat, tapi hatinya percaya bahwa Tuhan itu berjumlah dua. Tidak ada gunanya percaya bahwa Tuhan itu ada dan esa, tapi tidak melakukan perintah-Nya. Dan tidak ada gunanya hati ini suci, jika mengabaikan ibadah-ibadah dan kepercayaan.
Dan yang paling penting, hati yang bersih dan suci didapat hanya dengan beribadah kepada-Nya. Bukan dengan seenaknya mengatasi jabatan Tuhan dengan memberikan muridnya ijazah untuk berhenti mendirikan salat, yang Allah sendiri perintahkan. Wallahu a’lam.

Posting Komentar

1 Komentar