Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

SYAIKH AL-LAHJI DAN UPAYA REVITALISASI TURATS

Zeinuddin



Prolog
Menelisik perkembangan Bahasa Arab, Maulana Syaikh Fathi Hijazi pernah menyebutkan bahwa kemurnian bahasa ini mulai terdeterminasi 150 tahun sebelum Rasulullah SAW diutus, setelah melalui penyaringan dari sekian lahjah kabilah-kabilah Arab. Dengan turunnya Al-Qur’an, standar keindahan itu semakin memuncak. Puncak kemurnian dan keindahan itu terus berlanjut hingga abad ke-3 Hijriah.
Di samping faktor pergumulan dengan Bangsa ‘Ajam, faktor eksternal juga turut memicu kerusakan media komunikasi Kaum Arab ini. Para pembenci Islam berupaya merusak kefasihan umat Islam demi menjauhkan mereka dari pedomannya, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bangsa Tartar misalnya, setelah membumi-hanguskan Bagdad dan membakar semua kitab peninggalan ilmuan Islam. Mereka menggalakkan penulisan dengan Bahasa Asing. Penulis  yang menjalankan misi ini dibayar mahal. Sementara peredaran tulisan berbahasa Arab dicekal.

Syaikh Fathi menambahkan, karya-karya sastra yang tercipta di atas abad ke-3 H mulai mengalami degradasi. Walau sebenarnya pada era ini muncul banyak penyair handal. Tetapi mi’yar kemunduran yang dimaksud tak semata dinilai dari kualitas uslub dan teknik, tapi mencakup motif penciptaan dan moral value yang dititip. Al-Mutanabbi misalnya, penyair papan atas di Era Abbasiah. Qosidah-qosidahnya yang bombastis kerap dijadikan referensi kaidah Sastra Arab. Sayang, kelihaian ini sampai menjebaknya pada keangkuhan, dengan jumawa dia berkata:
أَنَا الَّذِى نَظَّرَ الْأَعْمَى إِلَى أَدَبِي **** وَأَسْمَعْتُ كَلِمَاتِي مَنْ بِهِ صَمَمُ
الخَيْلُ وَاللَّيْلُ وَالْبَيْدَاءُ تَعْرِفُنِيْ **** وَالسَّيْفُ وَالرُّمْحُ وَالْقِرْطَاسُ وَالَقْلَمُ
“Akulah yang memelekkan orang buta pada bacaan sastra.. Akulah yang memperdengarkan kata-kataku pada orang tuli..
Kuda, malam, padang pasir, pedang, tombak, kertas dan pena.. Semuanya mengenal siapa aku (mengakui kemampuanku dan tunduk padaku)”
Suatu malam ketika ia dan puteranya menyeberangi kesunyian padang pasir, sekawanan perampok bersenjata tajam mencegat mereka dan merampas harta Al-Mutannabbi. Melihat Al-Mutanabbi menyerah, bocah yang menemani berkomentar: “Bukankah kau pernah bilang ‘Pedang, tombak, kertas dan pena semuanya mengenal siapa aku’. Lalu kenapa kau takut pada pedang mereka?”. Tak mau gengsinya runtuh, Al-Mutanabbi mengejar perampok itu. Ironisnya kenekatan itu berujung petaka, ia ditikam dan tewas. Sejarahpun mengecapnya sebagai salah satu penyair yang terbunuh oleh lidahnya sendiri. Rahmatullah ‘alaih wa magfiratuhu lahu.

