Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Inilah Faktor Kebangkitan Ilmu Hadits Abad ke-14 Hijriah


Dr. Mahmud Said Mamduh

Pada sesi pertama Diskusi Kitab Al-Ittijāhāt Al-Hadītsiyyah, Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh memberikan banyak faidah bagi para hadirin yang memenuhi aula KM-NTB Mesir. Beliau menjelaskan faktor-faktor kebangkitan ilmu hadits di abad ke-14 yang antara lain disebabkan oleh:

دكتور محمود سعيد ممدوح
  1. Revolusi teknologi dengan ditemukannya mesin cetak dan dibangunnya badan-badan penerbitan. Pemerhati Ilmu mengambil kesempatan ini dengan menginisiasi penerbitan kitab-kitab turats hadits yang telah lama tidak tercetak dan sulit ditemukan. Percetakan Amiriyah di Bulaq memberikan andil besar, pun keberadaan Al-Azhar yang mengajarkan pelajar dari berbagai negara dengan panduan kitab turats.
  2. Pembuatan cabang takhossus Hadits di Fakultas-Fakultas keislaman di berbagai universitas. Mulai dari Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Banyak yang mengikuti Al-Azhar, baik universitas maupun lembaga riset khusus. Sekalipun tidak dimungkiri banyak mereka yang meraih gelar doktor tapi pengetahuan tentang hadits masih minim baik secara teoritis maupun praktis, namun terbantu karena keterbiasaan melalukan munaqosyah, seminar, penelitian dan terkejar target pembuatan karya ilmiah. Dari Fakultas ini banyak lulusan yang mampu melakukan tahqiq, takhrij, taq’id, ta’shil, tafri’, tanzhir, muwafaqoh da istidrak yang sangat membantu tersebarnya pengetahuan tentang hadits.
  3. Oleh banyak peneliti, kebangkitan ini ditengarai mulai dari India yang tak lepas dari geliat Ulama di sana sebagai reaksi atas serangan pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menuduh penganut madzhab Hanafi mengenyampingkan sumber sunnah dengan mengagungkan rasio. Ulama India yang berbasis Hanafi tentu berang dengan membuktikan kehebatan mereka dalam Ilmu Hadits. Muncul pendekar dengan karya-karya besar diantaranya Syaikh Zahid Al-Kautsari, Syaikh Musthfa al-Siba’i, Syaikh Yusuf Al-Kindihilwi, Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Al-Mubarokfuri dan lainnya. Tahun 1867 berdiri lembaga formal Madrasah Deoband  yang mencetak ulama terkemuka dalam bidang ini. Setelah paruh kedua abad ke-14 pergulatan dan perang pemikiran antar Hanafiyah dan Wahabiah itu merambah ke Negara-negara Arab terutama Al-Azhar di Mesir.

Di titik ini, Syaikh menyayangkan muslim di Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i yang juga dituduh bahwa praktek fikih hanya bertaklid kepada Imam Asy-Syafi’I tanpa merujuk ke sumber asal yaitu Sunnah. Dengan seolah bijak kelompok ini mengatakan, Imam Syafi’i sendiri bilang: “Kalau haditsya shahih, maka itulah madzhabku. Buat apa qunut subuh, sedangkan haditsnya tidak shahih!?”.

Padahal semua teori yang dibukukan Imam Syafi’I semua ada asalnya dari Hadits Shahih. Dalam Al-Umm kitab yang lebih dikenal sebagai Kitab Fikih, apabila dikumpulkan hadits dari sana maka akan lebih banyak jumlahnya dari Hadist yang terkumpul dalam Kitab Al-Muwattha Imam Malik bahkan sepadan dengan jumlah hadits dalam Sunan Abu Dawud. Sayangnya kritik yang harusnya ditanggapi dengan ilmiah malah ditanggapi dengan saling balas umpatan.

Pembagian peran pesantren di Indonesia masih belum merata. Mencurahkan perhatian khusus kepada ilmu kalam di suatu kota hukumnya fardhu kifayah, begitu juga ilmu Nahwu, Ilmu Fikih. Namun madrasah yang mempersiapkan alumni yang mumpuni dalam ilmu hadits, mampu mentakhrij, hafal banyak hadits, jarang ditemukan dari pesantren di Indonesia. Di setiap kota harusnya ada untuk menggugurkan kewajiban.

Dari enam jumlah total bab yang ada dalam kitab, di pertemuan ini Syaikh membahas bab pertama yang berbicara tentang tipikal muhaddits yang fokus mendalami ilmu mushtalah baik teoritis maupun praktis (ittijāh al-‘ināyah bi al-shinā’ah al-hadītsiyyah).

Di antara tokoh yang dijadikan sampel dalam tipikal ini yaitu Syaikh Ahmad Syakir dengan karya tahkik Musnad Imam Ahmad dan karya-karya besar lainnya, Syaikh Ahmad Al-Hujuji, Syaikh Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani, Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Fattah Abu Guddah, Syaikh Abdul Aziz bin Shiddiq Al-Ghumari.

Syaikh membahas masing-masing tokoh itu dengan lugas tentang metodologi, corak pemikiran, serta manhaj mereka. Ketika berbicara tentang guru beliau Syaikh Abdul Aziz Shiddiq Al-Ghumari, salah satu dari 5 saudara kandung yang semuanya ulama besar asal Tanger, Maroko; bagaimana karakter beliau selaku muhaddits terbentuk secara utuh.

Kitabnya Al-Jawāhir Al-Ghawāli sebagai studi mendalam atas kitab Al-La’āli Al-Mashnū’ milik Al-Hafiz As-Suyuthi cukup membuktikan penguasaan beliau di ranah ini.

Syaikh Abdul ‘Aziz merupakan sosok pemberani dan munshif dalam mengkritik, sebagaimana contoh penolakan beliau terhadap Imam Al-Sya’bi atas pencideraan nama tabi’i Harits Al-A’war yang dianggap pendusta besar (kadzzab).

Bahkan tak tanggung-tanggung, kakak kandung sekaligus guru tempatnya belajar Syaikh Abdullah Shiddiq Al-Ghumari yang membuat takhrij hadits berjudul Al-Kanzu Al-Tsamīn fī Ahādīts An-Nabiyy Al-Amīn yang dikumpulkan dari tiga kitab: Al-Maqāshid Al-Hasaniyyah miliki Al-Hafizh As-Sakhowi, At-Targīb wa At-Tarhīb milik Al-Hafizh Al-Mundziri dan Al-‘Uhūd Al-Muhammadiyyah milik Abdul Wahab Al-Sya’rani. Oleh sang adik, ia menulis kitab khusus sebagai kritik atas kitab sang kakak berjudul Dhow’u al-Syumū’ bimā fī Al-Kanzi Al-Tsamīn min al-Maudhū’.

Ketegasan Syaikh Abdul Aziz ini mencotohkan bahwa ranah ilmiah tidak mengenal basa-basi dan garis nasab. Dengan syarat semua disampaikan secara ilmiah dan bukan penyerangan atas karakter pribadi.

Sesi kedua dengan izin Allah akan dilanjutka sore ini di waktu dan tempat yang sama.

Posting Komentar

0 Komentar