Perubahan dan perkembangan memang sebuah keniscayaan. Setiap karya yang lahir di suatu masa merupakan representasi inovasi yang terjadi di masa itu, dan kini dunia tulis-menulis tengah berkembang pesat. Kita hidup dimana buku bisa terbit setiap hari, penulis produktif menjamur dengan berbagai nuansa tulisan, ilmiah, dakwah, pengembangan diri, fiksi dan non-fiksi. Potret ini menjadi angin segar yang layak disyukuri dan apresiasi. Namun patut disayangkan apabila tujuan penulisan ternyata untuk komersil, mencari popularitas, atau cuma jiplakan. Tidak heran tulisan tersebar banyak, namun jangkauan manfaat belum jauh membawa umat menuju kemajuan dan memperbaiki moral. Karena semua usaha diukur oleh Allah berdasarkan kadar keikhlasan. “Innama al-A’malu bi an-Niyyat.”
Disinilah letak perbedaan karya masa kini dengan kitab-kitab masa lampau yang kita kenal dengan Turats. Para ulama salaf berkarya berasaskan fithrah salimah, mengharap keridhaan Allah SWT, memenuhi panggilan jiwa untuk menebarkan manfaat dan menjadikannya ladang pahala. Tak ayal bubuhan tinta mereka telah memberi sumbangsing besar bagi kemajuan peradaban di dunia. Tidak dimungkiri, revolusi Eropa dari dark ages menuju renaissance (marhalah an-nahdloh al-Urubiyyah) tidak lepas dari pengaruh kitab Ulama Islam yang mereka kaji dengan mendalam.
Dr. Ahmad Sulaiman dalam artikel di Majalah Bulanan Al-Azhar berpendapat, untuk menggapai kembali kejayaan umat masa lalu, Umat Muslim harus merujuk kitab-kitab turats dan mengembangkannya sesuai tepat guna. Ulama menganalogikan, umat ini sedang mengidap penyakit, para dokter sudah berhasil mendiagnosa jenis penyakitnya, lalu memberikan resep obat. Obatnya ada di depan kita, yaitu menghidupkan peninggalan ulama kita yang terkubur debu-debu di rak perpustakaan. Harta berharga yang diwariskan dari Nabi melalui ulama generasi ke generasi, karena Nabi tidak mewariskan harta berbentuk emas dan perak. Maka ketika berkutat dengan kitab, sejatinya kita sedang menggali harta karun yang masih terpendam.
انَّ الْأنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا٬ وَإِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ٬ فَمَنْ أَخَذَ مِنْهُ أَخَذَ بِحَظَّ وَافِرٍ
“Para Nabi tidak mewariskan harta berupa dinar atau dirham. Mereka mewariskan ilmu yang banyak untuk umatnya. Siapa saja yang mengambil bagian dari warisan itu, sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.”
Syaikh Al-Lahji dan Kitab Turats
Diantara yang mencurahkan perhatian besar kepada Kitab Turats adalah Syaikh Abdullah Al-Lahji. Kedekatannya dengan turats berpengaruh banyak pada pribadinya, bahkan genre dan gaya Bahasa goresan pena beliau persis gaya kitab Turats, sebuah skill yang tidak banyak dimiliki orang di zaman mutakhir.
Al-Magfurulah Syaikh Zainuddin Abdul Majid pernah bertanya kepada salah seorang muridnya, “Menurutmu mana yang lebih baik antara Syaikh Isma’il Utsman Zain dibanding Syaikh Abdullah Al-Lahji?”. Murid yang ditanya tentu kaget. Bagi alumnus Madrasah Ash-Shaulatiyah pertanyaan dilematis tersebut kira-kira setara dengan pertanyaan kepada seorang Al-Azhari, “Mana yang lebih baik, Syaikh Ahmad At-Thayyib ataukah Syaikh Ali Jum’ah?” Dua guru yang mendapat perlabuhan cinta tersendiri di hati semua murid.
Ketika sang murid terpaksa memilih Syaikh Isma’il, Ulama besar Bumi Selaparang itu justru punya penilaian tersendiri, “Menurutku, Syaikh Abdullah Al-Lahji lebih top. Coba kau perhatikan uslub tulisannya! Sangat elegan, bergaya uslub turats yang sangat sulit ditiru oleh penulis di zaman ini.”
Diantara karya yang menjadi saksi keikhlasan dan keluasan ilmunya, yaitu Kitab Muntaha As-Sul yang merupakan syarah Kitab Wasa’ilul Wushul ila Syama-il Ar-Rasul karya Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Yusuf bin Isma’il An-Nabahani. Kitab yang mengajak kita berkenalan lebih dekat dengan kemuliaan akhlak, sifat, syama’il dan keseharian Baginda Rasulullah SAW.
Ketika Syaikh Al-Lahji terbaring sakit menjelang wafat, murid tercintanya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki datang menjenguk. Dengan kondisi lemah, beliau meminta Abuya Sayyid Muhammad membaca sebuah naskah yang beliau simpan. Mata Abuya berbinar membaca tulisan menawan hati yang belum dibaca sebelumnya. Abuya tidak membayangkan itu tulisan milik siapa dan tidak terpintas untuk bertanya. Setelah beliau wafat, barulah beliau tahu itu milik guru tercinta. Beliau mengumpulkan naskah itu dan dicetak atas kemurahan hati beliau lalu dibagikan secara gratis.
Pengarangnya sendiri memang tidak mendapat royalti atas buah jerih payahnya selama bertahun-tahun, namun pahala amal jariyah dengan izin Allah akan terus mengalir kepada ruhnya karena keikhlasan itu.
Mengenal Syaikh Abdullah Al-Lahji
Syaikh Al-‘Allamah Al-Faqih Al-Muarrikh Abdullah bin Sa’id Al-Lahji Al-Hadhromi lahir di Kampung Lahj, Yaman, 1343 H. Setelah menyisir penjuru Bumi Aulia “Yaman” untuk belajar dari sekian Ulama’nya, beliau menuju Makkah tahun 1374 H, bermukim selama setahun lalu pulang ke Yaman. Beliau kembali ke Tanah kelahiran Nabi SAW itu tahun 1377 H dan menetap disana sampai beliau wafat.
Keilmuannya diakui oleh penduduk Makkah, beliau dijadikan rujukan dalam Fiqih dan diangkat sebagai mufti Madzhab Syafi’iy. Di samping bertugas sebagai pengajar di Madrasah Ash-Shaulatiyah, Al-Azhar-nya daratan Hijaz, perguruan tinggi tertua dan ternama pada masa itu, beliau juga membentuk halaqah di Masjid Al-Harom. Dari Rahim halaqah ilmiahnya telah lahir banyak Ulama sekaliber Syaikh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, dan setiap yang berkesempatan mukim di Tanah Suci masa itu tidak ketinggalan kecipratan barokah ilmunya.
Syaikh yang bersahaja ini menjadi guru yang spesial di mata murid. Selain karena ketajaman ilmu, beliau memiliki selera humor yang tinggi untuk menghibur mahasiswanya di Madrasah Ash-Shaulatiyah. Di siang bolong ketika terik panas Arab memuncak, perut murid tengah keroncongan, dan peraturan perkuliahan yang ketat, di waktu ini beliau menutup pelajaran dan mulai berguyon dengan cerita-cerita lucu hingga muridnya terpingkal-pingkal melupakan rasa lapar.
Walaupun hidup di zaman kemajuan teknologi, Syaikh Al-Lahji kurang tertarik menikmati fasilitas canggih, jarang mengendarai mobil dan tidak pernah menggunakan pesawat. Ketika beliau ditanya kenapa tidak mau naik pesawat, dengan santai beliau menjawab: “Saya takut nanti pesawatnya kehabisan bahan bakar ketika terbang, sedangkan di atas sana tidak ada SPBU. Atau jatuh bautnya, sedang di atas sana tidak ada bengkel.” Mendengar jawaban itu, sontak para santri tertawa.
Sejatinya sikap beliau itu bukan karena takut, melainkan cerminan kezuhudan, wara’, ketawadhu’an dan kewaspadaan dari rasa tinggi. Ketinggian berbentuk apapun berpotensi membuat seseorang merasa jumawa. Hal ini beliau singkap dalam Kitab Muntaha As-Sul pada uraian Hadits tentang kebiasaan Rasulullah SAW membaca “Allahu Akbar” menjelang Khotaman Al-Qur’an dan setiap menginjak dataran tinggi.
Sunnah ini menyiratkan pesan, ketika seorang berada di posisi atas, hendaknya dia segera mengikrarkan keagungan Allah agar ia segera menyadari kedhaifannya. Posisi puncak -seperti mendapat predikat mumtaz, menang dalam kompetisi, mendapat ribuan like di facebook, khotam Al-Qur’an dan Kutubussittah- bisa membuka celah menyusupnya rasa ujub dalam diri. Hikmah melafazhkan takbir diharap bisa menge-rem sifat yang berasal dari Iblis laknatullah itu.
Setelah lama mengabdikan hidupnya dengan jihad ilmiah, Syaikh Al-Lahji berpulang ke Rahmatullah pada malam Ahad 26 Jumadal Ula 1410 H, setelah menderita sakit ringan selama 2 atau 3 hari. Jenazahnya digiring ke Ma’la oleh massa besar yang terdiri dari Ulama, thullab dan pencinta beliau.
Syaikh Al-Lahji selalu berpesan kepada murid yang akan pulang ke negerinya usai menuntaskan akademik, “Pulanglah, dan jangan pisahkan dirimu dengan kitab-kitab turats!”
Allah SWT mendorong hamba-Nya agar berlomba meraih manfaat dari warisan yang berupa Kitab Al-Qur’an, Kitab-Kitab himpunan Hadits Nabawi dan Kitab-Kitab ulama salaf. Allah SWT berfirman dalam QS. Fathir ayat 32:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذالِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْر

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”

Posting Komentar

0 Komentar